PKS dan Sindiran Partai Oposisi

Sohibul Iman

Ngelmu.co – Surat terbuka Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mohamad Sohibul Iman, kepada Presiden Joko Widodo, beredar luas di media sosial. Surat yang dipublikasikan pada 3 April 2020 itu, menarik dan sarat makna.

Presiden PKS hendak menyapa, menyambung silaturahim, mengingatkan, mengkritik, sekaligus (sampai tingkat tertentu) memberi dukungan kepada Presiden Jokowi.

Terasa lembut, sejuk, sopan, terukur, dan dewasa bahasa politiknya, juga terkesan ‘polos-datar’, tanpa kehilangan ‘daya-tusuk’.

Dia tidak menghentak, tidak sangar, tidak menunjukkan getar emosi, dan tidak mengancam.

Sangat berbeda dengan ‘kicauan’ sejumlah politisi lainnya—yang justru berada dalam barisan rezim penguasa—yang mengkritik sikap dan kebijakan Presiden Jokowi, dengan bahasa yang keras dan membuat bising.

Sindiran untuk Presiden

Surat terbuka itu merefleksikan kerisauan PKS, terhadap gaya leadership dan kebijakan Presiden Jokowi, dalam penanganan COVID-19.

PKS, sepertinya gregetan dan panas hati melihat kekacauan, kesemrawutan, ketidakpekaan, dan ketidaktegasan, manajemen pemerintahan Jokowi.

Mulai dari sikap memandang enteng COVID-19, hingga kegugupan luar biasa ketika virus jahat itu benar-benar datang dan menyerang tanpa pandang bulu.

Apalagi melihat tingkah-pola ‘menteri segala urusan’ yang membuat semuanya berantakan.

Survei lembaga think tank INDEF antara Januari-Maret 2020, menunjukkan tingginya respons negatif masyarakat terhadap pemerintah (baca: Presiden Joko Widodo dan Menkes Terawan), dalam penanganan COVID-19.

Dari 135.000 orang yang disaring, ada 66,28 persen memberikan respons negatif, sementara respons positif hanya 33,72 persen.

PKS, sepertinya melihat dengan terang-benderang, betapa Jokowi, sesungguhnya tidak memiliki kapasitas memadai sebagai presiden.

Terlalu besar republik ini, dan terlampau kompleks permasalahan yang di-hadapi bangsa ini, jika hanya dipimpin oleh sosok lemah dan tak meyakinkan semacam Jokowi.

Lima tahun periode pertama, tak jelas apa wujud prestasinya. Sementara janji-janjinya yang tak mampu di-realisasikan, malah berderet panjang.

Ironis, kelemahan begitu rupa, justru tertutupi oleh pembelaan media yang begitu massif dan sistematis.

PKS, sebenarnya sangat tidak suka dengan kenyataan itu. Tetapi apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur.

Dalam kenyataan politik, Jokowi, saat ini adalah presiden. Resmi presiden. Dalam konteks inilah, PKS membuat surat terbuka untuk menegur sekaligus mengkritik dan menyindir sang presiden, serta para menterinya.

Orang-orang lingkaran dekat yang mengelilinginya, para ‘penjilat’ yang pura-pura memujanya, dan media yang ngotot membelanya.

PKS seolah ingin mengatakan begini:

“Pak Presiden, harap tegas, cepat, dan peka dalam menghadapi bahaya COVID-19. Tolong juga adil dalam melayani masyarakat. Tunjukkan kekuasaan dan kewenanganmu sebagai presiden, bukan boneka. Jangan takut dengan bayang-bayang si A dan B. Jadilah dirimu sendiri!”

Rasa gregetan dan panas hati PKS, semakin menjadi ketika ada isu soal anggaran penanganan COVID-19, justru sebagian besar mengalir ke para pengusaha, bukan kepada rakyat kecil yang tengah menderita.

Apakah ini juga berkolerasi dengan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang justru lebih menekankan aspek ekonomi ketimbang strategi penangangan COVID-19?

Siapa di balik semua itu? Para elite PKS, tentu dan insya-Allah, tahu siapa dalang di balik layar.

Sikap Oposisi

Surat terbuka Presiden PKS, bisa diletakkan sebagai reaksi partai Islam ini, partai Oposisi.

Walau sedikit terlambat. Namun, sikap dan reaksi politik PKS, telah turut meramaikan deretan kritik dari berbagai kalangan—termasuk sejumlah tokoh dari partai politik yang berada dalam barisan rezim penguasa—terhadap pemerintah (yang dari berbagai aspek amburadul dalam menangani bahaya COVID-19).

Pertanyaannya, apakah kritik dan sindirian PKS itu, akan mendapat respons dan apresiasi dari Presiden Jokowi, serta tim penanganan COVID-19 yang dibentuknya?

Apakah Presiden Jokowi sendiri, membuka diri terhadap kritik dan sindiran dari partai Oposisi?

Pertama, bisa saja Presiden Jokowi, merespons positif kritik dan sindiran PKS.

Ini akan terjadi, jika kritik dan sindirian itu dinilai—termasuk oleh orang-dekat dekatnya—memberikan keuntungan politik, serta menambah bobot kebijakan-kebijaan yang diambilnya.

Masalahnya, apakah respons dan apresiasi itu akan di-ungkapkan secara terbuka, atau hanya diam saja, tetapi digunakan?

Kedua, Presiden Jokowi, mungkin saja mengabaikan sama sekali kritik dan sindiran PKS itu.

Kenapa? Ketika presiden memandang apa yang di-risaukan PKS itu sebagai sesuatu yang kecil saja, dan tidak memiliki pengaruh apa-apa terhadap kepercayaan publik atas dirinya.

Presiden bisa juga menganggapnya sebagai angin lalu, dan PKS di-pandang sekadar cari panggung, di tengah isu COVID-19.

Tetapi apa pun wujud respons Presiden Jokowi, PKS sudah berusaha menjalankan perannya sebagai partai Oposisi.

Sebagai partai yang pernah mengklaim diri sebagai ‘partai dakwah’, PKS tentu sangat paham dengan itu semua.

Kira-kira, PKS akan bilang begini:

“Terserah saja. Tugasku hanya menyampaikan (kritik dan sindiran) dengan sungguh-sungguh dan tulus. Perkara kamu dengar dan ikuti atau kamu abaikan sama sekali, itu soal lain, dan itu urusanmu.”

Sebagai kekuatan oposisi, menjadi tidak menarik, jika PKS hanya berhenti sampai di situ.

Mestinya, ada kontinuitas dari kritik-kritik yang disampaikan. Tidak sporadis saja. Lalu, kritik dan sindiran itu menjadi relatif efektif, jika ia lahir dan di-katakan pada waktu yang tepat.

Bisa juga sesuai momentum-momentum tertentu. Tidak sembarang di-obral, sehingga bobot nilainya terjaga.

Sebagai partai dari orang-orang yang well educated, PKS tentu di-harapkan memberikan kritik kepada pemerintah dengan berbasis data, memiliki perspektif yang jelas, argumentatif, dan berbobot.

Bagaimanapun kritik dari oposisi, selain mesti bisa di-pertanggungjawabkan, juga di-harapkan punya pengaruh terhadap perbaikan kehidupan bernegara.

Pengalaman beroposisi sejak 2014, mungkin bisa membuat PKS lebih matang dan cermat memanfaatkan ruang-ruang demokrasi, untuk memberi warna dan kontribusi tersendiri dalam arena politik negeri ini.

Peran utama partai oposisi adalah melakukan kontrol terhadap rezim penguasa, sehingga kebijakan-kebijakan yang dirumuskan dan diterapkan, relatif on the right track.

Peran oposisi yang dijalankan PKS saat ini, pasca Pemilu 2019, sedikit banyak membuat partai ‘kuning-hitam’ ini kesepian. Kesepian di tengah keramaian. Wallahu a’lam.

Oleh: Dosen Ilmu Politik Universitas Brawijaya dan Senior Researcher pada CEPP FISIP UI, Abdul Aziz SR

Baca Juga: Surat Terbuka Presiden PKS M Sohibul Iman untuk Presiden RI Joko Widodo