Opini  

Sampah: Antara Barus, Risma, dan Anies

Ngelmu.co – Suatu hari, beberapa tahun lalu di Boulevard Kawasan Mega Kuningan, saya berjalan dengan kawan yang merupakan seorang doktor alumni Amerika dan saat ini Anggota DPR-RI, ke suatu gedung di sana.

Enak tentunya berjalan di kawasan itu, karena trotoarnya lebar. Namun, keenakan saya terganggu ketika dia melempar botol Aqua ke jalan, setelah meminumnya. Saya mengambil botol itu, dan melemparkannya ke tempat sampah, tanpa ia sadari. Karena saya tidak ingin dia tersinggung, sebab dia seorang tokoh.

Dari seluruh kenangan saya berjumpa dengannya, adalah kenangan buruk membuang sampah plastik ke tengah jalan. (Bayangkan) di tengah keramaian kawasan yang bersih, oleh seorang alumni Amerika. Bagaimana mungkin?

Namun, itu terus menerus menjadi teka-teki saya, bagaimana caranya agar seorang seperti dia, bisa mempunyai persepsi yang tepat tentang sampah, terlebih sampah plastik?

Saat ini, masalah sampah menjadi wacana di tengah publik, setelah Bestari Barus, Anggota DPRD DKI Nasdem, menyerang Anies Baswedan.

Menurutnya, Anies tidak mampu menyelesaikan soal sampah di DKI. Barus pun meminta Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini untuk mengajari Anies soal manajemen pengelolaan sampah. Dan Risma yakin bahwa dia mampu menyelesaikan persoalan sampah di DKI itu.

Namun, apakah persoalan sampah DKI akan selesai jika Risma datang ke Jakarta atau menjadi Gubernur Jakarta nantinya?

Wacana berkembang ke mana-mana. Meskipun ikan-ikan di kali Surabaya, di mana Risma berkuasa, 80 persen mengandung sampah mikro plastik, sesuai data Yayasan Ecoton, dan juga pencemaran 30 pabrik sesuai data Pemda.

Meskipun juga, tokoh Nasdem, atasan Barus, yang menjadi menteri perdagangan, mengijinkan impor sampah eks luar negeri ke Jakarta dan Surabaya.

Tentu saja persoalan sampah tidak akan selesai dengan kepemimpinan yang berganti. Maksudnya, masalah sampah adalah masalah bersama, dan berjangka panjang.

Mengapa demikian?

Pertama, masalah sampah adalah masalah individual, yakni apakah kita menganggapnya sebagai masalah atau bukan masalah.

Seperti teman saya alumni Amerika itu, saya dulu juga menganggap, membuang botol Aqua atau dulu kaleng bekas Coca-cola, dan sampah plastik lainnya, bukanlah sebuah keburukan.

Karena, sampah-sampah itu, dibenak saya, akan tersapu air ketika hujan, dan akan masuk ke kali, hanyut bersama air sungai.

Namun, ketika saya berusia 25 tahun, dan tinggal di Belanda, persepsi saya mulai bergeser. Kenapa? Karena setiap tutup botol, kaleng, plastik, dan apa pun yang saya lempar sebagai sampah di sembarang tempat, selalu dipungut istri saya. Meskipun di tempat yang sepi.

Istri saya memasukkan apa yang ia pungut, ke dalam tasnya. Sedikit pun, ia tak merasa terbebani dengan hal itu.

Entah berapa bulan, atau bahkan tahunan, kebiasaan saya membuang sampah sembarangan berangsur hilang. Setiap sampah botol, plastik, atau kaleng, pasti saya genggam sampai ketemu tempat sampah. Dan sesungguhnya tempat sampah saat itu, memang tersedia cukup banyak, ter-spesifikasi, juga bersih.

Dalam skala rumah tangga, kemudian saya bertanggungjawab meletakkan sampah basah dua kali dalam sepekan, di depan rumah. Biasanya di malam hari. Karena besoknya, truk sampah pemerintah kota akan melewati jalanan perumahan, pada pagi hari sekali.

Itu adalah kesempatan penting membuang sampah, karena jika tidak, sampah akan ditinggal truk sampah, lalu harus menumpuk di garasi atau gudang, selama beberapa hari. Bau.

Jangan pernah “tricky” menyelipkan sampah berat seperti kaca, kayu, atau kertas yang banyak, sebab petugas truk sampah akan tahu. Jangan sekali-kali.

Sampah kaca dan kertas, harus di-antar ke tempat tertentu, dengan kontainer yang juga berbeda.

Dalam skala individual-keluarga, persepsi tentang sampah merupakan pelajaran yang bersifat turun temurun, dan berkembang.

Jika orang tua sejak kecil mengajari anak untuk membuang sampah dengan baik, anak tersebut akan berkembang dengan tanggung jawab yang lebih besar.

Anak-anak saya, saat ini anti sedotan plastik. Adiknya yang lebih kecil, selalu membawa tas belanjaan jika ke super market. Sebisa mungkin, mereka menolak plastik.

Kedua, persepsi di lingkungan dan masyarakat. Di lingkungan pun di masyarakat, dibutuhkan sebuah kesadaran kolektif.

Ketika saya tinggal di Tebet, Jakarta, sampai 2017 lalu, beberapa rumah menyangkutkan sampah di dalam plastik kresek, di pagar rumah. Kadang, sampah-sampah itu tergantung selama beberapa hari. Padahal setiap rumah mempunyai bak sampah.

Bisa jadi, orang-orang itu adalah orang daerah yang mengontrak. Namun, karena lingkungan itu tidak terlalu bermasyarakat satu dengan lainnya, kontrol sosial pun kurang.

Tanpa kolektifitas, manajemen sampah di suatu lingkungan akan sangat bergantung pada pemerintah daerah. Apalagi jika lingkungan dimaksud merupakan area publik, seperti taman, sungai, danau, dan pantai.

Ketiga, tanggung jawab pemerintah. Tanggung jawab pemerintah soal sampah akan berkurang drastis, jika warganya peduli soal sampah.

Berkurang, bukan berarti gampang. Pemerintah mempunyai beban berat pertama, adalah membantu kesadaran warganya, baik individual maupun kolektif.

Curitiba, Brazil, adalah salah satu kota percontohan, sekitar 20 atau 15 tahun lalu, dalam manajemen sampah bantar kali.

Kemudian pemeritah kota mengajak warganya tidak membuang sampah ke kali. Tapi ini tidak gratis. Setiap sampah warganya dibeli pemerintah, ditukar dengan pohon buah-buahan.

Warga pun menanam pohon itu, dan beberapa tahun sudah berbuah. Lalu buah itu? Dibeli kembali oleh pemerintah. Akhirnya, bantar kali itu menjadi bersih, penuh pepohonan, dan warganya mendapat penghasilan tambahan.

Di negara-negara maju, soal sampah ini sudah dimasukkan ke dalam kurikulum, sejak taman kanak-kanak. Sejak usia dini, mereka dibentuk untuk pro lingkungan hijau. Jadi, pemerintah juga bertanggungjawab dalam membentuk karakter warganya.

Lalu bagaimana kita melihat polemik sampah yang diciptakan Bestari Barus, Risma, dan Anies?

Manajemen sampah yang mereka bicarakan adalah urusan teknikal yang seharusnya dapat dipecahkan dalam standar logik tertentu.

Soal teknikal, Anies sudah mengarahkan sampah-sampah nantinya akan dihancurkan di tempat pengelolaan sampah (intermediary treatment facility/ITF ), yang saat ini dibangun di Sunter.

Ada 4 ITF yang akan dibangun di Jakarta. Masing-masing ITF akan mengolah 2.200 ton sampah, dan menghasilkan listrik 35 MW per ITF, serta penghematan anggaran.

Mengapa saya katakan ini logika standar? Karena 35 tahun lalu, professor Hasan Purbo dari arsitektur ITB dan professor Johan Silas dari ITS, sudah sering menyampaikan soal teknik manajemen persampahan, dan juga dikonversi jadi energi.

Alternatif lama, di mana sampah ditimbun dalam kawasan seperti daerah Bantar Gebang, Bekasi, tentu semakin sulit, karena harga tanah semakin mahal. Tapi, itu bisa menjadi lebih murah jika rencana lama mencari tempat penampungan sampah di luar Jawa.

Perbedaan harga tanah malah membuat Amerika, Australia, Hongkong, Selandia Baru, mengekspor sampah-sampah mereka ke pulau Jawa, yang justru ribut saat ini, karena banyak mengandung racun.

Jadi, perdebatan yang dilontarkan Bestari Barus dan gaya Risma menggurui Anies tentang sampah, bukanlah persoalan hakiki membangun karakter manusia, melainkan hanya soal teknikal.

Maka, Anies tidak perlu terlalu menanggapi. Persoalan dasar sampah bukanlah manajemen teknikal, melainkan membangun kesadaran warga mencintai lingkungan hidup (pro green, anti-plastic, save water, kali bersih, dan lain-lain).

Oleh: Syahganda Nainggolan, Alumni Pasca Sarjana Studi Pembangunan ITB