RI Resesi: Akan Lahir 5 Juta Pengangguran, Angka Kemiskinan pun Meningkat

RI Resesi Pengangguran Angka Kemiskinan

Ngelmu.co – Resesi di depan mata. Ketua Umum Kadin Indonesia, Rosan Roeslani, hingga para Ekonom, memprediksi lahirnya jutaan penggangguran baru, yang jelas berdampak pada meningkatnya angka kemiskinan di Indonesia.

Rosan, memprediksi setidaknya ada tambahan lima juta pengangguran baru, saat Indonesia, masuk jurang resesi.

Sebagaimana proyeksi dari Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia.

“Pertumbuhan ekonomi di minus 1,7 persen, dan 0,6 persen, akan meningkatkan kemiskinan dan pengangguran secara signifikan,” tutur Rosan.

“Sekarang jumlah pengangguran kurang lebih tujuh juta orang, dan akan bertambah lebih dari lima juta,” sambungnya, dalam sebuah webinar, seperti dilansir Detik, Kamis (24/9).

Terlebih setiap tahunnya, ada tambahan 2,24 juta orang yang membutuhkan lapangan kerja baru, di Indonesia.

Sedangkan berdasarkan data ketenagakerjaan, saat ini, ada 8,14 juta orang yang setengah penganggur.

Sementara 28,41 juta orang lainnya, merupakan pekerja paruh waktu.

Dengan demikian, setidaknya ada 46,3 juta orang yang tidak bekerja secara penuh.

“Atau 33,59 persen, angka ini cukup baru, dan dari data Kemenkeu, akan ada tambahan 4-5 juta pengangguran, akibat COVID-19,” jelas Rosan.

Penambahan jumlah pengangguran ini sangat mungkin terjadi, karena aktivitas berbagai sektor usaha akan ikut terhambat saat resesi.

Sehingga efisiensi, pasti jadi pilihan para pelaku usaha. Terutama pada sektor perdagangan dan pengolahan yang biasanya menyerap tenaga kerja terbanyak.

Kini, kedua sektor itu, bahkan sudah mengalami penurunan kinerja yang cukup drastis.

Di mana masing-masingnya, sudah terkontraksi sebesar 7,57 persen, dan minus 6,19 persen, pada kuartal II-2020.

Nasib serupa juga terjadi pada sektor akomodasi dan makanan minuman, serta industri transportasi.

Berpotensi menyumbang penambahan pengangguran terbesar, selama resesi.

Pasalnya, kinerja masing-masing sektor itu, sudah terkontraksi sebanyak 22,02 persen, serta industri transportasi, hingga -30,84 persen.

“Makanan dan minuman, mengalami kontraksi besar, tekanan terhadap tenaga kerja sangat besar,” kata Rosan.

“Oleh karena itu, langkah-langkah ke depan dalam penciptaan lapangan kerja, menjadi penting,” sambungnya.

Baca Juga: Proyeksi Ekonomi Kuartal III Minus 2,9 Persen, Sri Mulyani Pastikan RI Resesi

Ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, juga menyampaikan penilaiannya.

Menurutnya, ada beberapa hal yang perlu diwaspadai terkait risiko resesi. Salah satunya soal peningkatan jumlah pengangguran.

“Akhirnya, banyak pabrik yang harus mengurangi proses produksinya. Di sisi lain, kebutuhan untuk beban produksi seperti listrik, atau gaji pegawai, mesti tetap jalan,” ujar Yusuf, seperti dilansir Kompas.

Kedua hal itu, membuat perusahaan harus melakukan efisiensi, salah satunya dengan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).

Namun, di sisi lain, pekerja yang di PHK, tak lagi memiliki pendapatan. Bila sumber pendapatan berkurang, maka jumlah penduduk miskin pun jelas bertambah.

“Apalagi jumlah penduduk rentan dan hampir miskin, di Indonesia, ini sangat besar, guncangan ekonomi seperti resesi, akan membawa mereka turun kelas, menjadi penduduk miskin,” kata Yusuf.

Berdasarkan laporan terkini, bertajuk ‘Aspiring Indonesia, Expanding the Middle Class’, oleh Bank Dunia, dijelaskan, sebanyak 45 persen–mencapai 115 juta populasi penduduk Indonesia–masuk kategori rentan, atau terancam kembali masuk kategori miskin.

Setali tiga uang dengan Yusuf, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara, juga menyampaikan pandangannya.

Ia mengungkapkan, resesi menandakan adanya tekanan yang dalam, baik di ekonomi, sektor keuangan pun riil.

Menurut Bhima, gelombang PHK, akan terjadi di hampir seluruh sektor, baik perdagangan, transportasi, properti, hingga industri.

“Jadi estimasinya, ada 15 juta PHK, sampai akhir tahun,” ungkapnya.

Perusahaan yang cukup rentan dalam kondisi perekonomian saat ini, lanjut Bhima, adalah perusahaan rintisan; start up.

“Tak terkecuali, banyak startup, akan berguguran. Daya beli masyarakat menurun, karena kehilangan pendapatan,” jelasnya.

“Sehingga berpengaruh ke naiknya orang miskin baru. Pastinya, angka kriminalitas juga meningkat, dan rawan konflik sosial di masyarakat,” pungkas Bhima.