Berita  

Permendikbud Ristek 30/2021 Jadi Kontroversi, Ini Tanggapan Prof Romli Atmasasmita

Permendikbud Ristek 30/2021 Jadi Kontroversi, Ini Tanggapan Prof Romli Atmasasmita

Ngelmu.co – Peraturan yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek), terkait Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di wilayah peruguruan tinggi terus menuai kontroversi.

Pakar Hukum Pidana Angkat Bicara

Hal ini, membuat Pakar Hukum Pidana Prof Romli Atmasasmita angkat bicara. Menurutnya, maksud baik pemerintah telah dinodai karena telah memasukkan frasa tertentu ke dalam landasan hukum Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021.

Ia menyesalkan, karena di dalam landasan hukum tersebut, terdapat frasa persetujuan perempuan. Di mana, perempuan seharusnya terlindungi dalam peraturan tersebut. Sehingga, hal ini justru menimbulkan kontra produktif.

“Frasanya dengan persetujuan perempuan, objek yang seharusnya terlindungi peraturan tersebut. Dimasukkannya frasa tersebut terlepas dari niat baik atau tidak, tetap patut disesalkan karena frasa tersebut yang semula memberikan kepastian akan jaminan perlindungan kaum perempuan dan orang tuanya menjadi kontra produktif,” ujar Romli dikutip dari laman SINDOnews, Sabtu (13/11/2021).

Akibat memasukkan frasa tersebut, hal ini justru menjadi pertanyaan besar bagi masyarakat, khususnya para orangtua. Bukankah dengan adanya Permendikbud tersebut, akan melahirkan kampur merdeka berseks bebas?

Prof Romli menilai, jika melihat dari aspek tujuan dan perlindungan kaum wanita di lingkungan kampus sangat baik, tapi karena tersemat frasa tersebut (pasal 5), makna dari kebaikan Permindukbud menjadi hilang.

“Di sisi lain kebijakan kampus merdeka termasuk dalam hal tata Kelola administrasi akademik, juga pimpinan perguruan tinggi harus memusatkan perhatian terhadap kehidupan sehari-hari di dalam lingkungan kampus yang tidak mungkin terjangkau khusus menjaga dari pengawasan PPKS,” jelasnya.

Menimbulkan Ketidakpastian Hukum

Selain itu, ia juga mengatakan, frasa ‘dengan persetujuan’, yang didahului frasa ‘dengan sengaja’, hanya akan menimbulkan ketidakpastian hukum dari peraturan hukum tersebut. Dalam konteks silang pendapat mengenai Permendikbud 30, kata dia, terdapat tiga aspek yang memerlukan kajian bersama civitas academia.

“Pertama, aspek historis-sosiologis dan budaya masyarakat sejak tahun 1950-an sampai saat ini. Kedua, aspek hukum dan ketiga aspek penegakan Permendikbud 30 tersebut,” kata dia.

Mayoritas kehidupan kampus di Indonesia, sangat berkaitan erat dengan adat istiadat dan budaya masyarakat, serta keluarga di luar lingkungan kampus. Sehingga, hal ini termasuk salah satu aspek yang disebut dengan historis-sosiologis.

Dalam hal ini, karakteristik dan budaya masyarakat Indonesia yang bersumber pada adat istadat dan karakter masyarakat timur pada umumnya seperti kehidupan beragama yang masif, kekerabatan, memupuk kesopanan, dan kepantasan berperilaku.

Romli juga menjelaskan, bahwa konsep aib atau tabu yang membawa malu, bukan hanya keluarga melainkan satu kampung masih terus terjaga hingga kini. Meskipun, Indonesia telah memasuki abad revolusi industri 4.0.

Tidak Bisa Disamakan dengan Kehidupan Kampus Negara Barat

Kehidupan di kampus, tak bisa bebas dan lepas dari kolektivitas keterikatan satu sama lain. Tentunya, hal ini tidak bisa disamakan dengan kehidupan kampus di negara barat.

Di mana, mereka sudah sejak lama menjunjung kebebasan akademik, bukan saja dalam olah nalar intelektual, tapi juga dalam kehidupan pergaulan bebas relasi antar mahasiswa dan relasi antar mahsiswa dan dosennya baik di dalam maupun di luar kampus.

“Hal yang telah terbiasa di sana menjadi tak biasa di sini, hal yang biasa di sana menjadi aib di sini. Perbedaan kehidupan dan perilaku berkampus bersumber pada sejarah kehidupan masyarakt liberal (paham individualisme-liberalisme) di mana negara tidak berhak turut campur atas kehidupan setiap orang kecuali dengan tujuan mencegah dan melindungi dari perbuatan orang lain yang merugikan,” terangnya.

Masih kata Romli, apabila hal tersebut dihubungkan dengan Permendikbud 30, tentu sah-sah saja. Akan tetapi, peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia bersumber pada Pancasila, sehingga hal tersebut menjadi bertentangan.

Namun, jika frasa ‘dengan persetujuan’ dihilangkan, maka bukan tidak mungkin silang pendapat dalam masyarakat akan berhenti dengan sendirinya.

“Lagipula apakah dengan dipertahankannya frasa tersebut kemudian kehidupan kampus akan menjadi kondusif bagi tujuan awal Permendikbud 30 tersebut? Pertanyaan ini terkait aspek penegakan Permendikbud 30” tandasnya.

Ia juga menjelaskan, secara keseluruhan, substansi Permendikbud 30 telah diatur dalam KUHP termasuk delik biasa dan delik aduan-frasa ‘dengan persetujuan’, memiliki konotasi dengan delik kedua.

Sebab, apabila nantinya terjadi pelanggaran, maka korban dapat menyapaikan laporan pengaduan (pidana) atas perbuatan pelaku tanpa pengaduan maka pihak kepolisian tidak akan melakukan tindakan hukum apa pun.

Adapun tindakan lain yang dilarang dalam Permendikbud 30 dikenakan sanksi administratif, mulai dari peringatan, ancaman pencabutan hak sebagai mahasiswa/dosen, atau pemaafan dan kompensasi, atau rehabilitasi.

Selain memberikan kritik terhadap Permendikbud 30, Romli juga mengatakan, apa pun kelemahan dan kelebihan dari landasan hukum tersebut, harus diberikan apresiasi.

Baca Juga:

Khususnya, untuk Kemendikbud, atas upayanya dalam melakukan pencegahan sebagai salah satu tujuan ketertiban dan kenyamanan kehidupan kampus disertai pembentukan PPKS di bawah pengawasan pimpinan perguruan tinggi.

“Sekadar saran, mengapa Permendikbud 30 tidak diajukan sebagai perubahan atas UU tentang Pendidikan Tinggi,” ucapnya.