Sejarah Kementerian Agama Ramai Dibicarakan, Usai Yaqut Bilang ‘Kemenag Hadiah Negara untuk NU’

Sejarah Kementerian Agama
Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas

Ngelmu.co – Banyak pihak membicarakan sejarah Kemenag, usai Menag Yaqut Cholil Qoumas, bilang, “Kementerian Agama itu hadiah negara untuk NU.”

Terlebih, Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Sekjen PBNU) Helmy Faishal Zaini, juga tidak sepakat.

Ia menekankan, “Kemenag hadiah negara untuk semua agama, bukan hanya untuk NU atau hanya untuk umat Islam.”

Lantas, bagaimana sejarah Kementerian Agama Republik Indonesia yang sebenarnya?

Berikut Ngelmu kutip dari situs resmi kemenag.go.id:

Kementerian Agama adalah kementerian yang bertugas menyelenggarakan pemerintahan dalam bidang agama.

Mr Muhammad Yamin adalah yang pertama kali menyampaikan usulan pembentukan Kementerian Agama, dalam Rapat Besar [Sidang] BPUPKI [Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia], 11 Juli 1945.

Dalam rapat tersebut, Mr Muhammad Yamin, mengusulkan perlunya kementerian yang istimewa, yaitu yang berhubungan dengan agama.

Menurut Yamin, “Tidak cukuplah jaminan kepada agama Islam dengan Mahkamah Tinggi saja, melainkan harus kita wujudkan menurut kepentingan agama Islam sendiri.”

“Pendek kata menurut kehendak rakyat, bahwa urusan agama Islam yang berhubungan dengan pendirian Islam, wakaf, masjid, dan penyiaran, harus diurus oleh kementerian yang istimewa, yaitu yang kita namai Kementerian Agama.”

Namun, realitas politik menjelang dan masa awal kemerdekaan, menunjukkan bahwa pembentukan Kementerian Agama, memerlukan perjuangan tersendiri.

Pada waktu PPKI [Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia] melangsungkan sidang, Ahad (19/8/1945), untuk membicarakan pembentukan kementerian/departemen, anggotanya tak menyepakati usulan tentang Kementerian Agama.

Salah satu yang menolak pembentukan Kementerian Agama adalah Mr Johannes Latuharhary.

Keputusan untuk tidak membentuk Kementerian Agama dalam kabinet Indonesia yang pertama, menurut BJ Boland, telah meningkatkan kekecewaan orang-orang Islam [yang sebelumnya telah dikecewakan oleh keputusan yang berkenaan dengan dasar negara, yaitu Pancasila, bukan Islam atau Piagam Jakarta].

KHA Wahid Hasjim, mengungkap [sebagaimana dimuat dalam buku Sedjarah Hidup K.H.A. Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar (Kementerian Agama, 1957: 856)]:

Pada waktu itu orang berpegang pada teori, bahwa agama harus dipisahkan dari negara.

Pikiran orang pada waktu itu, di dalam susunan pemerintahan, tidak usah diadakan kementerian tersendiri yang mengurusi soal-soal agama.

Begitu di dalam teorinya, tetapi di dalam praktiknya berlainan.

Lebih lanjut, Wahid Hasjim, menulis:

Setelah berjalan dari Agustus hingga November, tahun itu juga, terasa sekali bahwa soal-soal agama yang di dalam praktiknya bercampur dengan soal-soal lain di dalam beberapa tangan [departemen], tidak dapat dibiarkan begitu saja, dan terasa perlu sekali berpusatnya soal-soal keagamaan itu di dalam satu tangan [departemen], agar soal-soal demikian itu dapat dipisahkan [dibedakan] dari soal-soal lainnya.

Oleh karena itu, maka pada pembentukan Kabinet Parlementer yang pertama, diadakan Kementerian Agama.

Model Kementerian Agama ini pada hakikatnya adalah jalan tengah antara teori memisahkan agama dari negara, dan teori persatuan agama dan negara.

Sejarah Kementerian Agama selanjutnya adalah usulan pembentukan, yang kembali muncul pada sidang Pleno KNIP [Komite Nasional Indonesia Pusat], 25-27 November 1945.

KNIP merupakan Parlemen Indonesia periode 1945-1950. Sebanyak 224 anggota menghadiri sidang pleno.

Di antaranya, 50 orang dari luar Jawa, utusan Komite Nasional Daerah.

Ketua KNIP Sutan Sjahrir memimpin sidang, dengan agenda, membicarakan laporan Badan Pekerja (BP) KNIP, pemilihan keanggotaan/ketua/wakil ketua yang baru, serta tentang jalannya pemerintahan.

Dalam sidang pleno KNIP tersebut, tiga utusan Komite Nasional Indonesia Daerah Keresidenan Banyumas, menyampaikan usulan pembentukan Kementerian Agama. Mereka adalah:

  • KH Abu Dardiri;
  • KHM Saleh Suaidy; dan
  • M Sukoso Wirjosaputro.

Ketiganya merupakan anggota KNI dari partai politik Masyumi.

Selaku juru bicara, KHM Saleh, menyampaikan usulan KNI Banyumas:

“Supaya dalam negeri Indonesia, yang sudah merdeka ini, janganlah hendaknya urusan agama hanya disambilkan kepada Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan saja, tetapi hendaklah Kementerian Agama yang khusus dan tersendiri.”

Usulan itu mendapat dukungan dari anggota KNIP, khususnya dari partai Masyumi:

  • Mohammad Natsir;
  • Dr Muwardi;
  • Dr Marzuki Mahdi; dan
  • M Kartosudarmo.

Secara aklamasi, sidang KNIP, menerima serta menyetujui usulan pembentukan Kementerian Agama.

Akan hal tersebut, Presiden Soekarno memberi isyarat kepada Wakil Presiden Mohammad Hatta.

Bung Hatta pun langsung berdiri, dan mengatakan, “Adanya Kementerian Agama tersendiri, mendapat perhatian pemerintah.”

Awalnya, terjadi diskusi, apakah penamaan untuk kementerian itu Kementerian Agama Islam atau Kementerian Agama.

Namun, akhirnya diputuskan nama ‘Kementerian Agama’.

Pembentukan Kementerian Agama dalam Kabinet Sjahrir II, ditetapkan dengan Penetapan Pemerintah No 1/S.D., 3 Januari 1946 [29 Muharram 1365 H].

Berbunyi: Presiden Republik Indonesia, mengingat: usul Perdana Menteri dan Badan Pekerja Komite Nasional Pusat, memutuskan: Mengadakan Kementerian Agama.

Pembentukan Kementerian Agama, pada waktu itu dipandang sebagai kompensasi, atas sikap toleransi wakil-wakil pemimpin Islam, mencoret tujuh kata dalam Piagam Jakarta, yakni:

“Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”

Maksud dan tujuan membentuk Kementerian Agama, selain untuk memenuhi tuntutan sebagian besar rakyat beragama di Tanah Air [yang merasa urusan keagamaan di zaman penjajahan dahulu tidak mendapat layanan yang semestinya], juga agar soal-soal yang bertalian dengan urusan keagamaan, diurus serta diselenggarakan oleh suatu instansi atau kementerian khusus. Sehingga pertanggungan jawab, beleid, dan taktis, berada di tangan seorang menteri.

R Moh Kafrawi [mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Agama], mengungkap sejarah pembentukan Kementerian Agama:

“… dihasilkan dari suatu kompromi antara teori sekuler dan Kristen, tentang pemisahan gereja dengan negara, dan teori muslim, tentang penyatuan antara keduanya.”

“Jadi, Kementerian Agama itu timbul dari formula Indonesia asli, yang mengandung kompromi antara dua konsep yang berhadapan muka: sistem Islami dan sistem sekuler.”

Pemerintah, kemudian mengumumkan berdirinya Kementerian Agama, melalui siaran Radio Republik Indonesia.

Presiden Soekarno mengangkat HM Mohammad Rasjidi sebagai Menteri Agama pertama RI.

Ia merupakan seorang ulama berlatar belakang pendidikan Islam modern, yang di kemudian hari, dikenal sebagai pemimpin Islam terkemuka, serta tokoh Muhammadiyah.

Saat itu, Rasjidi adalah menteri tanpa portofolio dalam Kabinet Sjahrir–dalam jabatan selaku menteri negara, ia menggantikan KHA Wahid.

Namun, Rasjidi sudah bertugas mengurus permasalahan yang berkaitan dengan kepentingan umat Islam.

Kementerian Agama mengambil alih tugas-tugas keagamaan yang semula berada pada beberapa kementerian.

Seperti:

  • Kemendagri [berkenaan dengan masalah perkawinan, peradilan agama, kemasjidan dan urusan haji];
  • Kementerian Kehakiman [berkenaan dengan tugas dan wewenang Mahkamah Islam Tinggi]; dan
  • Kementerian Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan [berkenaan dengan masalah pengajaran agama di sekolah].

Sehari setelah pembentukan Kementerian Agama, Rasjidi [dalam pidato yang disiarkan oleh RRI Yogyakarta] menegaskan, bahwa berdirinya Kemenag adalah untuk memelihara dan menjamin kepentingan agama dan pemeluknya.

Kutipan transkripsi pidato Menag Rasjidi–yang mempunyai nilai sejarah–itu terucap pada Jumat (4/1/1946) malam.

Pidato pertama yang juga dimuat oleh Harian Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta, 5 Januari 1946.

Dalam Konferensi Jawatan Agama seluruh Jawa dan Madura, di Surakarta, 17-18 Maret 1946, Rasjidi kembali menjelaskan.

Baik sebab pun kepentingan pemerintah Republik Indonesia, mendirikan Kemenag, yakni untuk memenuhi kewajiban pemerintah terhadap Undang-Undang Dasar 1945 [Bab XI pasal 29].

Menerangkan bahwa, “Negara berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa”, dan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing, dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”, (ayat 1 dan 2).

Jadi, lapangan pekerjaan Kemenag adalah mengurus segala hal yang berkaitan dengan agama, dalam arti seluas-luasnya.

Sejarah Kementerian Agama menjadi perbincangan, karena pernyataan Menteri Agama (Menag) Yaqut, Rabu (20/10) lalu.

Tepatnya dalam webinar internasional bertajuk, ‘Sudut Pandang Politik, Ekonomi, Budaya, dan Revolusi Teknologi‘, yang terunggah di kanal YouTube TVNU Televisi Nahdlatul Ulama.

Yaqut bilang, “Kementerian Agama itu hadiah negara untuk NU, bukan untuk umat Islam secara umum, tapi spesifik untuk NU.”

Ia juga menilai, “Wajar, kalau sekarang NU itu memanfaatkan banyak peluang yang ada di Kementerian Agama.”

Selengkapnya, baca di: