Berita  

Ramai-Ramai Protes Tak Ada Frasa Agama dalam Peta Jalan Pendidikan

Protes Frasa Agama Hilang dari Peta Jalan Pendidikan

Ngelmu.co – Ramai-ramai berbagai pihak memprotes tidak adanya satu pun kata agama dalam draf rumusan Peta Jalan Pendidikan Nasional (PJPN) 2020-2035.

Mulai dari Muhammadiyah, MUI [Majelis Ulama Indonesia], LP Ma’arif NU [Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama], PTDI [Pendidikan Tinggi Dakwah Islam], ADPISI [Asosiasi Dosen Pendidikan Agama Islam Indonesia], PGI [Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia], hingga para politikus.

Muhammadiyah

Menjadi pihak pertama yang bersuara, Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, menilai hilangnya kata ‘agama’ adalah bentuk melawan konstitusi.

Muhammadiyah Peta Jalan Pendidikan Nasional Kata Agama

“Saya bertanya, hilangnya kata agama itu kealpaan atau memang sengaja?,” tuturnya, Jumat (5/3) lalu.

Walaupun masih dalam tahap penyusunan, masalah PJPN ini justru muncul dari dua arah.

Selain terkait hilangnya kata ‘agama’, juga mengenai proses penyusunannya.

Menurut Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti, nampak kesan ‘sembunyi-sembunyi’.

Salah satunya karena penyusunan tidak melibatkan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Kemendikbud, serta partisipasi publik.

Baca Juga: Tanya Muhammadiyah soal Tak Ada Kata Agama di Peta Pendidikan Nasional 2020-2035

Bunyi Visi Pendidikan Indonesia 2035 [Membangun rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajar seumur hidup yang unggul, terus berkembang, sejahtera, dan berakhlak mulia dengan menumbuhkan nilai-nilai budaya Indonesia dan Pancasila], menurut Haedar, juga tidak sejalan dengan Pasal 31 ayat 5 UUD 1945.

Ia juga tidak menampik, bahwa ‘kelalaian’ dalam penyusunan draf PJPN, memicu kecurigaan.

Kecurigaan yang dimaksud mengarah pada adanya keterkaitan dengan keputusan kontroversial Kemendikbud yakni SKB 3 Menteri.

Keputusan tersebut dirasa begitu sensitif terhadap urusan pakaian keagamaan.

Itu mengapa, Haedar, menilai keputusan dalam SKB 3 Menteri, memiliki persoalan yang sama dengan PJPN. Kontradiktif dan inkonsisten.

MUI

MUI juga mengaku terkejut, karena draf perencanaan PJPN yang diluncurkan oleh Kemendikbud [Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan], ‘menghilangkan’ kata agama, serta menggantinya dengan akhlak dan budaya.

“Tokoh agama, termasuk ormas [organisasi kemasyarakatan], MUI, sangat terkejut dengan konsep ini,” kata Ketua MUI Bidang Pendidikan dan Kaderisasi KH Abdullah Jaidi, Ahad (7/3).

“Sementara kami, di satu sisi, menginginkan dan senantiasa mensosialisasikan umat agar menjadi umat yang taat beragama,” imbuhnya.

Kiai Jaidi juga menegaskan, bahwa agama merupakan tiang bangsa.

Tanpa adanya agama, bangunan atau pendidikan yang telah berjalan, akan runtuh.

Kemendikbud hanya mengusung konsep yang berkenaan dengan akhlak dan budaya di Indonesia.

Sedangkan muatan agama yang sejalan dengan Pasal 31 UUD 1945, justru tidak lagi menjadi patokan dasar.

Baca Juga: Kiai Cholil Nafis Pertanyakan Tak Ada Frasa Agama dalam Peta Jalan Pendidikan

Padahal, pasal tersebut merupakan salah satu landasan yang mengatur kegiatan pendidikan di Tanah Air.

Di mana isinya menjelaskan soal hak tentang pendidikan dasar masyarakat.

Begitu pun dalam dasar negara, Pancasila yang sila pertamanya berbunyi, “Ketuhanan yang Maha Esa.”

Artinya, kata Kiai Jaidi, agama merupakan sesuatu yang penting dan mendasar, bagi bangsa ini.

“Unsur agama itu adalah sesuatu yang sangat penting dan mendasar. Kenapa ini tidak disebutkan?” tanyanya heran.

Kiai Jaidi juga menilai tidak cukup, jika alasan Kemendikbud adalah kata ‘akhlak’ dan ‘budaya’ telah mewakili kata ‘agama’.

Pasalnya, bangsa Indonesia adalah bangsa yang didasarkan pada agama, serta menjalankan syariatnya, menurut agama masing-masing.

Maka muatan agama, tidak hanya fokus pada akhlak dan budaya, tetapi juga soal bagaimana umat dapat melaksanakan ajarannya.

Ini berlaku untuk segala lini. Sehingga masyarakat benar-benar menjadi umat yang ber-Ketuhanan yang Maha Esa.

“Yang dicanangkan oleh Presiden Jokowi, character building yang berkenaan dengan akhlak, merupakan hal penting,” kata Kiai Jaidi.

“Hal ini termuat dalam ajaran agama,” tegasnya, karena bukan hanya dalam Islam, tetapi setiap agama mengajarkannya.

LP Ma’arif NU

LP Ma’arif NU juga mengeklaim telah memberi masukan kepada Kemendikbud yang disampaikan langsung kepada Mendikbud Nadiem Makarim [didampingi seluruh eselon I], pada Senin (25/1) lalu.

“Kami memberi masukan, agar perlunya penanaman ajaran dan nilai-nilai agama, sesuai yang dipeluk peserta didik,” kata Ketua LP Ma’arif NU Arifin Djunaidi, Ahad (7/3).

Pihaknya juga mengusulkan, agar penggunaan frasa merdeka belajar dikembalikan pada frasa yang dikenalkan oleh Ki Hajar Dewantara.

“Yakni menekankan pada pengembangan karakter, bukan penekanan pada literasi numerasi,” tegas Arifin.

“Menurut informasi dari beberapa pejabat eselon I, masukan dari Ma’arif, banyak yang digunakan Mendikbud,” lanjutnya lagi.

Lebih lanjut soal visi pendidikan di masa depan, kata Arifin, seharusnya mendasarkan diri pada dimensi sejarah perjuangan bangsa.

Sekaligus perlu merujuk kepada pengarusutamaan gender.

“Karena merupakan komponen penting yang seharusnya menjadi landasan analisis kritis dalam penyusunan peta jalan pendidikan.”

PTDI

Ketua PTDI Jawa Timur Daniel Mohammad Rosyid, mengatakan, “Jangankan kontennya, prosedur penyusunannya juga kurang transparan, apalagi akuntabel.”

Menurutnya, praksis pendidikan nasional, sebenarnya telah lama menyimpang dari konstitusi.

Daniel Mohammad Rosyid Omnibus Law

“Namun, kini Peta Jalan itu memberi pijakan legal, bagi penyesatan pendidikan,” kata Rosyid.

Sejak Orde Baru, lanjutnya, persekolahan pemerintah merupakan instrumen teknokratik penyiapan bangsa buruh untuk kepentingan pemilik modal, terutama asing.

“Tidak kurang, tidak lebih. Persekolahan pemerintah, sudah sejak awal tidak pernah dimaksudkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa ini,” kritik Rosyid.

Melalui instrumen persekolahan massal itulah, masyarakat disiapkan untuk menjadi buruh yang trampil menjalankan pabrik.

“Oleh Bung Karno, ini disebut penjajahan bentuk baru alias nekolim,” kata Rosyid.

“Persekolahan massal paksa pemerintah adalah proyek sekulerisasi, pemburuhan, dan deislamisasi, sekaligus deagromaritimisasi bangsa Indonesia,” imbuhnya.

Selain PJPN, Rosyid juga menyinggung UU Cipta Kerja, “Itu adalah upaya legalisasi proyek nekolimik.”

“Setelah disediakan papan lontarnya oleh amandemen UUD 1945, menjadi UUD 2002,” sambungnya.

Rosyid juga membahas soal urbanisasi besar-besaran yang terjadi sejak Orde Baru.

“Bersamaan dengan gelombang industrialisasi, sekaligus deagromaritimisasi,” tuturnya.

“Tidak mengherankan jika saat ini, Indonesia adalah importir beras, kedelai, dan jagung, serta ikan laut, dan lobster,” kritiknya lagi.

Padahal, kata Rosyid, seharusnya internet dan pandemi ini dapat membuka peluang bagi sebuah sistem pendidikan alternatif.

Sebagaimana yang dijalankan banyak komponen warga negara untuk bebas dari monopoli persekolahan paksa massal yang terpusat.

“Sistem pendidikan nasional harus dikembalikan pada pangkuan keluarga dan masyarakat [untuk umat Islam, masjid], serta daerah-daerah otonom dengan beragam potensi alamiahnya,” tegas Rosyid.

Sementara perguruan atau persekolahan, lanjutnya, hanya melengkapi, terutama untuk memberi pelatihan ketrampilan produktif.

“Sistem pendidikan nasional harus diarahkan pada perluasan kesempatan belajar, sesuai bakat dan minat warga belajar,” ujar Rosyid.

“Serta potensi-potensi agromaritim yang melimpah dan beragam di negeri ini,” tutupnya.

ADPISI

Ketua Umum ADPISI Aam Abdussalam, mengatakan, “Indonesia bukan negara sekuler.”

“Tetapi negara Pancasila, di mana agama menjadi pilar penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” tegasnya.

PGI

Sekretaris Eksekutif Bidang Keadilan dan Perdamaian PGI Pendeta Henrek Lokra, juga mengomentari hilangnya kata agama dalam draf PJPN.

Menurutnya, kata budaya dan akhlak, tidak dapat menggantikan kata agama.

“Agama tidak bisa diwakilkan, agama ada di ruang yang tak tergantikan, itu ruang sakral,” tegas Pendeta Lokra, Senin (8/3) kemarin.

PGI, lanjutnya, justru berpendapat bahwa agama harus lebih menekankan pada budi pekerti.

Agar tidak diartikan sebagai penekanan pada doktrin, apalagi berteologi serta menentukan pandangan.

Pendeta Lokra juga menjelaskan, tentang agama yang dimaksud, bukan penekanan pada doktrin atau dogma keagamaan.

Pasalnya, negara tidak boleh berteologi serta menentukan pandangan teologi yang dominan.

“Pendidikan keagamaan lebih tepat diberikan keleluasaan pada lembaga keagamaan yang lebih memahami doktrin atau dogma keagamaannya.”

Para Politikus

Tidak ditemukannya satu pun kata agama dalam draf PJPN juga mendapat protes dari para politikus.

Almuzzammil Yusuf

Anggota DPR RI Fraksi PKS Almuzzamil Yusuf, menilai hal ini bertolak belakang dengan arah konstitusi.

Dalam interupsinya di rapat paripurna DPR, Senin (8/3) kemarin, ia memberikan catatan khusus terkait PJPN.

Berikut pernyataan yang bersangkutan, selengkapnya:

Aspek substansi yang ingin kami sampaikan adalah ketika awal Peta Jalan ini diajukan, konsep yang telah dibuat Kemendikbud, tidak sesuai dengan namanya.

Arah Peta Jalan yang dari titik telat dan arahnya, sudah tidak bertolak dari konstitusi, dan berarah pada visi konstitusi, yaitu Pasal 31 (3) yang merupakan produk dari reformasi.

Contoh yang saya maksudkan adalah ketika Mendikbud, sebutkan dalam Peta Jalan itu, profil pelajar Pancasila yang dikutip dari konstitusi dan UU Sisdiknas, hanyalah akhlak mulia dan aspek kecerdasan.

Padahal UUD Produk Reformasi Pasal 31 (3) dan UU 2020-2023, jelas sekali mengutip lengkap amanat konstitusi yang berbunyi,

“Pemerintah menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan bangsa yang diatur dengan UU.”

Catatan kami adalah Kemendikbud dengan tim yang luar biasa, sejak awal pembentukan Peta Jalan, telah keluar dari amanat.

Kami khawatir, big mind, mindset dari pembuatan yang disebut dari Perpres, dari Peta Jalan ini, memang sejak awal sudah tidak merujuk pada semangat konstitusi dan UU Pendidikan.

Oleh karena bertentangan dengan teknis dan bertentangan dengan substansi, maka melalui forum ini, kami minta untuk pimpinan DPR, meminta Kemendikbud untuk mencabut Peta Jalan tersebut.

Karena secara teknis, tidak diperintahkan oleh UU. Bicara substansi, bertentangan dengan konstitusi dan UU Pendidkkan Sisdiknas.

Arsul Sani

Jika frasa agama benar dihilangkan, Wakil Ketua Umum PPP Arsul Sani, menilai draf PJPN melanggar konstitusi.

Kata Jokowi soal Pengusul Masa Jabatan Presiden 3 Periode

“Ini bisa diartikan bahwa pemerintah, dalam hal ini Kemendikbud RI, telah melanggar konstitusi kita, yakni UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” tuturnya, secara tertulis, Senin (8/3).

Arsul juga mengutip bunyi Bab XIII tentang Pendidikan Dan Kebudayaan, Pasal 31, khususnya ayat 3 dan 4 UUD NRI Tahun 1945.

Ia menekankan, pasal tersebut berbunyi, jika pemerintah mengupayakan sistem pendidikan nasional sekaligus meningkatkan keimanan.

“Dalam ayat 4 tersebut, ditegaskan bahwa pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi,” ujar Arsul.

“Dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama, dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia,” imbuhnya.

Sementara pada ayat 3, terdapat penegasan bahwa pemerintah mengusahakan serta menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional.

“Yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan, serta akhlak mulia, dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,” kata Arsul.

Dalam kesepakatan bernegara, agama juga merupakan satu faktor yang permanen untuk semua aspek kehidupan.

“Meskipun negara ini kita sepakati bukan negara agama, tetapi juga bukan negara sekuler yang dasarnya memisahkan agama dengan negara,” tegas Arsul.

Maka itu, ia mengingatkan agar pemerintah, terutama Kemendikbud, benar-benar memperhatikan draf PJPN.

Arsul juga langsung menyebut Mendikbud Nadiem Makarim, agar tidak menghilangkan frasa agama dari dalamnya.

Syaiful Huda

Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda, mengatakan, “Prinsipnya kita setuju.”

“Karena dalam konteks tertentu, Indonesia memang punya kekhasan terkait dengan spirit keagamaan,” imbuhnya.

“Selalu menjadi bagian dari perubahan yang ada di Indonesia, termasuk pendidikan,” sambungnya lagi, Senin (8/3).

Lebih lanjut, Syaiful mengatakan, bahwa wakil rakyat mengamanatkan semangat konstitusi, sebagaimana tercantum pada UUD NRI 1945 Pasal 31.

Ia juga menyebut, perihal ketiadaan frasa ‘agama’ itu sudah diaspirasikan melalui kesimpulan melalui Panja, terkait PJPN.

“Jadi, apa yang dilakukan, kritik oleh Pak Haedar, itu senapas dengan hasil rekomendasi kami melalui Panja Peta Jalan, dan saya ketuanya,” akuan Syaiful.

“Dan itu, sebenarnya sudah kita tuntaskan sebelum reses kemarin. Jadi, sudah sebulan yang lalu,” jelasnya.

Sejak awal draf PJPN dari Kemendikbud, Syaiful, membeberkan adanya banyak kritik dari berbagai aspek.

Maka ia berharap, hasil rekomendasi Panja PJPN yang akan diberikan kepada Kemendikbud, akan dijadikan referensi perbaikan terhadap draf yang ada.

“Semestinya Kemendikbud harus menjadikan, ini semestinya, ya. Semestinya setelah rekomendasi Panja PJP ini kita serahkan, harus menjadi bagian dari rujukan, review, atau perbaikan draf PJP.”

Guspardi Gaus

Anggota DPR RI Fraksi PAN Guspardi Gaus, juga menolak dihilangkannya frasa agama dari draf PJPN.

Ia menilai, hal tersebut telah melenceng dari prinsip pendidikan nasional yang tertuang dalam UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Tepatnya pada Bab III, Pasal 4 poin 1.

“Tidak bisa dibayangkan, apa jadinya proses dan pembentukan spiritual dan moral generasi bangsa ini ke depan, jika frasa ‘agama’ dihapus,” kata Guspardi, secara tertulis, Selasa (9/3).

“Pendidikan janganlah dirancang hanya sekadar melahirkan manusia yang mampu beradaptasi dan berkolaborasi dalam memenuhi capaian-capaian kesuksesan belaka,” sambungnya.

Frasa agama, menurutnya adalah sesuatu yang tidak dapat diganti.

Maka harus tetap menjadi pilar utama, sebagai unsur integral di dalam penyelenggaraan pendidikan nasional Indonesia.

Apalagi Tanah Air kita merupakan negara beragama. Maka harus meletakan nilai agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

“Karena penanaman nilai-nilai dan ajaran agama kepada peserta didik, harus tetap satu tarikan napas,” tegas Guspardi.

“Yang tidak boleh terputus dan dipisahkan, dalam penyelenggaraan pendidikan itu,” sambungnya.

Di akhir, Guspardi juga menilai, Kemendikbud sembrono dan gegabah dalam bertindak, hingga kata agama hilang dari draf PJPN.

Baginya, hal itu jelas merupakan pelanggaran dan melawan apa yang diamanatkan dalam konstitusi negara, yakni UUD 1945 Pasal 31 ayat 3 dan 5.

“Penghapusan frasa agama dalam PJPN yang dinilai telah keluar jalur, dan merupakan bentuk tindakan yang ‘inkonstitusional’ atau melawan konstitusi.”

“Kalau tidak disikapi dan diakomodir, lebih baik draf PJPN ini ditarik dan dibatalkan saja.”

“Karena dikhawatirkan, hanya akan berujung polemik dan sangat rawan melebar ke mana-mana yang akan menimbulkan kegaduhan baru,” pungkas Guspardi.