Presidential Threshold: Berkali-kali Digugat, Berkali-kali Ditolak

Gugat Presidential Threshold
Foto: Ilustrasi/sindonews.com

Ngelmu.co – Berbagai pihak sudah berkali-kali mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK), berkaitan dengan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold).

Mengapa bisa sampai berkali-kali? Sebab, hasilnya belum berubah; MK menolak gugatan-gugatan tersebut.

September 2020

Pada September 2020 lalu, eks Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli, mengajukan permohonan ke MK.

Hasilnya, pada pertengahan Januari 2021, MK memutuskan menolak gugatan Rizal, karena dinilai tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan.

Dalam persidangan yang berlangsung pada Kamis (14/1/2021) itu, Hakim Konstitusi Arief Hidayat, menjelaskan.

Bahwa, Rizal tidak memberikan bukti jika dirinya pernah dicalonkan sebagai presiden oleh partai politik.

Jelang Pilpres 2019

Menjelang pemilihan presiden 2019 lalu, berbagai pihak juga ramai-ramai menggugat ketentuan tentang presidential threshold ke MK.

Setidaknya, ada 12 orang yang menjadi pemohon dalam gugatan tersebut:

  1. Eks Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) M Busyro Muqoddas;
  2. Eks Menteri Keuangan M Chatib Basri;
  3. Akademisi Faisal Basri;
  4. Eks Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hadar Nafis Gumay;
  5. Eks pimpinan KPK Bambang Widjojanto;
  6. Akademisi Rocky Gerung;
  7. Akademisi Robertus Robet;
  8. Direktur Pusako Universitas Andalas Feri Amsari;
  9. Sutradara Film Angga Dwimas Sasongko;
  10. Ketua Umum Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak;
  11. Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini; serta
  12. Profesional Hasan Yahya.

Namun, hasilnya juga sama. MK menolak gugatan tersebut, dengan alasan gugatan Busyro, dkk., tidak beralasan menurut hukum.

Hakim juga tidak sependapat dengan argumentasi pemohon yang menilai bahwa presidential threshold, berpotensi menghadirkan pasangan calon tunggal.

Ditolak dan Ditolak Lagi

Sebagaimana adanya, syarat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden adalah sebesar 20 persen.

Aturan yang terdapat pada Pasal 222 UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 itu membuat warga negara yang keberatan, kembali bergerak.

Mereka adalah Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Ferry Joko Yuliantono dan eks Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo.

Begitu juga dengan anggota DPD RI Tamsil Linrung, Edwin Pratama Putra, dan Fahira Idris.

Apa kata MK?

MK menilai para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan tersebut, sehingga kembali menolak permohonan.

MK menekankan, yang dapat menguji aturan tersebut adalah partai politik atau gabungan partai politik.

Begitu juga dengan individu yang dapat membuktikan diri, dicalonkan sebagai capres, cawapres, atau individu bersama dengan partai politik pengusung capres dan cawapres.

“Amar putusan, mengadili, menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima.”

Demikian kata Ketua MK Anwar Usman, saat membacakan putusan di Gedung MK, Kamis (24/2/2022) lalu.

Dissentiny Opinion

Namun, ada empat hakim konstitusi yang mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion):

  1. Manahan MP Sitompul,
  2. Enny Nurbaningsih,
  3. Suhartoyo, dan
  4. Saldi Isra.

Manahan dan Enny, berpendapat, pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan mengenai ketentuan presidential threshold.

Namun, pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum, sehingga permohonan harus dinyatakan ditolak.

Menurut Manahan, sesuai putusan Mahkamah sebelumnya, ketentuan presidential threshold, bertujuan untuk mendapatkan pasangan capres dan cawapres dengan legitimasi yang kuat dari rakyat.

Selain itu, ketentuan tersebut juga dalam rangka mewujudkan sistem presidensial yang efektif berbasis dukungan dari DPR.

Mahkamah juga telah menyatakan presidential threshold sebagai kebijakan hukum terbuka (open legal policy).

Sehingga merupakan ranah pembentuk undang-undang untuk menentukan dan/atau akan mengubah besaran persyaratan tersebut.

“Karena itu, mendasarkan syarat perolehan suara (kursi) partai politik di DPR, dengan persentase tertentu untuk dapat mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, sebagaimana ketentuan Pasal 222 UU 7/2017 adalah konstitusional,” ucapnya.

Baca Juga:

Adapun Suhartoyo dan Saldi, berpendapat, pemohon memiliki kedudukan hukum, dan dalam pokok permohonan beralasan menurut hukum.

Suhartoyo dan Saldi, menyatakan bahwa MK, mestinya mengabulkan permohonan pemohon.

Maret 2022

MK kembali menyatakan, tidak dapat menerima dua permohonan uji materi Pasal 222 UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).

Adapun para pemohon meminta Mahkamah, membatalkan Pasal 222 UU Pemilu, yang berbunyi:

[Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya].

Putusan atas perkara tersebut dibacakan dalam persidangan yang digelar Majelis Hakim MK, Selasa (29/3/2022) lalu.

Pemohon pertama pada perkara itu adalah Partai Ummat; partai politik bentukan eks Ketua MPR RI Amien Rais.

Ketua Umum DPP Partai Ummat Ridho Rahmadi dan Sekjen Partai Ummat Muhajir, mewakili dalam perkara itu.

Adapun kuasa hukum yang mewakili para pemohon di antaranya adalah Refly Harun dan Denny Indrayana.

Mahkamah menilai, bahwa para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan terhadap ketentuan presidential threshold.

Sebab, Partai Ummat belum pernah menjadi peserta pemilu.

Menurut Mahkamah, partai politik yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian norma presidential threshold adalah partai yang sebelumnya sudah pernah menjadi peserta pemilu.

Sementara Partai Ummat, merupakan parpol yang baru terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).

Partai Ummat juga belum pernah diverifikasi oleh Komisi Pemihan Umum (KPU), secara administrasi atau faktual; yang mana verifikasi merupakan syarat parpol mendaftar pemilu.

“Oleh karena itu, menurut Mahkamah, partai a quo belum dapat dinyatakan sebagai partai politik peserta pemilu sebelumnya.”

“Sehingga dengan demikian, tidak terdapat kerugian konstitusional pemohon dalam permohonan a quo,” ujar Hakim Konstitusi Aswanto dalam persidangan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (29/3/2022).

Maka oleh karena para pemohon tidak punya kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan, pokok permohonan para pemohon pun tidak dipertimbangkan.

“Pokok permohonan pemohon tidak dipertimbangkan,” kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman.

27 WNI di Luar Negeri

Adapun pemohon kedua dalam perkara pengujian presidential threshold UU Pemilu adalah 27 warga negara Indonesia (WNI), yang tinggal, bekerja, dan belajar di luar negeri.

Para pemohon itu juga diwakili oleh kuasa hukum mereka yang di antaranya Refly Harun dan Denny Indrayana.

Hasilnya, majelis hakim MK juga memutuskan menolak permohonan tersebut, karena menilai para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan.

MK menilai para pemohon tidak mengalami kerugian atas berlakunya ketentuan tentang presidential threshold.

[Mahkamah tidak menemukan adanya hubungan sebab akibat antara norma yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya, dengan anggapan kerugian hak konstitusional para pemohon tersebut. Baik secara aktual, maupun potensial].

Demikian bunyi pertimbangan putusan yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat.

Atas konklusi tersebut, Mahkamah menyatakan, “Permohonan para pemohon tidak dapat diterima,” ucap Anwar Usman.

Dalam persidangan yang sama, Mahkamah juga membacakan permohonan pengujian pasal tentang presidential threshold UU Pemilu yang diajukan oleh Jaya Suprana.

Di mana pemohon memutuskan untuk mencabut permohonan gugatan itu, dan MK, mengabulkannya.

April 2022

Ada tiga gugatan yang terdaftar dalam nomor perkara 13/PUU-XX/2022, diajukan oleh tujuh warga Kota Bandung; nomor 20/PUU-XX/2022, dilayangkan empat pemohon; dan gugatan nomor 21/PUU-XX/2022, yang pemohonnya adalah lima anggota DPD.

Ketiganya menuntut pengubahan presidential threshold dari 20 persen, menjadi 0 persen.

Namun, “Amar putusan menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima,” demikian bunyi putusan yang tercantum pada laman resmi MK, Rabu (20/4/2022).

Pemohon juga menyoalkan Pasal 222 UU 7/2017 tentang Pemilu, karena menilainya bertentangan dengan Pasal 6A ayat 2 UUD 1945.

Mereka merasa pasal tersebut membatasi hak masyarakat dalam mendapatkan calon presiden dan calon wakil presiden, secara bebas.

Namun, Mahkamah berpendapat bahwa berdasarkan pertimbangan hukum yang ada, aturan tersebut sudah dijalani di Pemilu 2019.

[Karena telah diberlakukan sebelum pelaksanaan pemilu tahun 2019, di mana para pemohon juga telah memiliki hak untuk memilih, dan telah mengetahui hasil hak pilihnya dalam pemilu legislatif tahun 2019, yang akan digunakan sebagai persyaratan ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dalam pemilu tahun 2024 mendatang].

Begitu bunyi pernyataan yang diucapkan oleh mahkamah dalam putusannya.

Analogi tersebut juga menjadikan anggapan adanya kerugian konstitusional, in casu, terhambatnya hak untuk memilih [right to vote], yang dialami oleh para pemohon, menjadi tidak beralasan menurut hukum.

Selain itu, argumentasi para pemohon, persoalan ambang batas tidak hanya terkait dengan eksistensi partai politik.

Sebab, para pemohon sebagai warga negara yang akan menerima manfaat utama dari penyelenggaraan pemilu presiden dan wakil presiden, dinilai hakim tidak relevan dengan anggapan kerugian konstitusional para pemohon.

[Karena norma Pasal 222 UU 7/2017 tersebut, sama sekali tidak membatasi atau menghalangi hak para pemohon untuk memilih atau memberikan suara dalam pemilihan umum presiden dan wakil presiden].

Bersiap Layangkan Gugatan

Meski demikian, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), tengah bersiap melayangkan gugatan ke MK, terkait syarat kepemilikan 20 persen kursi DPR; ambang batas presiden [presidential threshold].

Wakil Sekretaris Jenderal Hukum dan Advokasi PKS Zainudin Paru, menyampaikan, pihaknya akan menggugat Pasal 222 UU 7/2017 tentang Pemilu.

“Insya Allah, kemungkinan pekan depan,” tuturnya, Senin, 27 Juni 2022 lalu.

Zainudin juga menyampaikan, bahwa pihaknya masih membutuhkan waktu untuk melakukan riset.

Baik terhadap pelbagai pertimbangan, ataupun putusan hakim MK, terkait presidential threshold.

Zainudin mengeklaim bahwa jumlahnya tidak sedikit.

Dari detail pertimbangan MK tersebut, lanjutnya, akan diupayakan menjadi pokok permohonan yang diajukan oleh PKS.

Tujuannya adalah agar partai yang kini dipimpin oleh Ahmad Syaikhu, itu dapat ikut mengusung capres dan cawapres di Pilpres 2024 mendatang.

“Kami harus riset, ada 30 pertimbangan dan putusan MK, terkait judicial review presidential threshold ini,” tutur Zainudin.

“Agar mendekatkan ikhtiar PKS, dan tentunya partai lain untuk ikut dalam kontestasi capres-cawapres,” sambungnya.

Sebelumnya, pada 20-21 Juni lalu, PKS telah menggelar forum Rapimnas [rapat pimpinan nasional] di Hotel Sahid, Jakarta.

Di mana salah satu hasil Rapimnas itu adalah rencana mereka menggugat presidential threshold ke MK.

Presiden PKS Ahmad Syaikhu, mengatakan bahwa aturan tersebut telah membatasi peluang munculnya calon alternatif capres-cawapres di 2024.

Maka itu PKS, akan menggugatnya ke MK. “Aturan ini dinilai membatasi alternatif pilihan capres-cawapres yang akan maju di 2024.”