Berita  

Publik Pertanyakan Kebijakan Jokowi soal Limbah Batu Bara

Jokowi Limbah Batu Bara Limbah Sawit

Ngelmu.co – Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan limbah batu bara [fly ash dan bottom ash] dan limbah penyulingan sawit [spent bleaching earth] dari kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).

Padahal, sebelum keputusan tersebut diambil, perusahaan dinilai telah abai dengan dampak yang ditimbulkan.

Maka jelas, kini berbagai pihak mempertanyakan kebijakan Jokowi, mencabut keduanya dari kategori limbah B3.

Greenpeace Indonesia

Greenpeace Indonesia menjadi salah satu pihak yang bicara, mewakili keresahan publik.

“Pencabutan limbah abu batu bara dari kategori bahan beracun dan berbahaya (B3) oleh Presiden @jokowi adalah sebuah langkah mundur dalam upaya mengurangi kerusakan lingkungan di Indonesia.”

“Dampaknya juga sangat membahayakan bagi kesehatan masyarakat.”

Demikian pernyataan pihaknya Jumat (12/3) kemarin, sebagaimana Ngelmu kutip dari akun Twitter resmi, @GreenpeaceID, Jumat (12/3).

Mereka juga mengungkap bahwa sebelumnya, sudah 14 nyawa melayang akibat FABA [fly ash dan bottom ash] yang ditimbulkan PLTU batu bara Panau di Palu.

“Mayoritas meninggal karena kanker nasofaring, paru-paru hitam, dan kanker paru-paru.”

Ada Desakan di Balik Keputusan

Lebih lanjut, Greenpeace menilai keputusan ini tak lepas dari desakan simultan APINDO dan APBI-ICMA [yang menjadi bagian di dalamnya sejak pertengahan tahun 2020 lalu]

“Dengan diberlakukannya peraturan turunan dari Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja ini, maka akan sangat sulit untuk menagih tanggung jawab dari para produsen limbah yang merugikan lingkungan dan masyarakat sekitar.”

Terlebih, UU Ciptaker juga akan menghapus pidana bagi kegiatan [termasuk pengelolaan limbah bahan beracun dan berbahaya] tidak berizin.

“Terlalu besar harga yang harus dibayar dari kesalahan pengelolaan limbah beracun dan berbahaya.”

“Masyarakat berhak atas lingkungan yang bersih dari limbah berbahaya jenis apa pun,” tegas Greenpeace.

Tentang Greenpeace

Sebagai informasi, Greenpeace merupakan organisasi kampanye independen yang menggunakan aksi konfrontatif, kreatif dan tanpa kekerasan.

Mereka mengungkap berbagai masalah lingkungan global, sekaligus menyodorkan solusi yang memungkinkan terwujudnya masa depan yang hijau dan damai

Greenpeace juga mempertahankan independensi finansial sebagai nilai utama mereka, sekaligus menjadi salah satu kekuatan terbesarnya.

Mereka terus berupaya sekalipun harus mengambil risiko dan berkonfrontasi dengan perusak lingkungan.

Lagi-lagi, karena independensi politik dan finansial.

Greenpeace adalah Lembaga Swadaya Masyarakat yang memiliki kebijakan, tidak menerima donasi dari pemerintah pun perusahaan, demi menjaga independensi.

Walhi

Senada dengan Greenpeace Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) juga mengkritik kebijakan pemerintah ini.

Kepala Departemen Advokasi Walhi Zenzi Suhadi, menekankan bahwa FABA, tak semestinya dihapus dari daftar limbah B3.

“Pelepasan bahan beracun dan berbahaya yang tidak boleh, bukan soal bisa dimanfaatkan atau tidak,” tegasnya.

“Logika pemerintah ini sudah rusak,” sambung Zenzi, mengutip Tempo, Jumat (12/3) kemarin.

Bahkan, dengan gamblang ia menilai, peraturan turunan ini membuktikan bahwa UU Ciptaker, memang dibuat untuk melindungi para penguasa lingkungan.

Sebab, beleid ini justru akan mengorbankan hak hidup rakyat, khususnya mereka yang tinggal di sekitar kawasan pembuangan limbah.

Zenzi juga mengulas, jika dalih penghapusan limbah FABA dari kategori limbah B3 karena masalah ekonomi.

Maka ia meminta, pemerintah untuk meninjau kembali keberadaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).

“Dalam hukum lingkungan, kalau biaya produksi lebih besar dari pendapatan, usaha tersebut tidak layak. Jadi, PLTU-nya yang harus ditinjau ulang kalau rugi,” tegas Zenzi.

Keputusan yang Sangat Berbahaya

Keputusan Jokowi ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Aturan tersebut merupakan turunan dari Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Manajer Kampanye Perkotaan dan Energi Walhi Dwi Sawung, pun menilai aturan dalam PP 22/2021, ini sangat berbahaya.

Pasalnya, pemerintah mengeluarkan sejumlah limbah hasil tambang dan perkebunan dari kategori B3.

“Kita lihat ini kerugian buat lingkungan dan masyarakat. Jadinya, bisa bebas digunakan untuk apa saja, dan itu sangat berbahaya,” kata Sawung, Jumat (12/3).

Menurutnya, limbah-limbah tersebut berbahaya karena mengandung zat-zat karsinogenik (pemicu kanker).

Maka sudah seharusnya, mereka tetap ada pada daftar kategori B3.

Agar pemerintah dapat mengendalikan dampak pencemaran lingkungan serta kesehatan warga.

“Selain jumlah, ada sumbernya yang mengandung radioaktif, merkuri tinggi, beda-beda, makanya dimasukin B3,” kata Sawung.

“Jadi, kalau mau dimanfaatkan, harus diuji dulu,” tegasnya.

FABA dan SBE Keluar dari Kategori Limbah B3

Sebelumnya, Presiden Jokowi mengeluarkan spent bleaching earth (SBE) dan FABA dari kategori B3.

Mengutip CNN dan Kompas, dalam Lampiran XIV PP 22/2021, SBE tercantum dalam daftar limbah non-B3, dengan kode N108.

“Proses industri oleochemical dan/atau pengolahan minyak hewani atau nabati yang menghasilkan SBE hasil ekstraksi (SBE Ekstraksi) dengan kandungan minyak kurang dari atau sama dengan 3 persen.”

Demikian bunyi penjelasan limbah SBE pada Lampiran XIV PP Nomor 22 Tahun 2021.

Aturan ini berubah dari Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 yang ditandatangani Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Sebab, sebelumnya, SBE termasuk kategori limbah B3–dalam kategori bahaya 2–dengan kode B413.

Berdasarkan Lampiran XIV PP 22/2021, juga disebutkan bahwa FABA dihapus dari kategori B3.

Dengan catatan, kedua jenis limbah tersebut bersumber dari proses pembakaran batu bara pada fasilitas PLTU.

Termasuk dari kegiatan lain yang menggunakan teknologi selain stocker boiler dan/atau tungku industri.

Perubahan Status FABA dan SBE

Pada bagian penjelasan Pasal 459 huruf C PP 22/2021, diatur FABA hasil pembakaran batu bara dari PLTU dan kegiatan lainnya, tidak termasuk sebagai limbah B3, melainkan non-B3.

“Pemanfaatan limbah non-B3 sebagai bahan baku yaitu pemanfaatan limbah non-B3 khusus seperti fly ash batu bara dari kegiatan PLTU dengan teknologi boiler minimal CFB [Ciraiating Fluidized Bed] dimanfaatkan sebagai bahan baku kontruksi pengganti semen pozzolan,” demikian tertulis dalam beleid.

Padahal, dalam Pasal 54 Ayat 1 Huruf a PP Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, FABA dari pembakaran batu bara kegiatan PLTU, masuk kategori limbah B3.

“Contoh Pemanfaatan Limbah B3 sebagai substitusi bahan baku antara lain Pemanfaatan Limbah B3 fly ash dari proses pembakaran batu bara pada kegiatan PLTU yang dimanfaatkan sebagai substitusi bahan baku alumina silika pada industri semen,” demikian jelas beleid tersebut.

FABA merupakan limbah padat hasil pembakaran batu bara di PLTU, boiler, dan tungku industri untuk bahan baku konstruksi.

Kebijakan penghapusan kategori ini tertuang dalam PP 22/2021 turunan UU Ciptaker.

Pemerintah Mengeklaim Telah Lewati Proses Panjang

Sebelumnya, sudah ada pernyataan dari Deputi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Kemenko Maritim Nani Hendriati.

“Penyusunan PP 22 yang dikawal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, membutuhkan proses yang cukup panjang dan akhirnya mengeluarkan FABA dari daftar B3.”

Demikian kata Nani, para Rabu, 3 Maret 2021 lalu.

Respons Manis Para Pengusaha

Respons Direktur Utama PT Bukit Asam (Persero) Tbk. Arviyan Afirin juga berbeda dengan Greenpeace dan Walhi.

Ia menilai, kebijakan ini mempermudah pemanfaatan limbah batu bara menjadi barang bernilai guna.

“Selama ini [pemanfaatan limbah batu bara] terkendala karena masih dianggap B3,” kata Arviyan.

“Jadi, ini kabar baik dan gembira. Sehingga FABA, bisa dimanfaatkan untuk hal yang lebih bermanfaat,” sambungnya.

Negara-negara maju di Eropa, lanjut Arviyan, sudah tidak mempermasalahkan FABA sebagai B3.

Sehingga teknologi pemanfaatannya, kata Arviyan, berkembang sangat pesat.

Ia juga merinci, limbah batu bara paling sederhana yang dapat diolah menjadi timbunan jalan, conblock, hingga bahan bangunan pengganti semen.

Arviyan bukan satu-satunya pengusaha yang merespons baik keputusan pemerintah ini.

Terima Kasih, Presiden Jokowi

Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati (GIMNI) Sahat Sinaga juga demikian.

Ia menyambut baik, terbitnya PP 22/2021 yang akan berdampak positif bagi industri hilir sawit.

“Terima kasih Presiden Jokowi yang menghapuskan kategori limbah B3 untuk SBE,” kata Sahat, mengutip Sawit Indonesia.

“Di negara lain, SBE tidak dikategorikan limbah, karena dapat diolah,” imbuhnya.

“Teknologinya tersedia dan dapat dimanfaatkan pelaku industri hilir,” pungkas Sahat.

Sebelumnya, GIMNI memang menanyakan alasan SBE masuk kategori limbah B3 di PP 101/2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.

Mereka pun meminta, agar SBE tidak dikategorikan sebagai limbah B3.