PKS, NU, Muhammadiyah Kompak Tolak Usulan Penghapusan Pendidikan Agama

Praktisi Pendidikan, Setyono Djuandi Darmono

Ngelmu.co – Usulan penghapusan pendidikan agama di sekolah yang disuarakan oleh Praktisi Pendidikan, Setyono Djuandi Darmono menuai kontroversi. Senada dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang mengkritik keras dan menolak hal tersebut, pihak Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah pun berdiri di barisan yang sama.

Mereka dengan tegas menolak usulan Darmono. Selain meminta masyarakat untuk mengabaikan wacana tersebut, apa yang disampaikan oleh Chairman Jababeka itu, juga dinilai sebagai bentuk sekularisasi yang sangat bertentangan dengan Pancasila.

Ketua Fraksi PKS di DPR, Jazuli Juwaini

“Ini ide sekularisasi yang menjauhkan generasi bangsa dari nilai-nilai agama. Wacana ini juga bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, dan tujuan pendidikan nasional,” ujar Ketua Fraksi PKS di DPR, Jazuli Juwaini tegas, Jumat (5/7).

Melansir dari berbagai sumber, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Yunahar Ilyas pun menyatakan, usulan penghapusan mata pelajaran agama di sekolah, harus diabaikan. Karena usulan itu tidak memiliki landasan yang jelas.

Wacana itu, menurutnya, juga bertentangan dengan Sila Pertama dan pasal 31 UUD 45, Tujuan pendidikan Nasional. Yunahar menyebut, pengusul tidak melakukan anasilasis terkait pendidikan agama.

Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Yunahar Ilyas

“Presiden harus abaikan usulan ahistoris tersebut. Pernyataan yang tidak berdasar fakta, hanya asumsi,” tuturnya, Sabtu (6/7).

Sementara itu, Ketua Pengurus Harian Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Robikin Emhas menegaskan, agama merupakan solusi perdamaian dunia. Maka, ia menegaskan agar jangan pernah ada yang berpikir untuk meniadakan pendidikan agama dari sekolah.

Ketua Pengurus Harian Tanfidziyah PBNU, Robikin Emhas

“Melalui agama Tuhan memperkenalkan dirinya, sehingga manusia mengenal sifat-sifat Tuhan. Kita mengenal Allah sebagai Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang dan seterusnya, justru karena peran agama,” jelasnya dalam keterangan tertulis, Sabtu (6/7).

Menurutnya, negara harus tetap hadir melalui peran pendidikan agama di sekolah.

“Ajaran agama yang dikembangkan di sekolah harus moderat dan toleran, yang sekaligus menumbuhkan semangat nasionalisme tinggi. Agar setiap pemeluk agama taat kepada agamanya. Namun, sekaligus mencintai tanah airnya,” pungkas Robikin.

Sebelumnya, Darmono mengatakan, pendidikan agama tidak perlu diajarkan di sekolah. Karena agama cukup diajarkan orangtua masing-masing, atau lewat guru agama di luar sekolah.

Karenanya, dia menyarankan kepada Presiden Joko Widodo, untuk meniadakan pendidikan agama di sekolah. Sebab menurutnya, pendidikan agama harus menjadi tanggung jawab orangtua serta guru agama masing-masing (bukan guru di sekolah). Sebab negara ini harus dirawat dengan nilai-nilai budaya, bukan nilai agama.

Menanggapi hal ini, Desk Komunikasi Jababeka, Ardiyansyah Djafar pun memberikan klarifikasi secara tertulis. Karena ia menilai, telah ada kesalahan tafsir, terkait pernyataan Darmono.

“Beredar berita bahwa SD Darmono, pendiri Jababeka, menganjurkan Presiden Jokowi untuk mengeluarkan pelajaran agama dari sekolah. Kami tegaskan bahwa pendapat itu telah menimbulkan salah penafsiran. Untuk itu kami meluruskan.

Pertama, SD Darmono sangat peduli pada pendidikan karakter berbasis agama yang mempunyai akar kuat da sudah mentradisi di Nusantara. Yang dia soroti dan prihatinkan adalah mengapa identitas agama ketika dikaitkan dengan politik malah mendorong munculnya konflik dan polarisasi sosial,” imbuhnya.

Kedua, masuknya paham keagamaan yang ekstrem ke sekolah dan universitas mesti menjadi perhatian kita semua. Karena hal ini merusak kesatuan dan harmoni sosial. Oleh karena itu, materi pembelajaran dan kualitas guru-gurunya perlu ditinjau ulang. Hendaknya pelajaran agama itu lebih menekankan character building dan kemajuan bangsa. Terlebih lagi Indonesia dikenal sebagai bangsa yang religius.

Ketiga, jika pelajaran agama dalam aspek-aspeknya yag dianggap kurang, itu tanggungjawab setiap orangtua dan komunitas umat beragama, bisa dilengkapi di masjid, gereja, atau vihara.

Keempat, jadi intinya bukan mengeluarkan pelajaran agama dari sekolah, tetapi sebuah koreksi dan renungan, apa yang salah dengan pendidikan agama kita di sekolah,”.

Ardiyansyah pun berharap, klarifikasi yang ia sampaikan bisa meredakan polemik, dan menghilangkan kontroversi yang sudah berkembang di tengah masyarakat.