Berita  

Sarah Gilbert, Ilmuwan yang Enggan Ambil Untung dari Vaksin AstraZeneca

Sarah Gilbert AstraZeneca

Ngelmu.co – Di tengah perjuangan banyak negara mengalahkan Covid-19, masih ada segelintir pihak yang berupaya meraih keuntungan. Bahkan, dengan cara yang licik.

Namun, tidak demikian dengan ilmuwan Inggris–yang berjasa dalam pengembangan vaksin AstraZeneca–Dame Sarah Gilbert.

Bukan memikirkan bagaimana agar harta memenuhi rekening, saku, pun dompetnya, Sarah, justru enggan mengambil penuh hak paten.

Alasannya? Agar harga vaksin Covid-19 ciptaannya, bisa murah. “Saya ingin buang jauh-jauh gagasan itu [mengambil hak paten penuh].”

“Agar kita dapat berbagi kekayaan intelektual, dan siapa pun, bisa membuat vaksin mereka sendiri.”

Demikian kata wanita berusia 59 tahun itu, ke parlemen Inggris, mengutip Reuters, 11 Maret lalu.

Padahal, saat itu pembahasan tentang siapa pemegang hak paten vaksin Covid-19, sedang gencar.

Keputusan Sarah pun berdampak pada harga vaksin AstraZeneca. Menjadi jauh lebih murah dari kompetitor mereka.

Catatan pentingnya adalah, meski yang termurah, efikasi–kemanjuran–vaksin AstraZeneca, cukup tinggi.

Termasuk untuk mencegah infeksi Covid-19 varian Delta, hingga 92 persen.

Sudah lebih dari 600 juta dosis vaksin AstraZeneca, sampai di 170 negara–seluruh dunia.

Termasuk 100 lebih negara yang tergabung dalam COVAX.

Mungkin keputusan ini tak membuat Sarah, kaya raya. Namun, apresiasi dunia terhadapnya, jauh lebih berharga.

Hal ini nampak di wajah Sarah, bagaimana ia menahan haru, saat publik mengapresiasi kerja kerasnya.

Tepatnya, jelang laga pembuka turnamen tenis akbar Wimbledon 2021 di Inggris, ia, mendapat ‘standing ovation’.

Satu per satu penonton berdiri, sembari terus bertepuk tangan untuk Sarah–salah satu ‘individu inspiratif’ yang diundang [menonton pertandingan hari pertama di zona kerajaan Inggris].

@ngelmu.co#SarahGilbert #AstraZeneca #Proud♬ original sound – ngelmu.co

Baca Juga:

Ia yang kini telah memiliki tiga anak, terlahir pada April 1962, di Kettering, Northamptonshire, Inggris.

Ayahnya bekerja di perusahaan sepatu, sementara sang ibu merupakan guru bahasa Inggris, sekaligus anggota opera amatir lokal.

Sarah, mengenyam pendidikan hingga jenjang doktoral di University of Hull Inggris.

Mengutip BBC, ia beralih kerja ke bidang kesehatan manusia, meski sebelumnya tak pernah berniat terjun ke dunia spesialis vaksin.

Pada pertengahan 1990-an, Sarah, bekerja di Universitas Oxford, meneliti genetik malaria, dan mengerjakan vaksinnya.

Meski tidak sendirian dalam menciptakan vaksin AstraZeneca [bekerja dengan para ilmuwan lain, termasuk koleganya di Oxford, Catherine Green], Sarah adalah yang memimpin tim pengembangan awal.

Sedangkan Catherine, mengurus soal produksi batch pertama, untuk uji klinis.

Sarah dan Catherine, juga menelurkan buku berjudul ‘Vaxxers’, demikian mengutip The Guardian.

Tentu, isinya mengisahkan lika-liku pembuatan vaksin Covid-19 Oxford-AstraZeneca.

Syukurnya, keputusan Sarah untuk tidak mengambil keuntungan dari vaksin, mendapat dukungan penuh dari DCVMN [Developing Countries Vaccine Manufacturers Network].