Opini  

Perppu Ormas, Kemarahan PKS dan Konsistensi Menjaga Demokrasi

Kemarahan PKS

Sudahkah Anda melihat bagaimana aksi Mardani Ali Sera menyampaikan sikap Fraksi PKS terkait Perppu Ormas No. 2 Tahun 2017 di DPR, hari ini? Kemarahan PKS. Mantan Ketua Tim Sukses Anies-Sandi dalam Pilgub DKI Jakarta itu terlihat gusar. Mimik wajah dan intonasi suaranya tak dapat menyembunyikan kemarahannya.

Bagi mereka yang apriori, pandangan PKS dianggap wajar. Bukankah partai dakwah ini oposisi? Jadi apa istimewanya jika mereka menolak Perppu Ormas? Justru ini saat yang tepat menarik simpati publik. Kira-kira begitu dugaan saya terhadap pihak yang kadung tidak suka dengan PKS.

Tapi bagi saya, ini bukan soal oposisi dan mencari perhatian rakyat. Isu Perppu Ormas hanya laku di kalangan menengah ke atas atau perkotaaan, tak mudah dijual dan dipahami rakyat kebanyakan. Jadi tak pada tempatnya jika berprasangka bahwa PKS ingin menarik simpati publik.

Jika PKS tidak berada di barisan oposisi pun, saya haqqul yaqin partai ini akan dengan tegas menolak Perppu Ormas. Begini alasannya.

Kemarahan PKS, yang diwakili Mardani, terlihat marah sangat normal seperti yang tercermin dalam pernyataannya.

“Perppu Ormas berpotensi merusak pondasi demokrasi,” kata Mardani dengan lantang.

Bagi saya, menulis tema politik Islam paling mengasyikkan adalah ketika mengaitkan demokrasi dengan PKS.

Soal jabatan rangkap di partai dan pemerintahan? PKS telah memberikan contoh sejak zaman Nurmahmudi Ismail. Tentang memilih pimpinan partai yang tanpa gonjang-ganjing dan politik uang? PKS sudah mencontohkannya. Soal bagaimana melakukan manajemen kerusakan saat kasus kriminalisasi Luthfi Hasan Ishaq? PKS telah mempraktekkannya.

Tentang memilih orang nomor satu di partai melalui mekanisme yang bottom up? PKS sudah mengerjakannya lewat Pemira atau pemilihan raya. Lalu soal tidak adanya trah darah biru dalam memilih elit partai? PKS pun sudah mengerjakannya. Belum lagi hampir tidak adanya caleg dari kalangan artis yang biasanya menjamur dan dilakukan partai lain. Singkat kata: PKS itu paling kompatibel terhadap demokrasi modern.

Mungkin akan ada yang berkata, “Ah itu karena Anda (Saya-red) kader PKS, jadi tentu saja membela dan mendukung.”

Ok. Jika meragukan obyektifitas saya, mari kita lihat hasil survey Indikataor Politik Indonesia pimpinan Burhanuddin Muhtadi pada September-Oktober 2013 tentang perilaku politik uang.

“Kesimpulannya: kecenderungan menerima politik uang tertinggi massa PKB (47 persen). Terendah, massa pemilih PKS (36 persen),” kata Direktur Eksekutif Indikator, Burhanuddin Muhtadi.

Dibawah PKB, berturut-turut massa partai yang cenderung menerima politik uang adalah PDIP (46%), Nasdem (46%), Gerindra (46%), PPP (43%), Hanura (42%), Demokrat (39%), Golkar (39%), dan PAN (38%).

Menurut Burhanuddin, politik uang terjadi karena Pemilih tidak memiliki kedekatan secara psikologis dengan partai politik atau Party ID. Akibatnya pemilih kemudian melakukan relasi transaksional dengan partai politik. Pemilih menjadikan politik uang dan pendekatan kampanye yang bersifat partikularistik sebagai kompensasi kepada partai politik.

Baca Juga: Usai UU Disahkan, Ormas Mana Lagi yang akan Dibubarkan, Tjahjo?

Party ID yang rendah disebabkan karena buruknya kinerja partai politik dalam membangun hubungan dengan massa pemilihnya. Jika partai politik tak berbenah, lanjut Burhan, maka Pemilih makin menjauhi partai dan biaya politik makin mahal karena pemilih cenderung memakai pendekatan transaksional dengan partai.

Selama ini deretan panjang keluhan terhadap pelaksanaan demokrasi di Tanah Air sering dilontarkan banyak pihak. Demokrasi kita mahal; demokrasi kita tak berkualitas, demokrasi kita buruk, demokrasi kita buang-buang uang; demokrasi kita di simpang jalan, dan sebagainya.

Ternyata ada sebuah partai yang sejauh ini mampu menjalankan roda organisasi kepartaiannya dengan baik dan di rel yang benar. Ternyata ada partai yang secara sungguh-sungguh melaksanakan fungsi-fungsi kepartaian. Ternyata ada partai yang menjadi mesin ideologi untuk memproduk kader-kader yang resisten terhadap politik uang.

Soal kemampuan PKS mensinergikan Islam dan demokrasi ini mendapat pengakuan dari Burhanuddin. Kata dia:

“Dulu, partai Islam dicitrakan antidemokrasi karena cenderung teokratik. Namun, ketika masuk dalam sistem demokrasi, PKS kemudian menjadi semakin moderat. Partai ini mampu mengawinkan Islam dan demokrasi.”

Masih belum puas dengan fakta di atas? Saya akan ajak Anda menyimak pendapat AS Hikam, mantan Menristek di era Presiden Abdurrahman Wahid.

“Manajemen kontrol kerusakan (damage control management) PKS patut diacungi jempol dan ditiru oleh partai lain. Kedepan, PKS bisa mengubah kekacauan menjadi keuntungan dengan mengganti Presiden mereka, Luthfi Hasan Ishaq,” ungkap AS Hikam.

“Berbeda dengan parpol lain yang jika pimpinannya tersandung masalah lalu malah “mbulet,” maka PKS langsung bertindak cepat, bersih-bersih partai,”lanjut Hikam.

“Ini karena budaya politik PKS mengutamakan kepentingan organisasi ketimbang figur, memikirkan jangka panjang ketimbang jangka pendek. Kader selevel Luthfi Hasan Ishaq tampaknya juga tak sulit dicari di PKS. Di partai ini juga tidak ada kendala-kendala seperti hubungan keluarga, darah biru, dan tetek bengek lain seperti yang dikenal di parpol lain.”

Pihak luar dengan jujur mengakui nilai-nilai demokrasi yang diperjuangkan PKS. Jadi, jika Kemarahan PKS yang direpresentasikan Mardani terlihat marah, bukan karena semata keberadaannya sebagai oposisi. Ini lebih pada kegusaran akan hancurnya pondasi demokrasi yang telah dibangun dan soal konsistensi sikap menjaga demokrasi di Tanah Air.

Oleh: Erwyn Kurniawan (Presiden Relawan Literasi PKS)

NEXT