Berita  

Pesan Tentang Pancasila dari Ketum PP Muhammadiyah untuk PKS

Muhammadiyah PKS Pancasila

Ngelmu.co – Menjelang Musyawarah Nasional (Munas) ke-V Partai Keadilan sejahtera (PKS), Rabu (25/11) kemarin, Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, menyampaikan pesan mengenai dasar negara Indonesia, Pancasila.

Di matanya, Pancasila, lahir sebagai konsensus bersama. Menjadi rel pijakan juga acuan, ke arah mana pengelolaan serta jalan Indonesia, sebagai sebuah negara.

Namun, bagi Haedar, bangsa ini masih jauh dari cita-cita ideal tersebut.

Sebab, masih banyak masalah keteladanan yang melibatkan para elite politik.

Belum lagi produk hukum serta kebijakan publik yang tidak menjiwai Pancasila.

Begitu pun persoalan integrasi komunitas beragama dengan Pancasila, yang juga masih menjadi ‘PR’ bersama.

Haedar, menggambarkan persoalan-persoalan yang sedang Indonesia hadapi, seperti tiga macam bentuk pernikahan.

Pertama, ada kelompok warga negara yang menganggap Pancasila, sebagai tanggung jawab besar akad Mitsaqan Ghalida.

Sehingga mereka berupaya kuat menerjemahkannya dalam aksi nyata. Membangun negara dan bangsa.

Mengutip muhammadiyah.or.id, menurut Haedar, pihaknya ada di posisi ini.

“Indonesia kita sebut sebagai negara Pancasila, agar kita punya value yang mendasar dan tidak asal-asalan,” tuturnya.

“Sebagai tempat kita berkomitmen, dan kita tidak boleh keluar, karena sifatnya sudah akad yang kokoh,” sambung Haedar.

“Tetapi tidak cukup dengan akad dan komitmen normatif itu. Harus kita isi, agar menjadi negara yang berdaulat, bersatu, adil dan makmur,” lanjutnya lagi.

“Seperti yang dicita-citakan, bukan hanya di atas kertas,” tegas Haedar.

Baca Juga: 5 Fraksi Tolak Lanjutkan RUU Ketahanan Keluarga, PKS Yakin Perjuangan Tak Terhenti

Kedua, ia, ada kelompok yang menganggap Pancasila, sebagai ‘kawin paksa’, sehingga ikatannya tidak kokoh.

Negara, pesan Haedar, harus merangkul kelompok ini lebih erat.

Sementara yang ketiga, ada kelompok yang menganggap tidak ada ikatan secara ideologis dengan Pancasila.

Sehingga Pancasila, hanya mereka gunakan sebagai alat untuk memenuhi cita-cita sempit pribadi pun kelompoknya.

“Karena itu, kita harus kembalikan ke mitsaqan ghalida. Semua harus punya visi yang sama, bahwa Pancasila adalah titik tengah, tempat semua pihak bertemu,” pesan Haedar.

“Jangan ditarik-tarik ke kanan (agama) atau ke kiri (sekuler). Sekali ada yang menarik, maka akan ada problem,” imbaunya.

Berangkat dari sana, Haedar, pun menganjurkan agar seluruh kekuatan serta institusi politik negara, baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif, untuk secara konsekuen mengamalkan Pancasila.

Bukan hanya komitmen, tetapi juga dalam berbagai kebijakan.

“Jangan bikin kebijakan-kebijakan yang justru bertentangan dengan prinsip dan nilai-nilai luhur Pancasila,” tegas Haedar.

Selain negara, para tokoh masyarakat, menurutnya, juga wajib memberi keteladanan yang memancarkan nilai luhur Pancasila, sebagai budaya kolektif.

“Ada banyak orang mengaku paling Pancasilais, tapi apakah perilakunya mencerminkan Pancasila?” tanya Haedar.

“Dimulai dari keteladanan. Tokoh agama, harus paling depan, karena ia, membawa nilai yang paling sakral… membawa Tuhan, nabi, dan kitab suci,” imbuhnya.

“Sekali tidak sejalan kata dan tindakan, maka luruhlah uswah hasanah itu,” pungkas Haedar.