Opini  

PKS dalam Tafsir Almarhum Dawam Rahardjo: Tidak Radikal, Hanya Militan

Indonesia kehilangan salah satu cendekiawan muslim terbaiknya saat Ramadhan belum genap setengah bulan. Rabu, (31/5/2018), Prof Dawam Rahardjo wafat di RS Islam Jakarta pukul 21.55 WIB dalam usia 76 tahun.

Langit duka menyelimuti Tanah Air. Ucapan bela sungkawa datang dari berbagai penjuru. Tak terkecuali dari mantan PM Malaysia Anwar Ibrahim.

Anwar mengatakan, almarhum Dawam merupakan tokoh akademik Indonesia dan seorang pemikir ekonomi politik yang progresif. Pemikiran ekonomi pro-rakyatnya merupakan ide yang progresif, khususnya terkait ide koperasi.

Dawam Rahardjo, lahir di Solo, Jawa Tengah, 20 April 1942. Kiprahnya dikenal sebagai seorang pengamat sosial ekonom Indonesia terkemuka. Ia mendapatkan gelar S-1 dari Fakultas Ekonomi UGM (1969). Dia sangat intens bergelut dalam dunia penelitian dan secara terus-menerus mengamati perkembangan masyarakat Indonesia.

Dari tangan dinginnya, lahir berbagai lembaga penelitian bergengsi, seperti LP3ES. Gelar Guru Besar dalam bidang ekonomi didapatnya dari Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) pada 1993. Dawam juga pernah menjabat Ketua Umum ICMI dan cukup dekat dengan sosok BJ Habibie.

Banyak pihak yang menanti gagasannya. Maklum, almarhum cemerlang pemikirannya. Berpikir jernih, objektif dan kritis dalam meneropong persoalan politik, ekonomi, sosial dan keislaman. Sehingga tak heran jika keberadaannya begitu dihormati banyak kalangan.

Salah satu yang sering dinanti adalah tafsir Dawam dalam memotret Islam politik di Tanah Air. Dalam sebuah kesempatan, Dawam bercerita cukup panjang soal ini. Lalu almarhum mengaitkannya dengan keberadaan PKS yang dianggap banyak orang sebagai partai Islam radikal. Ternyata, Dawam punya tafsir sendiri tentang ini.

Berikut nukilan wawancaranya dengan Republika pada 2015 silam.

Dahulu ketika para bapak-bangsa ini berdebat soal konstitusi di BPUPKI, yang ada di sana hanyalah kelompok Islam dan nasionalis. Apa dengan demikian bila salah satu pihak dihilangkan–dalam hal ini Islam Politik–maka jelas itu pengingkaran sejarah?

Iya, memang begitu. Dahulu di BPUPKI itu kan hanya diikuti dua golongan, Nasionalis dan Islam. Saat itu, kekuatan komunisme sudah bangkrut ditindas oleh pemerintah kolonial Belanda. Demikian juga golongan sosialis, pada saat itu golongan ini belum lahir. Golongan sosialis baru lahir setelah kemerdekaan. Jadi, kedua golongan terakhir itu tak ada dalam BPUPKI.

Nah, karena tak ada dalam BPUPKI, maka dimengerti bila keduanya–sosialis dan komunis–menentang Pancasila dan menentang UUD 1945. Jadi, kalau ada pihak yang kini terus-menerus berusaha keras menghapus Islam politik, maka mereka ini adalah kelompok orang yang tak mau melihat kenyataan.

Dahulu, misalnya, ada pandangan bahwa kekuatan Islam politik itu Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Partai ini dianggap memperjuangkan syariat Islam dan negara Islam. Nah, sekarang, yakni pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, malah mereka masuk dalam kabinet atau pemerintahan. Dan faktanya membuktikan ketika PKS ada dalam pemerintahan mereka tak pernah memperjuangkan syariat Islam dalam artian mendirikan negara Islam. Tudingan itu ternyata tak ada dan tak terbukti!

Malahan, saya melihat kini kekuatan Islam politik terus melakukan proses demokratisasi dan bahkan terjadi proses deradikalisasi. Sekarang PKS sama sekali tak ada tanda-tanda radikal. Partai itu hanyalah militan. Dan, antara radikal dan militan itu artinya berbeda sama sekali serta ini sering disalahpahami.

Kalau begitu, apa bedanya radikal dan militan itu?

Ya beda. Kalau radikal itu menginginkan perubahan secara mendadak, sedangkan militan itu tak begitu. Militan adalah konsisten berjuang secara terus-menerus dengan disertai kerja keras serta penuh kesabaran. Nah, maka itu kedua kata ini hendaknya jangan salah dipahami karena beda arti dan pemahamannya.

Dawam boleh wafat dan meninggalkan kita. Tapi almarhum memberikan warisan pemikiran tak ternilai soal politik Islam. Tentu saja dengan analisis yang jernih dan objektif. Hal yang saat ini justru menjadi barang mewah.

Selamat Jalan Mas Dawam…

Erwyn Kurniawan