Perbandingan Gaji TKA Cina dengan Pekerja Lokal RI Bikin Nganga

Gaji TKA Cina di Indonesia

Ngelmu.co – Perbandingan antara gaji para tenaga kerja asing (TKA) asal Cina, di Indonesia, dengan pekerja lokal, membuat banyak pihak menganga. Sebab, perbandingannya mencapai 1:10, sebagaimana disampaikan Minister Counselor Kedutaan Besar Cina di Indonesia, Wang Liping, Selasa (2/6).

Secara terang-terangan, ia mengakui, jika TKA Cina, yang bekerja di Indonesia, dibayar jauh lebih mahal daripada pekerja lokal.

“Seorang pekerja terampil Tiongkok, pada umumnya dibayar US$ 30 ribu (Rp426,3 juta-kurs Rp14.211) per tahun, ditambah biaya penerbangan internasional dan akomodasi, yang wajib ditanggung oleh perusahaan,” kata Wang.

“Sementara itu, seorang pekerja lokal Indonesia, dibayar 10% dari total biaya pekerja Tiongkok,” sambungnya, seperti dilansir Detik, Rabu (3/6).

Alasannya, kata Wang, karena Indonesia, belum mampu menyediakan pekerja teknis dan terampil, untuk proyek investasi Cina.

Maka itu, lanjutnya, demi mengendalikan biaya investor, Cina tak mempekerjakan pekerja lokal Indonesia.

Seperti beberapa proyek yang diinvestasikan oleh pelaku usaha Cina, Indonesia, disebut tak mampu menyediakan cukup tenaga teknis dan pekerja terampil.

Itu sebabnya, perusahaan Cina, mempekerjakan warganya, meski dengan bayaran lebih tinggi.

Di sisi lain, demi menurunkan biaya, perusahaan-perusahaan Tiongkok, disebut telah merumuskan rencana lokalisasi, yakni lebih banyak mempekerjakan WNI.

“Sebagai contoh, proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung, akan secara bertahap beralih ke manajemen lokalisasi,” ujar Wang.

“HUAWEI sedang melakukan pelatihan untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan Teknologi Informasi dan Komunikasi (ICT) pekerja lokal,” sambungnya.

“Dan sampai sekarang, pekerja Indonesia yang menerima pelatihan tersebut telah melebihi 7.000 orang,” ungkap Wang.

Sementara itu, diketahui para TKA, bekerja di berbagai bidang di Indonesia:

  • Pertambangan,
  • Listrik,
  • Manufaktur,
  • Taman industri,
  • Pertanian,
  • Ekonomi digital,
  • Asuransi, dan
  • Keuangan.

Dengan tempat kerja utamanya di Sulawesi, Kalimantan, dan Jawa Barat.

Sebagian TKA Cina di Indonesia, merupakan kalangan manajemen.

Sedangkan yang lainnya, berprofesi sebagai teknisi dan pekerja terampil.

Sebelum ke Indonesia, mereka menyerahkan dokumen-dokumen sesuai dengan persyaratan Kementerian Ketenagakerjaan dan Ditjen Imigrasi.

Antara lain sertifikat pendidikan, sertifikat keterampilan, dan kualifikasi lainnya.

“Kalau kita lihat situasi pada saat ini, setiap pekerja Tiongkok di Indonesia, setidaknya bisa menciptakan tiga lapangan kerja untuk masyarakat lokal Indonesia,” kata Wang.

“Contohnya, proporsi pekerja Tiongkok, terhadap pekerja Indonesia, di Taman Industri IMIP adalah 1 banding 10,” imbuhnya.

“JD.id adalah 1 banding 70, dan Taman Industri Julong adalah 1 banding 150,” pungkas Wang.

Baca Juga: Berbagai Kekejaman yang Diterima ABK WNI di Kapal Cina

Mendengar kabar ini, tak sedikit pihak yang mengkritik pernyataan Wang, seperti beberapa yang dikutip Ngelmu, berikut ini:

Mahpudin Mahfod: “Saya gak percaya skil WNI lebih rendah dari WNA Cina, dan saya gak percaya WNA Cina, yang datang bekerja di Indonesia, semuanya tenaga ahli.

Bahkan mungkin, lebih banyak tenaga kerja biasa, seperti kebanyakan tenaga kerja WNI.

Saya yakin gaji mereka mungkin tiga kali lipat dari gaji WNI, walaupun hanya tenaga kasar atau kuli. Apalagi tenaga ahlinya.

Tapi terserahlah, yang ngurus negeri ini ‘kan rezim sekarang, kalau maunya dia masukin tenaga WNA, padahal tenaga lokol juga lagi pada nganggur, ya terserah.”

Utomo Tomo: Modus Cina, banyak tenaga Indonesia yang sudah ahli di bidangnya. Lha, wong di negara maju banyak TKI. Kualifikasi apa yang tidak dikuasai tenaga lokal? Mendingan TKA Cina, hengkang dari Indonesia.

Moh Amin: “Apa iya semua pekerjaan tidak bisa dilakukan oleh pekerja Pribumi? Perusahaan ‘kan punya data kebutuhan tenaga kerja.

Mestinya sebelum dibangun, kita sudah menyediakan tenaga kerja sesuai kebutuhan, yang benar-benar tidak tidak dimiliki, baru ambil tenaga dari luar. Jangan-jangan alih teknologi juga ga ada.”