Berita  

Praktisi Hukum Soroti Beda Perlakuan pada Kasus Kingkin Anida dan Denny Siregar

Kingkin Anida Denny Siregar

Ngelmu.co – Pengamat dan Praktisi Hukum, Syahrir Irwan Yusuf, menyoroti perbedaan perlakuan pada kasus Kingkin Anida dan Denny Siregar. Keduanya, diperkarakan akibat unggahan di media sosial. Namun, proses hukum mereka, dinilai jauh berbeda.

“Melihat dua kasus (ini), aparat penegak hukum sedang diuji integritasnya dalam penegakan hukum,” tuturnya, seperti dilansir Republika, Ahad (18/10).

“Semoga asas equality before the law, berlaku untuk semua warga negara, dan tidak tebang pilih,” sambung Syahrir, tegas.

Tiga belas poin UU Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker), yang viral di media sosial, disalin oleh Kingkin–seorang guru ngaji–dalam postingan Facebook-nya.

Setelah mengetahui ke-13 poin itu hoaks, Kingkin, langsung menghapus statusnya.

Namun, pada 9 Oktober, justru terbit laporan polisi, dan pada 11 Oktober, Ustazah itu, sudah ditetapkan sebagai tersangka, dan langsung ditahan.

Pada 15 Oktober, Polri, merilis pengungkapan tersangka diduga melakukan penghasutan terkait demontrasi penolakan Omnibus Law Ciptaker.

Kingkin, termasuk di dalamnya. Dengan tangan diborgol, mereka mengenakan rompi oranye khas tahanan, dan dipamerkan ke awak media.

Baca Juga: Tuntut Keadilan, Kuasa Hukum Ustazah Kingkin Anida: Klien Kami Korban Hoaks

Tetapi bagaimana dengan kasus Denny Siregar? Syahrir, menilainya sangat lamban.

Sejak dilaporkan pada 27 Juni silam, belum sekalipun pihak kepolisian, memanggil Denny.

Di mana sebelumnya, ia, dilaporkan atas dugaan tindak pidana penghinaan, pencemaran nama baik, dan perbuatan tidak menyenangkan, yakni penggunaan foto tanpa izin.

“Padahal, seharusnya tidak demikian, dalam kasus DS (Denny Siregar), yang telah didukung bukti-bukti pendukung yang kuat, APH (aparat penegak hukum), sudah dapat menentapkan sebagai tersangka,” kritik Syahrir.

“Sementara Kingkin Anida, langsung ditetapkan sebagai tersangka,” imbuhnya, mempertanyakan.

Selain itu, lanjut Syahrir, UU ITE, dapat menjerat siapa saja yang dianggap telah menyebarkan berita bohong atau pencemaran nama baik.

UU yang menurutnya, jangkauannya memang sangat luas, dan sepertinya, kata Syahrir, memberikan kewenangan yang juga luas pada aparat hukum.

“Oleh karenanya, terkadang APH (aparat penegak hukum), dapat berlaku subjektivitas terhadap kasus yang sama, ini disebabkan kewenangan yang melekat padanya,” pungkas Syahrir.