Postingan Riya’ atau Bersyukur?

Antara Riya dan Bersyukur

Ngelmu.co – Imam Ibnul Qoyyim pernah berkata, “Tunjukkanlah rasa syukurmu, dan sembunyikan rasa dukamu.”

Jika ajakan Ibnul Qoyyim, ini kita realisasikan dengan postingan di media sosial…

Mungkin maksudnya adalah janganlah memposting hal-hal berupa kesedihan, kesulitan, atau musibah yang sedang kita alami (kecuali kabar kematian, karena ada anjuran takziah dalam Islam).

Hal itu karena, tempat mengadu kita adalah Allah. Ada hak Allah yang terzalimi, jika kita mengadu ke media sosial.

Sebab salah satu hikmah Allah mendatangkan musibah, itu agar kita kembali dan mendekatkan diri kepada-Nya.

Tapi hal tersebut tak terjadi, ketika kita malah sibuk mengadu dan mendekatkan diri ke media sosial.

Jika pun dalihnya ingin meminta bantuan kepada orang lain, maka sebaiknya lewat jalur pribadi (DM) kepada orang-orang tertentu; yang bisa dipercaya.

Memposting kesedihan dan musibah, juga bisa menurunkan harga diri (izzah) seorang Muslim.

Terutama di-hadapan orang-orang, yang diam-diam tidak menyukai kita.

Mereka mungkin bisa girang, melihat kita mendapatkan musibah. Lalu menjadi peluang untuk semakin menyebarkan aib kita.

Perhatikan dalil-dali berikut:

“Ya’qub menjawab: ‘Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah, apa yang kamu tiada mengetahuinya,” (QS. Yusuf: 86).

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Jika Aku (Allah) memberikan cobaan (musibah) kepada hamba-Ku yang beriman, sedang ia tidak mengeluh kepada orang yang mengunjunginya…

…maka Aku akan melepaskannya dari tahanan-Ku (penyakit), kemudian Aku gantikan dengan daging yang lebih baik dari dagingnya…

…juga dengan darah yang lebih baik dari darahnya. Kemudian dia memulai amalnya (bagaikan bayi yang baru lahir),” (HR. Al-Hakim, shahih).

Lantas, apa yang justru dianjurkan untuk di-posting di media sosial?

Momen-momen kebahagiaan atau kegembiraan yang kita alami, sebagai rasa syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Contohnya, info atau foto peristiwa kelahiran anak, pernikahan, kelulusan dan wisuda, naik haji pun umroh, dan lain-lain.

Syaratnya dilakukan pada saat kejadian (spontan).

Namun, jika dilakukan berulang-ulang dan bukan pada momennya, maka bisa menjadi indikasi riya’.

Riya’ yang akan menghapus pahala, dan mungkin malah membuat orang lain nyinyir (sebal).

Syukur dan sabar itu terletak di awal (spontan).

Suatu ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, melihat seorang ibu yang menangis histeris, karena anaknya baru meninggal.

Lalu beliau meminta ibu tersebut bersabar. Sang ibu yang tidak tahu bahwa yang menegurnya adalah utusan Allah Subhanahu wa Ta’ala, menjawab dengan ketus:

“Engkau tidak mengalami apa yang aku alami!”

Orang di sekitarnya lalu memberitahu, bahwa yang memintanya bersabar adalah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Seketika itu juga sang ibu berhenti menangis untuk menunjukkan kesabarannya.

Lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata: “Sabar itu terletak di awal,” (HR. Bukhari).

Maksudnya, dari awal kejadian, kita seharusnya sudah bersabar dan bersyukur.

Jadi refleks (spontan), dan bukannya di-setting atau direkayasa (pencitraan).

Itulah sebabnya ada sunnah sujud syukur yang sah dilakukan, jika dalam keadaan spontan, yakni ketika kita baru saja mendapatkan nikmat dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Baca Juga: Pemimpin Muda Terbaik

Khusus memposting pelaksanaan ibadah mahdhoh (khusus) seperti naik haji pun umroh, tahajud, puasa sunnah, tilawah, dan lain-lain, justru kaidahnya terbalik, yaitu tidak diposting pada saat momen tersebut sedang berlangsung.

Misalnya, jangan memposting ajakan tahajud ketika di waktu sepertiga malam.

Jangan memposting pelaksanaan ibadah umroh pun haji, ketika kita sedang di Masjidil Haram.

Selain mengganggu kekhusyukan ibadah, hal tersebut juga bisa mengindikasikan riya’.

Padahal, hukum asal ibadah mahdhoh adalah sirr (sembunyi).

Jika pun niatnya ingin mendakwahkan, maka postinglah bukan pada waktunya.

Misalnya, ajakan tahajud di-posting di siang hari, sehingga tidak terkesan kita sedang menunjukkan kepada orang lain, bahwa kita sedang melakukan amal tersebut (tahajud).

Contoh lain, jika ingin memposting pelaksanaan ibadah umroh pun haji, maka postinglah setelah tiba di Tanah Air.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

“Maukah aku kabarkan kepada kalian sesuatu yang lebih tersembunyi di sisiku atas kalian daripada al masih ad Dajjal?”

Dia berkata, “Kami mau”, maka Rasulullah berkata, yaitu syirkul khafi; yaitu seseorang sholat, lalu ia menghiasi (memperindah) sholatnya, karena ada orang yang memperhatikan shalatnya.”

(HR. Ibnu Majah, no. 4204, dari hadits Abu Sa’id al Khudri, hadits ini hasan-Shahih Ibnu Majah, No. 3389).

Dalam hadits lain, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, mengingatkan bahwa riya’ membuat kehinaan dan kerendahan.

“Barangsiapa memperdengarkan amalnya kepada orang lain (agar orang tahu amalnya), maka Allah akan menyiarkan aibnya di telinga-telinga hamba-Nya, Allah rendahkan dia dan menghinakannya.”

(HR. Thabrani dalam al Mu’jamul Kabiir; al Baihaqi dan Ahmad, no. 6509. Dishahihkan oleh Ahmad Muhammad Syakir. Lihat Shahiih at Targhiib wat Tarhiib, I/117, No. 25).

Semoga kita termasuk hamba-Nya yang bersyukur, dan bukan termasuk orang-orang yang riya’.

Alangkah baiknya jika setiap postingan kita di media sosial, selalu ada unsur dakwahnya (ada manfaat mengajak orang lain kepada kebaikan), sehingga kita mendapatkan pahala di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Oleh: Satria Hadi Lubis