Berita  

Penyusunan UU Ciptaker, Pusat Studi FH UI: Bukan Lagi Kotor, Namun Sudah Sangat Jorok

Penyusunan Omnibus Law Cipta Kerja

Ngelmu.co – Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (PSHTN FHUI), ikut bersuara soal penyusunan UU Cipta Kerja (Ciptaker). Pihaknya menyoroti, mulai dari perumusan Undang-undang dengan metode Omnibus Law, hingga kesimpangsiuran naskah.

“PSHTN FHUI, menilai bahwa proses pembentukan undang-undang saat ini, bukan lagi kotor. Namun, sudah sangat jorok,” kata sang Ketua, Mustafa Fakhri, seperti dilansir Tempo, Kamis (15/10).

Perumusan dengan metode Omnibus, lanjutnya, tak dikenal dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

UU yang sebenarnya sempat direvisi, pada 2019, tetapi metode Omnibus, tidak termasuk materi revisi.

Mustafa, juga menyinggung adanya Satuan Tugas Omnibus Law, yang tertuang dalam Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 378 Tahun 2019.

Ia menilai, masalahnya ada pada Satgas, yang dipimpin oleh Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin), serta melibatkan sejumlah pengusaha.

“Tak heran jika kemudian, publik mencurigai adanya konflik kepentingan dari para pengusaha tersebut, untuk terlibat memengaruhi substansi dalam materi pengaturan RUU,” beber Mustafa.

Baca Juga: Soal Omnibus Law, Wakil Ketua DPR Azis Mengaku Siap Tanggung Jawab di Hadapan Allah

Ia, juga menilai DPR, terkesan bermain petak umpet, sepanjang proses pembahasan pada pembicaraan tingkat I.

Mustafa, menyebut rajinnya anggota Dewan menggelar 64 kali rapat nonstop, dari Senin hingga Ahad, pagi sampai malam, bahkan di masa reses, juga patut dicurigai.

Lebih lanjut, ia mengatakan, DPR juga terkesan terburu-buru mengesahkan UU Ciptaker, yang menerima begitu banyak penolakan.

Mustafa, pun menanyakan, tidak dibagikannya naskah RUU, yang akan disahkan kepada seluruh anggota Dewan.

“Sepanjang Republik ini berdiri, rasanya baru kali ini, anggota Dewan, celingukan saat sidang paripurna pengesahan RUU menjadi UU, lantaran tidak pegang naskah final,” kritiknya.

Puncak segala kontroversi, kata Mustafa, adalah adanya beberapa versi naskah setelah RUU disahkan menjadi UU.

Mulai dari 905 halaman, berubah ke 1.035 halaman, dan akhirnya menjadi 812 halaman.

Artinya, kata Mustafa, Kepolisian Republik Indonesia, tidak memiliki dasar untuk menangkap orang yang dituduh menyebarkan hoaks.

Pasalnya, belum ada satu pun warga yang mengetahui pasti, versi mana yang dianggap final.

“Sangat beralasan, apabila ada yang terpikir, bahwa penangkapan sejumlah aktivis itu tak lain adalah semacam presidential prank,” ujar Mustafa.

Naskah, baru benar-benar selesai, pada Selasa (13/10). Sebagaimana Wakil Ketua DPR, Azis Syamsuddin, mengonfirmasi naskah final, benar setebal 812 halaman.

Mustafa, pun mengatakan, naskah tersebut, memuat perbedaan dengan naskah setebal 1.035 halaman.

Seperti penambahan Bab VI yang mengatur tentang Kebijakan Fiskal Nasional, yang berkaitan dengan Pajak dan Retribusi.

Jika benar terjadi penambahan substansi, Mustafa, mengatakan hal ini sebagai pelanggaran luar biasa.

“Perubahan titik koma saja, sudah bisa mengubah makna, dari suatu norma pengaturan,” tuturnya.

“Apalagi penambahan beberapa norma baru, setelah sidang paripurna pengesahan,” pungkas Mustafa.