Riset Indef Sebut Utang Melonjak Jadi Penyebab Pengangguran Membludak

Ngelmu.co, JAKARTA – Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Dradjad H Wibowo, mempertanyakan klaim peningkatan utang untuk kegiatan produktif. Sebab, kata Dradjad di Kantor Indef, Jakarta, Selasa (20/2/2018), sektor unggulan saat ini, adalah infrastruktur. Yang justru serapan tenaga kerja dalam negerinya sangat rendah.

Dijelaskan, tambahan utang Indonesia banyak dipakai di infrastruktur. Sementara penyerapan tenaga kerja di sektor itu rendah sekali. Artinya, tambahan utang yang akan membebani generasi ke depan belum produktif dari sisi penciptaan lapangan kerja.

Dari kajian Indef, selama tiga tahun periode pemerintahan yang dipimpin Joko Widodo dan Jusuf Kalla (2015-2017), tambahan penduduk bekerja sebanyak 134,6 ribu orang di tengah masifnya pembangunan infrastruktur.

Angka tersebut, lanjut mantan Anggota DPR asal PAN itu, lebih rendah sekaligus lebih tinggi dibanding dua periode pemerintahan sebelumnya. Tambahan penduduk bekerja di sektor konstruksi pada tiga tahun pertama SBY-Boediono (2010-2012), sebanyak 483,6 ribu orang, dan pada tiga tahun pertama SBY-JK (2005-2007) sebanyak 94,9 ribu orang.

Hal itu, menurut Dradjad, perlu dikoreksi karena mengindikasikan ada yang salah dalam desain pembangunan Indonesia. “Kalau klaimnya utang dipakai untuk ekonomi produktif, produktifnya di mana?” tanya Drajad, dikutip dari inilah.com.

Menurutnya, pembangunan infrastruktur yang banyak digenjot adalah jalan tol, tapi minim untuk fasilitas perkotaan seperti pembangunan gorong-gorong, trotoar, rusun, dan fasilitas publik yang banyak menyerap tenaga kerja.

Padahal, dana yang besar ke infrastruktur bisa dipakai untuk mendorong peningkatan tenaga kerja. Selain itu, dana bisa dialokasikan ke infrastruktur perdesaan yang bisa banyak penyerapan tenaga kerja. “Ada banyak aktivitas yang bisa memanfaatkan tenaga kerja,” kata Dradjad.

Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) menyampaikan, pada kuartal akhir 2017, utang luar negeri (ULN) Indonesia mencapai US$352,2 miliar. Atau setara Rp 4.769 triliun dengan kurs Rp13.541/US$. Jumlah ini tumbuh 10,1% dibanding periode yang sama pada 2016 (year on year/yoy).

Perkembangan ULN ini terjadi baik di sektor publik maupun swasta, sejalan dengan kebutuhan pembiayaan untuk pembangunan infrastruktur dan kegiatan produktif lainnya. Celakanya, ULN tetap didominasi ULN berjangka panjang yang memiliki pangsa 86,1% dari total ULN di akhir kuartal IV-2017 bertumbuh 8,5%(yoy). Sementara untuk ULN jangka pendek tumbuh 20,7% (yoy). Berdasarkan jangka waktu, BI menilai, struktur ULN Indonesia pada akhir kuartal IV-2017 terbilang aman.

Menurut sektor ekonomi, posisi ULN swasta pada akhir kuartal IV-2017, terutama dimiliki sektor keuangan, industri pengolahan, listrik, gas, dan air bersih (LGA), serta pertambangan. Pangsa ULN keempat sektor tersebut terhadap total ULN swasta mencapai 76,9%, sedikit lebih rendah dibandingkan dengan pangsa pada kuartal sebelumnya sebesar 77,0%.