Berita  

Putra Putri Minang Terbunuh di Wamena, MUI Sumbar: Akankah Kami Gelar “Ranah Minang Mangisa Karih”

Putra Putri Minang

Ngelmu.co – Sumatera Barat berduka. Sepuluh putra putri Minang, asal Kabupaten Pesisir Selatan, Sumbar, menjadi korban kerusuhan di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua, Senin (23/9).

Putra-Putri Minang Terbunuh di Wamena

Delapan di antaranya meninggal dunia. Jenazahnya sudah dipulangkan ke Ranah Minang, Kamis (26/9) lalu, melalui Bandara Internasional Minangkabau (BIM).

Peristiwa berdarah ini membuat Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumbar, Buya Gusrizal Gazahar, Dt. Palimo Basa, ikut bersuara.

Melalui media sosial Instagram pribadinya, @buya_dt, Kamis (26/9), ia menyampaikan duka dan tanggapannya.

 

View this post on Instagram

 

A post shared by Buya Dt. Palimo Basa (@buya_dt) on

 

“Nyawa anak bangsa melayang, putra-putri Minangkabau menjadi korban di dalam lingkaran wilayah NKRI yang diperjuangkan oleh para tokoh kita, dengan tumpahan darah dan air mata.

Sebagai seorang Muslim, istirja’ (inna lillahi wa inna ilaihi raji’un) dan lantunan doa serta menjadikan kesabaran pakaian adalah suatu sikap keimanan.

Namun, sebagai warga negara dan rakyat bangsa ini, apakah tak perlu dan terlarang kami bertanya, “Di mana kehadiran penguasa dan mereka yang menikmati tetesan keringat rakyat selama ini?”

Kalau dalam kondisi seperti ini, penguasa tetap absen dan hanya sama-sama bisa meratapi mayat yang telah berjatuhan.

Akankah kami mengambil kesatuan langkah dengan menggelar rapat akbar “RANAH MINANG MANGISA KARIH” sebagai isyarat bahwa tidak begitu saja darah tertumpah sia-sia?

Dan tak semurah itu nyawa melayang di dalam negara kesatuan yang selama ini kami cintai?!

Dibunuhnya putra-putri Minangkabau di Papua, tak cukup hanya mengundang ucapan duka!

Kalau memang kita hidup bernegara, kami patut bertanya, di mana tuan-tuan yang mengaku menjadi penguasa?!”

Unggahan itu pun mendapat komentar dari salah seorang warganet, yang sepakat dengan Buya, jika mereka tak lagi bisa berdiam.

Fahwa Nazumi: Karih kami talatak di muko. Tando pantang kami menunduk-nunduk selain pada Ilahi Robbi. Karih kami talatak di muko. Tando pantang kami menusuk sembunyi-sembunyi.

Musuah pantang dicari, kalau datang pantang kami balari. Dalam darah kami, tak cuma darah Hatta, Natsir, atau pun Buya Hamka.

Jangan lupakan, kamilah pewaris Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Nan Renceh, dan banyak lagi harimau-harimau pemberani.

Penguasa, apakah kalian tak dapat melihat dengan mata, jika Tanah Air sedang tak baik-baik saja? Atau kalian menunggu sampai kegaduhan menjadi semakin porak-poranda?