Semakin Bengkak, PKS Ingatkan Pemerintah Waspada Utang Multisektor

Ngelmu.co – Soroti semakin membengkaknya utang multisektor di Indonesia, politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Ecky Awal Mucharam, mengingatkan pemerintah untuk waspada.

“Pembengkakan utang tidak hanya terjadi pada sektor pemerintah, tetapi juga pada BUMN dan swasta, hal ini membuat perekonomian Indonesia menjadi semakin rentan,” tutur Anggota Komisi XI DPR RI itu, di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (4/12).

“Defisit per Oktober, melebar menjadi Rp289 triliun, atau meningkat 22 persen, apabila dibandingkan realisasi defisit tahun sebelumnya, dan hampir menyentuh angka target,” sambung Ecky.

Defisit Membengkak

Adanya kebutuhan realisasi belanja yang mencapai 28 persen, kata Ecky, maka realisasi defisit dapat membengkak Rp25 hingga Rp50 triliun.

Lebih lanjut ia menyatakan, membengkaknya defisit sama saja dengan pemerintah akan menerbitkan utang baru.

“Utang yang terus menumpuk dan tidak dikelola dengan baik, justru dapat menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi, serta membuat ekonomi Indonesia rentan akan external shock,” jelas Ecky.

Sementara pada sektor lain ia menyampaikan, juga ditemukan pembengkakan defisit, seperti sektor BUMN yang mengalami lonjakan Utang Luar Negeri (ULN).

“Utang Luar Negeri BUMN pada September 2019, meningkat 20,4 persen, apabila dibandingkan periode yang sama, tahun sebelumnya, atau saat ini sudah setara dengan Rp98 triliun. Hal ini tentu mengkhawatirkan,” kata Ecky.

Utang BUMN Meningkat Tajam

Utang BUMN meningkat tajam, salah satunya, lanjut Ecky, karena penugasan langsung pemerintah untuk pembangunan sejumlah proyek infrastruktur.

“Salah satu BUMN kita, ada mengalami kenaikan liabilitas, dari hanya Rp7 triliun di tahun 2015, menjadi Rp53 Triliun di tahun 2018,” bebernya.

“Hal tersebut di-perparah dengan meningkatnya debt to asset ratio, yang melonjak dari 58 persen menjadi 82 persen, pada periode yang sama,” imbuh Ecky.

Ia pun menilai, bahwa utang sektor swasta nasional juga menunjukkan gelagat yang kurang baik.

“Pertumbuhan Utang Luar Negeri sektor swasta nasional non-bank pada kuartal III-2019, mengalami peningkatan sebesar 7 persen, apabila dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya,” ujarnya.

“Angka tersebut relatif tinggi, dibandingkan pertumbuhan utang swasta nasional non-bank pada kuartal III-2018 yang hanya sebesar 2,6 persen,” lanjut Ecky.

Baca Juga: Berikut Daftar Perusahaan BUMN yang Tercancam Gulung Tikar

Maka, ia meminta kepada pemerintah dan Bank Indonesia, untuk bekerja secara aktif, memitigasi sejumlah risiko.

“Menggelembungnya utang pemerintah dan BUMN, dapat crowding out utang sektor swasta, yang pada akhirnya akan meningkatkan cost of capital swasta, memperkecil investasi, yang pada akhirnya membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia akan semakin melambat,” tegas Ecky.

Belum bisa Memaksimalkan Potensi

Indonesia yang belum bisa memaksimalkan potensi pendapatan perpajakan yang ada, juga mendapat sorotan, karena mengakibatkan shortfall pendapatan, dan memperlebat defisit.

“Selama lima tahun terakhir, rata-rata pertumbuhan penerimaan pajak Indonesia setiap tahunnya hanya sebesar 5,73 persen, sangat jauh apabila dibandingkan pertumbuhan pada periode 2005-2009 yang mencapai 17,56 persen per tahun,” bebernya.

Pada Kementerian Keuangan, Ecky juga meminta, untuk terus mendorong tax ratio yang selama lima tahun terakhir mengalami stagnansi, di level 10-11 persen.

Menurutnya, stagnansi tax ratio itu disebabkan oleh masih belum jelasnya strategi intensifikasi dan ekstensifikasi perpajakan yang dimiliki oleh pemerintah.

Revitalisasi Industri Pengolahan Nasional

Pemerintah juga didorong untuk melakukan revitalisasi industri pengolahan nasional, karena sebagian besar penerimaan perpajakan berasal dari sektor tersebut.

“Pada kuartal III-2019, industri pengolahan hanya mampu tumbuh 4,15 persen, dan kontribusinya pada PDB nasional menurun menjadi 19 persen, padahal 30 persen penerimaan pajak Indonesia berasal dari industri pengolahan,” kata Ecky.

“Data menunjukkan, pertumbuhan penerimaan pajak, periode Januari-Oktober 2019, dari industri pengolahan tercatat negatif 2 persen, padahal pada tahun 2018 tumbuh 12 persen, hal ini pada akhirnya akan memperbesar shortfall perpajakan di tahun 2019,” pungkasnya.