Berita  

Rencana Pemerintah Suntik Rp22 Triliun untuk Kasus Jiwasraya Menuai Kritik

PMN 22 Triliun Jiwasraya

Ngelmu.co – Pemerintah–dalam hal ini Komisi VI DPR RI dan Kementerian BUMN–yang sepakat menyuntikkan penyertaan modal negara (PMN), sebesar Rp 22 triliun, guna menyelamatkan PT Asuransi Jiwasraya (Persero), menuai kritik.

Diketahui, PMN, akan diberikan secara bertahap, dengan dua APBN, yakni Rp12 triliun pada 2021, dan Rp10 triliun pada 2022.

Kesepakatan diambil, melalui rapat Panja Komisi VI DPR bersama Kementerian BUMN, Kamis (1/10) lalu.

“Opsi ini juga bagian dari keinginan kami untuk mempunyai perusahaan asuransi terbesar Asia Tenggara, dengan holding-isasi.”

Demikian disampaikan Wakil Ketua Komisi VI DPR, Aria Bima, Jumat (2/10), seperti dilansir Kompas.

PMN sebesar Rp22 triliun, itu akan disuntikkan ke PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (Persero)–BPUI–dan nantinya membentuk anak usaha; IFG Life.

IFG Life, bertugas untuk menerima pengalihan hasil restrukturisasi polis asuransi Jiwasraya.

Mengatasi persoalan Jiwasraya, kata Aria, ada dua pilihan, yakni likuidasi atau penyelamatan.

Jika opsi likuidasi dipilih, pemegang polis tradisional pun saving plan, akan mengalami kerugian.

Kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan keuangan BUMN, juga menjadi negatif.

Maka demi menghindari hal-hal itu, keputusan jatuh pada opsi penyelamatan melalui mekanisme PMN.

Namun, keputusan pemerintah ini, justru memanen kritik dari berbagai pihak.

Pasalnya, keputusan tersebut dinilai tak tepat, dan dinilai akan semakin merugikan negara, juga rakyat.

Kejahatan Berjemaah

Salah satu yang mengkritik penyuntikan modal Rp22 triliun ke Jiwasraya, adalah Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati.

DPR dan pemerintah, menurut Enny, sudah melakukan kejahatan berjemaah karena menyelesaikan kasus Jiwasraya, melalui cara yang tak beradab.

“Ini, menurut saya, kejahatan yang berjemaah. Walaupun DPR, enggak ikut menikmati uang Jiwasraya,” tuturnya, Jumat (2/10).

“Tapi DPR, menyetujui penyelesaian dari (kasus) Jiwasraya, dengan cara-cara yang tidak beradab,” sambung Enny.

Umumnya, lanjut Enny, pemegang saham menyuntikkan dana ke perusahaan yang usahanya bagus atau sifatnya sangat strategis.

Sebaliknya, penyuntikan dana, tidak dilakukan ke perusahaan yang fraud, seperti Jiwasraya.

Enny menilai, pemberlakuan skema PMN, otomatis menutup kasus hukum Jiwasraya, itu sendiri.

Di mana artinya, orang-orang yang terbukti bersalah dalam kasus ini, akan tetap dihukum.

Tetapi kerugian negara, tidak akan pernah bisa dikembalikan.

“Jadi kalau langsung diselesaikan dengan PMN, sudah, sudah hampir dipastikan, kasus ini selesai,” kritik Enny.

“Paling, nanti pengadilan mengumumkan si A, si B, yang dinyatakan bersalah dan dihukum, gitu doang,” imbuhnya.

“Tapi kerugian negara, tidak akan pernah ditelusuri,” lanjutnya lagi.

Perlindungan terhadap nasabah Jiwasraya, kata Enny, memang harus dilakukan.

Namun, hal itu harus dibarengi dengan upaya penekanan kerugian negara.

Sebenarnya, banyak pihak yang sudah mengusulkan skema penyelesaian kasus Jiwasraya, dengan meminimalisasi kerugian negara.

Sayangnya, pemangku kepentingan, justru memilih mekanisme PMN.

Langkah ini, dinilai Enny, justru menyebabkan negara mengalami kerugian berkali lipat, sekaligus menjadi preseden buruk ke depannya.

“Kalau model pemerintah menyelesaikan masalah seperti ini, maka ini, nanti setiap lima tahun sekali, akan selalu ada Jiwsraya Gate,” jelasnya.

“Dari mulai Century Gate, apa pun-lah, akan selalu menjadi modus-modus perampokan uang negara, dan selalu pelakunya kebal hukum,” beber Enny.

Di tengah sulitnya ekonomi negara akibat pandemi COVID-19, lanjutnya, uang Rp1 miliar, pun sangat berharga.

Jika uang hasil utang dan pajak rakyat, digunakan untuk menambal kerugian negara akibat perampokan, Enny menilai, sama saja pemangku kepentingan tak punya hati nurani.

“Ribuan orang meninggal, sementara anggaran untuk kesehatan sangat terbatas,” ujarnya.

“APD para dokter juga sangat terbatas, ada lebih dari 100 dokter, harus kehilangan nyawa,” sambung Enny.

“Ini ada Rp22 triliun, untuk menambal kasus perampokan uang negara. Ini enggak masuk akal sama sekali,” lanjutnya menyayangkan.

Menolak Penggunaan Uang Rakyat

Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), juga menolak rencana pemerintah dan DPR, menyuntikkan modal untuk Jiwasraya.

Menurut Koordinator Komite Sosial Ekonomi KAMI, Said Didu, suntikan modal itu berasal dari uang rakyat.

Di mana sebaiknya, digunakan untuk kepentingan yang mendesak.

“KAMI, menolak secara tegas penggunaan uang rakyat untuk menutupi kerugian PT Jiwasraya,” kata Said, Sabtu (3/10).

“KAMI, meminta agar dana tersebut, di-alihkan untuk pembiayaan penanganan COVID-19, dan membantu rakyat miskin, dari dampak COVID-19,” sambungnya.

Baca Juga: PKS Tolak Rencana Pemerintah Suntikan Dana untuk Kasus Jiwasraya: Uang Rakyat!

Pihaknya, juga meminta kepada penegak hukum, agar membongkar secara tuntas, siapa saja yang terlibat dalam kasus Jiwasraya.

Begitu pun dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), agar membuka semua aliran dana Jiwasraya.

“Terutama transaksi dan aliran dana yang mencurigakan dan tidak wajar,” kata Said.

“Kemudian, juga meminta penegak hukum, agar menggunakan Undang-Undang Pencucian Uang, terhadap tersangka dan pihak terkait, “ imbuhnya.

Terakhir, KAMI, juga meminta kepada semua pihak, khususnya kepada para penegak hukum, agar bersama-sama mewaspadai kasus serupa Jiwasraya; yang terjadi mendekati Pilpres.

“Supaya tidak terulang kembali di masa yang akan datang,” pungkas Said.

Duduk Perkara Kasus

Kasus dugaan korupsi Jiwasraya, terus menjadi sorotan, sejak akhir tahun 2019.

Pada kasus ini, berdasarkan perhitungan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), kerugian negara mencapai Rp16,81 triliun.

Penyebabnya, diduga karena pelanggaran terhadap prinsip tata kelola perusahaan yang baik.

Pelanggaran prinsip itu, berkaitan dengan pengelolaan dana dari program asuransi JS Saving Plan.

Akibatnya, asuransi JS Saving Plan, mengalami gagal bayar terhadap klaim yang jatuh tempo.

Di awal, Kejagung, menetapkan enam tersangka:

  1. Direktur Utama PT Hanson International Tbk, Benny Tjokrosaputro;
  2. Komisaris Utama PT Trada Alam Minera, Heru Hidayat;
  3. Direktur PT Maxima Integra, Joko Hartono Tirto;
  4. Mantan Direktur Keuangan PT Asuransi Jiwasraya, Hary Prasetyo;
  5. Mantan Direktur Utama PT Asuransi Jiwasraya, Hendrisman Rahim, dan
  6. Mantan Kepala Divisi Investasi dan Keuangan PT Asuransi Jiwasraya, Syahmirwan.

Keenamnya, sudah berstatus terdakwa, dan sedang menjalani persidangan di Pengadilan Tipikor, Jakarta.

Selain dugaan tindak pidana korupsi, khusus terdakwa Heru Hidayat dan Benny Tjokro, juga didakwa dengan pasal terkait tindak pidana pencucian uang.

Setelah melakukan pengembangan, penyidik menetapkan 13 perusahaan manajemen investasi (MI), dan seorang pejabat Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sebagai tersangka di kasus Jiwasraya, jilid II.

Pejabat OJK yang menjadi tersangka adalah Deputi Komisioner Pengawasan Pasar Modal II OJK, Fakhri Hilmi.

Fakhri, pada saat kejadian, menjabat sebagai Kepala Departemen Pengawasan Pasar Modal 2A, periode Februari 2014-2017.

Sedangkan 13 perusahaan MI yang dimaksud, adalah:

  1. PT DMI/PAC,
  2. PT OMI,
  3. PT PPI,
  4. PT MDI/MCM,
  5. PT PAM,
  6. PT MNCAM,
  7. PT MAM,
  8. PT GAPC,
  9. PT JCAM,
  10. PT PAAM,
  11. PT CC,
  12. PT TFII, dan
  13. PT SAM.

Ke-13 perusahaan itu, sudah dijerat dengan pasal tindak pidana pencucian uang.

Sementara penyidik, masih melakukan pengembangan untuk kasus Jiwasraya, jilid II tersebut.