Berita  

Polri Berencana Memidana Penghina Jokowi saat Yasonna Mulai Bebaskan Napi

YLBHI, Asfinawati

Ngelmu.co – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengkritik langkah Bareskrim Polri, yang mengeluarkan perintah penindakan terhadap penghina Presiden Joko Widodo dan para pejabat pemerintah, di tengah pandemi virus Corona.

Pasalnya, di saat yang sama, Kemenkumham mulai membebaskan napi, sebagai upaya pencegahan penyebaran COVID-19 di Lapas dan Rutan.

“Yang lain sedang mengeluarkan orang dari tahanan, kok ini malah mau menindak orang yang ujung-ujungnya bisa bikin orang ditahan?” kata Ketua YLBHI, Asfinawati, seperti dilansir Kumparan, Senin (6/4).

Perintah penindakan itu sendiri, tertuang dalam ST/1100/IV/HUK.7.1./2020 yang ditujukan ke Dipittisiber Bareskrim Polri.

Kabareskrim Komjen Listyo Sigit Prabowo, memerintahkan Dipittisiber untuk menindak tegas penyebar hoaks terkait Corona, serta penghinaan terhadap Presiden Jokowi dan para pejabat pemerintah.

Di mana penindakan tersebut menggunakan pasal 207 KUHP, yang berbunyi:

“Barang siapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

Namun, Asfinawati mengatakan, pasal tersebut tak bisa diberlakukan kepada Jokowi sebagai Presiden.

Pasalnya, penghinaan terhadap Presiden sudah diatur dalam pasal lain, yakni pasal 134 KUHP.

Pasal tersebut pun sudah ‘dicabut’ oleh Mahkamah Konstitusi, melalui putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006.

Maka penerapan pasal 207 kepada Presiden, dinilai tak tepat.

“Enggak tepat, dan melihat putusan MK secara sempit,” kata Asfinawati.

“Lagipula, di abad modern ini, PBB sudah bilang penghinaan seharusnya tidak dengan pidana,” imbuhnya.

“Menakut-nakuti Sejumlah Pihak”

Telegram Kabareskrim itu, lanjut Asfinawati, justru hanya menakut-nakuti sejumlah pihak.

Padahal menurutnya, di saat masa krisis seperti ini, kritik merupakan hal yang sangat diperlukan.

“Karena yang di atas sulit kalau mau dibilang enggak akan bisa merasakan yang di bawah, kritik-kritik inilah yang akan membantu presiden dan pemerintah, untuk memahami masalah sebenarnya, dan membuat kebijakan yang sesuai,” beber Asfinawati.

Lebih lanjut ia menambahkan, jika presiden merasa terhina dengan kritik yang diajukan, yang bersangkutan bisa melaporkannya sendiri ke aparat penegak hukum.

Jadi tidak diwakilkan langsung oleh polisi, karena hal tersebut berlandaskan asas kesamaan di depan hukum.

“Tapi sebenarnya, presiden itu enggak bisa merasa dihina, karena presiden itu lembaga, bukan orang, tapi kalau dikritik kerja, Jokowi sebagai Presiden masa merasa dihina, kalau tidak mau dikritik, ya jangan jadi pejabat publik,” pungkas Asfinawati.

Baca Juga: COVID-19: Napi Indonesia Mulai Dibebaskan, Tahanan Turki Justru Bantu Produksi Masker untuk RS

Warganet pun mengkritik perintah Bareskrim Polri untuk menindak penghina pejabat pemerintah, termasuk presiden saat pandemi ini.

@Aluna_Safitri: Saya kira pergantian pemain hanya berlaku di dunia olahraga saja, ternyata di dunia perpenjaraan juga berlaku pergantian pemain.

@frediantoni2016: Pasal penghinaan keluar bertepatan dengan pembebasan napi? Katanya menghindari COVID-19 di lapas, kenapa malah ingin menangkap pengkritik? Ada yang takut dengan virus, tapi ada yang lebih ditakutkan lagi, yaitu pengkritik kebijakan. [Demokrasi apa ini?]

@rieskaaaaaaaa: Dikosongkan untuk di-isi.

Baca Juga: Soal Pembebasan Napi, Yasonna: Hanya Orang Tumpul Kemanusiaan yang Tak Terima

Sebelumnya, Kemenkumham, memutuskan untuk membebaskan narapidana, guna mencegah penyebaran COVID-19, di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan Negara (Rutan) yang melebihi kapasitas.

Kemenkumham Targetkan 30-35 Ribu Narapidana dan Anak Bebas

Sedikitnya, hingga Sabtu (4/4) siang, sudah 30.432 orang (termasuk usia anak), yang dibebaskan melalui program asimilasi dan integrasi.

Kementerian yang dipimpin oleh Yasonna H Laoly itu, menargetkan sekitar 30-35 ribu narapidana dan anak, untuk dapat keluar dan bebas melalui program asimilasi dan integrasi.

Keputusan itu diambil, guna mengantisipasi penularan virus Corona.

“Hingga saat ini yang keluar dan bebas 30.432, melalui asimilasi 22.412, dan integrasi 8.020 narapidana dan anak,” kata Kepala Bagian Humas dan Protokol Ditjen PAS, Rika Aprianti, Sabtu (4/4) lalu.