Berita  

Ketika Isi Pidato Jokowi di COP26 Bertolak Belakang dengan Kenyataan

Pidato Jokowi di COP26
Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat tiba di Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP26) di Glasgow, Skotlandia, Inggris, Senin, 1 November 2021. Foto: Reuters/Phil Noble

Ngelmu.co – Presiden Joko Widodo (Jokowi) turut berpidato saat menghadiri KTT [Konferensi Tingkat Tinggi] Pemimpin Dunia–tentang Perubahan Iklim COP26–di Glasgow, Skotlandia, Senin (1/11/2021).

Kini, isi pidato Presiden ke-7 RI itu, menjadi sorotan para pemerhati lingkungan.

Selama empat menit, Jokowi, menyampaikan klaim capaian, serta komitmen Indonesia, dalam menangani perubahan iklim.

Sayangnya, sejumlah aktivis lingkungan justru menilai pidato Jokowi tersebut, bertolak belakang dengan kenyataan.

“Klaim Presiden Jokowi dalam pidato COP26, bisa dikatakan omong kosong.”

Demikian kata Iqbal Damanik, Forest Campaigner Greenpeace Asia Tenggara, dalam jumpa pers virtual, Selasa (2/11) lalu.

Klaim Jokowi mengenai Kebakaran Hutan

Jokowi, dalam pidatonya mengeklaim, Indonesia terus berkontribusi menangani perubahan iklim.

Laju deforestasi juga turun signifikan di tahun 2021; menjadi yang terendah dalam dua dekade terakhir.

Jokowi mengatakan, bahwa Indonesia, merehabilitasi 3.000.000 lahan kritis, antara tahun 2010-2019.

Sektor yang awalnya menyumbang 60 persen emisi Indonesia ini akan mencapai karbon nett, selambatnya pada 2030.

“Kebakaran hutan juga turun 82 persen di tahun 2020,” kata Jokowi.

“Indonesia juga telah memulai rehabilitasi hutan mangrove seluas 600 ribu hektare, sampai 2024. Terluas di dunia,” imbuhnya.

Lebih lanjut–ketika bertemu Presiden Amerika Serikat Joe Biden, di sela-sela KTT COP26–Jokowi menyampaikan janji.

Ia bilang, akan merestorasi 600 ribu hektare hutan bakau Indonesia, di sisa masa pemerintahannya.

Dalam Deklarasi Pemimpin Glasgow tentang Hutan dan Penggunaan Lahan COP26, Indonesia–bersama 104 negara yang hadir–sepakat menghentikan deforestasi, dan mulai menjaga hutan.

Namun, bagi Iqbal, berbagai klaim Jokowi di atas, kurang tepat.

“Agak lucu, ya, Jokowi mengeklaim bahwa tahun 2021, terjadi penuruan kebakaran hutan sebanyak 82 persen.”

“Itu adalah satu data yang dikutip secara tidak lengkap,” kritiknya, mengutip CNN Indonesia.

Kebakaran hutan di Indonesia, memang tampak turun, tetapi menurut Iqbal, hal itu bukan karena intervensi kebijakan pemerintah yang bertujuan melindungi hutan.

Ia menjelaskan perbandingan angka kebakaran hutan pada 2020 yang mencapai 300 ribu hektare, dengan 170 ribu hektare di tahun 2017.

Data itu, kata Iqbal, secara garis besar menunjukkan angka deforestasi di Indonesia, memang turun.

Namun, lantaran musim hujan, bukan intervensi kebijakan pemerintah soal kebakaran hutan.

“Indonesia tidak melakukan apa-apa terhadap penjagaan hutan,” tegas Iqbal.

“Buktinya, 2021 ini ada beberapa perusahaan yang masih membakar lahan terbuka mereka di beberapa titik,” imbuhnya.

“Seperti di Sumatra Selatan, dan Kalimantan Barat,” sambungnya lagi.

“Jadi, Jokowi tidak bisa mengeklaim berhasil menangani kebakaran hutan,” lanjut Iqbal.

Laju Deforestasi Rezim Jokowi vs SBY

Berdasarkan data yang Greenpeace dapat, deforestasi di rezim Jokowi, juga jauh lebih parah dari 10 tahun lalu.

Potret ini juga bertolak belakang dengan klaim Jokowi di COP26.

Ia bilang, deforestasi Indonesia turun hingga level terendah, dalam 20 tahun terakhir.

Menurut Iqbal, pada 2011-2016, deforestasi di Indonesia tercatat melahap hingga 4,8 juta hektare.

Sementara sekitar tahun 2003-2011, angka deforestasi Indonesia berada 2,45 juta hektare.

“Artinya, deforestasi di Indonesia, selama ini tidak ditangani dengan baik.”

“Bahkan dalam dokumen perencanaan long term strategy Indonesia, masih ada kemungkinan deforestasi terjadi sebanyak 6.000.000 hektare,” papar Iqbal.

Rencana RI Beralih ke Energi Baru Terbarukan

Bukan cuma soal deforestasi. Iqbal juga menyinggung pernyataan Jokowi tentang rencana Indonesia.

Kata Jokowi, RI akan beralih dari sektor energi tradisional ke energi baru terbarukan.

Dalam pidatonya, ia bilang, Indonesia sedang mulai membangun ekosistem mobil listrik, pembangkit listrik tenaga surya terbesar di Asia Tenggara.

Tak terkecuali pemanfaatan energi baru terbarukan, termasuk bio fuel.

Indonesia–masih kata Jokowi–juga tengah berfokus pada pengembangan industri berbasis clean energi.

Termasuk pembangunan kawasan industri hijau terbesar di dunia, yang letaknya di Kalimantan Utara.

Lagi-lagi, bagi Iqbal, apa yang Jokowi ucap dalam pidatonya itu, justru menandakan bahwa Indonesia, tidak akan beralih [dari industri ekonomi ekstraktif yang berbasis lahan dan bahan bakar fosil].

“Ketika Jokowi bilang solusinya [energi baru terbarukan] adalah bio-fuel, itu keliru, ya.”

“Jika kita hendak mencapai target bio-fuel, itu berarti tetap dibutuhkan 9.000.000 hektare perkebunan sawit baru di indonesia,” tegas Iqbal.

Sementara perkebunan sawit kental dengan pembukaan lahan baru adalah perusak perhutanan Indonesia.

Lebih lanjut, Iqbal juga menyoroti pernyataan Jokowi, soal pembangkit listrik ramah lingkungan.

Klaim Jokowi itu, tuturnya, berseberangan dengan rencana Kementerian ESDM dan PLN.

Pasalnya, kedua pihak itu akan tetap membangun 13,8 giga watt pembangkit listrik tenaga batu bara.

Baca Juga:

Iqbal tak sendiri. Manajer Kampanye Keadilan Iklim Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Yuyun Harmono, juga bicara.

Ia melontarkan kritik senada, karena menurutnya, tidak ada hal baru yang Jokowi ucap saat pidato di KTT COP26.

“Tidak ada sesuatu yang baru dalam pidato itu. Kita sering kali mendengar Jokowi menyampaikan klaim-klaim itu.”

“Bahkan, di forum G20 juga sama,” tegas Yuyun.

Ia juga menyinggung janji Jokowi soal Indonesia tengah membangun ekosistem mobil listrik.

Rencana itu, kata Yuyun, justru berpotensi menimbulkan masalah lingkungan baru, kalau proses transisinya tidak benar-benar dirumuskan.

Sebab, menurutnya, perlu bahan dasar baru seperti nikel dan lithium, ketika membangun ekosistem mobil listrik berbasis baterai.

Sementara nikel dan lithium, lagi-lagi berasal dari komoditas pertambangan.

“Ekosistem mobil listrik ini juga salah satu hal yang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan parah,” kata Yuyun.

“Terutama di negara yang memiliki cadangan penting industri transportasi berbasis baterai,” imbuhnya.

Yuyun juga menyampaikan risiko yang akan terjadi, jika pembangunan ekosistem mobil listrik ini tidak diterapkan dengan konsep transisi yang hati-hati dan betul.

“Sulawesi dan Papua, lagi-lagi terancam jadi ladang penghancuran lingkungan baru, karena di wilayah itu terdapat cadangan nikel,” pungkasnya.