Opini  

Rapid Test: Ilmiah Sering Kalah dengan Bisnis

Dokter Andani Andalas Sumbar

Ngelmu.co – Test kilat telah jadi bisnis tersendiri, juga sudah menjadi sumber pengurasan anggaran negara dan daerah. Hanya satu daerah yang tidak menganggarkan pembelian alat rapid test: Sumatra Barat.

Alasan utamanya sangat ilmiah, “Rapid test tidak bisa dipercaya,” ujar dokter Andani Eka Putra kepada DI’s Way kemarin.

Di sana, semua test dilakukan dengan PCR—swab test—yang hasilnya praktis, 100 persen bisa dipercaya.

Kuncinya ada di penemuan ilmiah, oleh dokter Andani, Kepala Pusat Laboratorium Universitas Andalas Padang.

Di sana, test swab itu bisa dilakukan dengan cepat, hasilnya dapat diketahui dalam 24 jam.

Dengan kapasitas yang sangat besar, yakni 3.500 sehari.

Sudah lebih dari tiga bulan, Sumbar melakukan itu, sampai hari ini mencapai 55.000 orang yang di-tes. Padahal penduduknya hanya sekitar 7 juta.

Satu laboratorium di universitas itu, sampai kekurangan sampel untuk di-tes.

Pasalnya, itu tidak ada zona merah di Sumbar. Paling tinggi oranye. Itu pun hanya di satu kota, yakni Padang.

Sumbar juga sudah memutuskan akan membuka sekolah, mulai Senin depan. Khususnya di empat daerah.

Kalau daerah di luar Sumbar, kewalahan melakukan tes, di Sumbar, sampai menggratiskan.

Misalnya untuk pedagang, pengunjung pasar, anak sekolah, dan pesantren.

Seharusnya yang ingin bepergian pun, bisa di-tes gratis di situ.

Tapi tidak bisa. Peraturan menyebutkan hanya rumah sakit yang boleh mengeluarkan surat keterangan untuk perjalanan.

DI’s Way pun, sudah menuliskan penemuan itu tiga kali. Sampai sungkan, seperti promosi untuk dokter Andani, Universitas Andalas, dan juga Sumbar.

Padahal, tidak ada maksud lain, kecuali agar menginspirasi daerah lain.

Sayang, kebaikan ini sulit menular. Kalah dengan penularan demam rapid test.

Respons dari daerah lain sangat minim, pun tidak ada kebijakan nasional yang mendukung penyebaran temuan itu.

Padahal, penemuan dokter Andani, tinggal di-copy. Ia sendiri, berkenan membagi ilmunya, secara suka rela.

Semua uraian ilmiahnya, bisa didapat dengan gratis, pun dokter Andani, bersedia memberikan tutorialnya. Gratis.

“Bagi saya ini jihad. Rakyat harus diselamatkan dari COVID-19,” ujarnya.

Akhirnya, memang ada permintaan dari Jatim. Kabarnya.

DI’s Way belum berhasil menelusuri, apakah benar, Jatim sudah mulai meminta.

Kalaupun ada permintaan seperti itu, sudah sangat telat. Jatim, telanjur dinilai babak belur, oleh tingginya angka COVID-19.

Maupun konflik antara Gubernur Khofifah Indar Parawansa, dengan Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini.

Apakah betul ada permintaan dari Jatim itu? Dokter Andani, belum tahu.

“Seandainya ada… pun saya harus bertanya dulu. Apakah Jatim, benar-benar minta dibantu,” kata Andani.

“Kalau misalnya saya nanti ke Surabaya, tapi respons di sana dingin, saya yang tidak enak,” sambungnya.

“Kalau seperti itu, tidak akan berhasil,” lanjutnya lagi.

Baca Juga: Patriot Militan di Tengah Pandemi

Saya pun harus minta maaf kepada pembaca DI’s Way.

Kolom ini telah banyak terbuang untuk promosi penemuan cara lebih cepat melakukan test swab ala Sumbar itu.

Saya jadi ingat ceramah Prof Djohansjah Marzoeki, pelopor bedah plastik di Surabaya.

“Sering sekali masalah ilmiah, kalah dengan ego,” tuturnya, saat memberikan tribute lecture dua tahun lalu.

“Masalah ilmiah juga sering kalah dengan subjektivitas,” imbuhnya.

Saya tidak akan lupa isi ceramah itu. Kampus yang seharusnya menjadi lembaga ilmiah dalam praktek, sering tidak ilmiah.

Acara hari itu, mestinya untuk kalangan akademisi Unair. Sebagai penghargaan atas jasa luar biasa Djohansjah, ke almamater.

Saya diundang untuk hadir. Prof Djohansjah, dianggap sangat berjasa untuk Uniar, khususnya Fakultas Kedokteran.

Maka itu, acara tersebut di-adakan khusus oleh junior-juniornya, di aula Fakultas Kedokteran.

Tentu tidak hanya kampus yang harus menjunjung tinggi ilmu.

Lembaga seperti laboratorium pun, seharusnya demikian.

Tapi begitu sulit untuk mengakui penemuan ilmiah oleh laboratorium lain.

Begitupun di kampus. Ego masih lebih sering tampil daripada ilmu.

Termasuk dalam hal penyelamatan manusia. Akibatnya, lebih enak ambil jalan pintas: rapid test.

Tinggal beli alat yang bisa di-impor dengan mudah. Soal efektivitas bisa disisihkan.

Rapid test, sudah menjadi bisnis besar, juga telah ikut menguras anggaran publik.

Siapapun yang melakukan perjalanan antar daerah, harus melakukan itu… yang ilmiah pun sering kalah dengan bisnis.

Oleh: Dahlan Iskan