Perlawanan Sunyi Morsi

Ngelmu.co – Seorang kawan bertanya kepada saya, siapa politisi idola saya? Saya jawab saya tak mengidolakan politisi. Apa sebabnya? Karena orang yang hidup tidak dalam titik nadir adalah orang yang biasa-biasa saja.

Hatta, seorang politisi hebat sekalipun masih hidup dengan kenyamanan sosial dan materiil di atas rata-rata kebanyakan orang. Tidak ada yang istimewa.

Sementara nama-nama besar dalam catatan sejarah adalah tentang orang-orang yang teguh hingga titik nadir. Memilih untuk hidup menderita karena memegang prinsipnya atau memperjuangkan nasib orang banyak.

Antitesa utama dari kemewahan sosial dan materiil adalah jeruji besi, tentu tanpa sebuah tindakan kriminal dan pidana, alias tahanan politik, dipenjara karena melawan penguasa.

Nelson Mandela dipenjara, Soekarno dipenjara, Tan Malaka dipenjara, Pram dipenjara, Hamka dipenjara.

Mungkin kita akan menganggap beruntung yang kemudian bebas, tapi bisa jadi lebih beruntung ia yang hingga akhir hayatnya mati dalam titik nadir, bagi saya, kematian dalam titik nadir karena memegang prinsip adalah kematian yang mulia.

Karena hingga mati, ia tak tersentuh hipokritnya (kepura-puraan) dunia dalam kesenangan dan kemewahan pribadi semata.

Adalah Morsi, nama baru yang akan dicatat sejarah sebagai orang yang mati mulia. Ia berprinsip tak mengakui Pemerintahan yang terbentuk, karena mengkudeta hasil Pemilu yang sah.

Andai ia mau mengangguk barang sekali, mungkin kebebasan akan dirasakannya sambil menikmati hari tua.

Kalau dalam pandangan kebanyakan orang, Toh apa lagi yang harus Morsi perjuangkan? Organisasi sudah bubar centang perenang, aktivisnya ditangkapi dan lari ke luar negeri.

Sudah tak ada harapan bagi Ikhwanul Muslimin di Mesir, ia sudah game over.

Tapi memang Morsi tak sedang membela Ikhwanul Muslimin, ia sudah tak punya daya dan upaya, yang masih bisa ia bela hanyalah suara rakyat yang memilihnya, meski mungkin para pemilihnya bisa jadi sudah melupakannya.

Bersenjatakan tubuhnya yang renta, ia lakukan perlawanan Sunyi, dengan mengorbankan satu demi satu organ tubuhnya yang digerogoti penyakit di dalam penjara.

Ia tukar dengan prinsip, bahwa kekuasaan As Sisi tidaklah sah, dan pilihan rakyat harus dibela.

Diabetesnya terus menggila, sebelah matanya hampir buta entah kenapa, paru-parunya meradang akibat dinginnya penjara, jantungnya berdebar-debar akibat hipoglikemia, mulut dan rahangnya pun terluka.

Selama 7 tahun, Ia melawan hingga titik nadir, sampai tumbang, hingga raga kakek berwajah teduh itu tak lagi mampu jadi senjata terakhir perlawanannya.

Nahas, kalau dilihat dari kacamata materil. Hina, kalau dipandang dari perspektif penguasa. Menyedihkan kalau ditatap dari kacamata awam.

Namun, Morsi sudah menang, ia jauh lebih mulia dari penguasa yang ia lawan. Tanpa angkat senjata, As Sisi sudah kalah.

Martabat Morsi melambung tinggi seperti jiwanya yang kini merdeka menghadap Rabb-nya. Sementara harga diri As Sisi? Jatuh! Karena dzalim membunuh seorang Kakek renta.

Selamat jalan kakek berwajah teduh. Dada jutaan orang kini telah kau buat membara, akibat perlawanan sunyimu dalam dinginnya penjara. Panjang Umur Perlawanan! Pendek Umur Kedzaliman!

Ditulis Oleh: Ahmad Jilul Qur’ani Farid