Berita  

Rencana Impor Beras Bikin Harga Gabah Petani Anjlok?

Harga Gabah Petani Anjlok Impor Beras
Sejumlah petani dan anggota Persatuan Penggilingan Padi (Perpadi) DPC Kabupaten Purbalingga melakukan aksi menolak rencana impor beras di Desa Brobot, Bojongsari, Purbalingga, Jateng, Selasa (23/03/2021). Foto: Antara/Idhad Zakaria.

Ngelmu.co – Rencana impor beras di tengah masa panen raya, terus menyita perhatian. Terlebih usai harga GKP [gabah kering panen] di tingkat petani, mulai anjlok.

Harga GKP Anjlok

Nilai jual GKP turun Rp500-Rp1.000 per kilogram, dari harga pembelian pemerintah (HPP), Rp4.200 per kilogram.

Menurut Koordinator Nasional KRKP [Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan] Said Abdullah, penyusutan harga ini terjadi sejak pemerintah mengatakan akan mengimpor beras untuk cadangan [iron stock].

Lebih lanjut ia mengatakan, harga GKP Rp3.700-Rp3.900 per kilogram. Penyerapan gabah oleh Bulog, sedikit menggerakan harga.

“Tapi nilainya sangat terbatas,” kata Said, Kamis (26/3) kemarin, mengutip Koran Tempo.

Harga gabah, lanjutnya, memang selalu turun di masa panen raya.

Namun, kali ini terjadi lebih awal, karena belum semua daerah menggelar panen serentak.

Maka itu Said menduga, hal ini berkaitan dengan rencana impor beras yang muncul dari pihak pemerintah.

Ia juga menyampaikan, bahwa sebelumnya, harga gabah tidak pernah anjlok sampai ke Rp3.000 per kilogram.

“Rencana impor sejuta ton, bukan jumlah sedikit,” tegas Said.

“Psikologi pasar, mau besar atau kecil, akan sama dampaknya, karena bisa menjadi alat untuk menekan petani,” imbuhnya.

Baca Juga: Sesalkan Langkah Mendag Soal Impor Beras, PDIP Sarankan Belajar dari Jokowi

Munculnya rencana impor beras, menurut Said, juga menjadi indikasi bahwa pemerintah memahami aspek psikologi pasar.

“Sangat tidak tepat jika pemerintah mengumumkan rencana impor beras menjelang masa panen raya.”

Itu mengapa, Said menegaskan, bahwa pemerintah perlu mengklarifikasi jika impor tidak akan berlangsung saat panen raya.

Sekaligus, akan meninjau ulang rencana tersebut dengan penuh kehati-hatian.

Agar harga stabil, pihaknya juga meminta, pemerintah mendorong Bulog untuk menyerap lebih banyak gabah dan beras petani.

Dalam kata lain, tidak perlu mengimpor beras.

Psikologi Pasar Terpengaruh

Wakil Ketua Umum Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras (Perpadi) Billy Haryanto, ikut bersuara.

Walaupun pemerintah menegaskan tidak akan mengimpor di tengah masa panen raya, ia menilai, psikologi pasar akan tetap terpengaruh.

Maka Billy mendesak, agar pemerintah mengatakan tidak akan melakukan impor, meskipun hal ini memang dibutuhkan di kemudian hari.

“Istilah menunda impor di luar musim panen itu pernyataan mengambang,” kritiknya.

Sampai saat ini, lanjut Billy, pihaknya masih membeli gabah petani dengan harga rendah.

Sebab, menurutnya, 94 persen perputaran uang dalam transaksi beras, melibatkan pihak swasta, termasuk bantuan pangan non tunai (BPNT).

Setelah program beras untuk keluarga sejahtera (rastra) tidak lagi ada, penyaluran Bulog juga menjadi sangat terbatas.

“Artinya, Bulog tidak bisa menampung terlalu banyak pasokan,” jelas Billy.

Janji Buwas soal Penyerapan Gabah Petani

Direktur Utama Bulog Budi Waseso (Buwas), menyebut penurunan harga gabah terjadi di provinsi yang memiliki sentra persawahan dengan produksi tinggi.

Seperti Sumatra Selatan, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Barat.

“Kami akan semaksimal mungkin menyerap gabah petani,” janji Buwas.

“Begitu ada daerah yang produksinya banyak, akan kami beli,” imbuhnya.

“Kami akan suplai ke daerah yang defisit, atau tidak produksi pangan,” sambungnya lagi.

GKP Telah Anjlok di Sejumlah Daerah

Kementerian Pertanian (Kementan), mengatakan bahwa menurunnya harga GKP hingga ke bawah patokan, telah terjadi di sejumlah daerah.

Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementan Suwandi, pun menyebut Kabupaten Karo, Sumatra Utara sebagai contoh harga GKP paling rendah [Rp3.000 per kilogram].

Sementara Kabupaten Karawang, Jawa Barat, menjadi contoh harga GKP tertinggi, yakni Rp5.000 per kilogram.

“Harga jatuh di bawah Rp4.200, terjadi di 85 kabupaten, 459 kecamatan,” kata Suwandi.

Anjloknya harga GKP ini, menurutnya, terjadi seiring dengan masuknya masa panen raya.

Suwandi pun merinci, pada 17 Maret lalu, harga GKP turun di 310 kecamatan. Lalu, meluas ke 501 kecamatan, hanya dalam lima hari.

“Ini terjadi di Sumatra Selatan, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur,” ujarnya.

Lebih lanjut Suwandi membahas, jika masa panen raya akan berlangsung hingga April mendatang.

Di mana perkiraan puncak masa panen adalah di bulan Agustus-September 2021.

GKP, kata Suwandi, masih tersedia di luar musim panen raya, “Di Indonesia, setiap hari ada tanam, setiap hari ada panen.”

Kata Mendag soal Anjloknya Harga Gabah

Sebelumnya, Menteri Perdagangan (Mendag) M Lutfi, menilai anjloknya harga gabah petani yang terjadi saat ini, bukan karena isu impor beras.

Namun, karena kualitas gabah itu sendiri yang pada masa panen raya kali ini, rata-rata kondisi gabah petani cukup basah [dipengaruhi curah hujan yang tinggi].

Hal ini, kata Lutfi, membuat penyerapan gabah oleh Bulog menjadi rendah, karena ada aturan yang harus dipenuhi dalam menyerap gabah petani.

Berdasarkan Permendag Nomor 24 Tahun 2020, Bulog, hanya dapat menyerap gabah seharga Rp4.200 per kilogram, dengan kadar air maksimal 25 persen.

“Nah, yang kejadian sekarang adalah curah hujan tinggi sekali. Jadi, gabah basah. Gabah petani itu tidak bisa dibeli Bulog,” kata Lutfi, dalam konferensi pers virtual, Jumat (19/3) pekan lalu.

Minimnya penyerapan oleh Bulog ini, jelas berdampak kepada petani, karena saat ini, kata Lutfi, petani juga menjadi berhadapan langsung dengan pedagang.

Sementara tidak semua petani dan pedagang, punya mesin pengering yang memadai untuk mengolah gabah basah. Sehingga, berpotensi menurunkan kualitas beras.

“Karena Bulog tidak bisa membeli, petani berhadapan dengan pedagang yang tentu ingin dapat keuntungan,” kata Lutfi, mengutip Kompas.

“Siapa yang salah? Tidak ada yang salah. Pedagang punya prioritas, tapi Bulog juga punya acuan,” imbuhnya.

“Di sisi lain, kalau gabah basah itu tidak dibeli dan digiling secara langsung, gabah akan rusak,” sambungnya lagi.

“Jadi, terpaksa petani jual dengan banting harga,” jelas Lutfi.

Harga Gabah Anjlok Bukan karena Rencana Impor

Itu mengapa Lutfi menegaskan, anjloknya harga gabah petani, bukan karena pengaruh isu rencana impor beras.

Melainkan karena kondisi panen raya yang memang dipengaruhi oleh tingginya curah hujan.

“Saya pastikan, harga gabah petani jatuh, bukan karena beras impor, tapi karena masalah logistik di bawah, yaitu enggak ada pengering,” kata Lutfi.

“Sehingga, ada ongkos tambahan yang diambil dari harga gabah mereka ,” lanjutnya.

Lebih lanjut, meski terjadi tekanan harga gabah, menurut Lutfi, harga beras di tingkat konsumen saat ini, belum mengalami penurunan [meski sudah masuk masa panen raya].

Ia pun mencontohkan, beras medium di Jakarta per 5 Maret 2021 lalu, seharga Rp9.800 per kilogram.

Di mana hingga 17 Maret 2021, naik tipis 0,79 persen, menjadi Rp9.878 per kilogram.

Begitu juga yang dekat dengan sentra padi, di Bandung, harga beras tidak mengalami penurunan.

Dalam kurun waktu 5-17 Maret 2021, kata Lutfi, beras premium tetap ada di harga Rp11.683 per kilogram.

Ia juga menambahkan, pemerintah akan memperhatikan dinamika ke depan, terkait pelaksanaan kebijakan impor.

Terutama soal kemampuan Bulog menyerap gabah petani lokal.

Kalau pada akhirnya memang perlu, ia menjamin, impor beras tidak akan berlangsung ketika masa panen raya.

“Ini adalah situasi yang dinamis. Saya jamin tidak ada impor saat panen raya,” janji Lutfi.

“Hari ini, tidak ada beras impor yang menghancurkan harga petani, karena memang belum ada yang impor,” pungkasnya.