Berita  

Sexual Consent: Bertentangan dengan Nilai Indonesia

Tolak Sexual Consent

Ngelmu.co – Terbukanya informasi sosialisasi ‘sexual consent’, dalam salah satu materi pembekalan mahasiwa baru, di salah satu perguruan tinggi negeri, menimbulkan keresahan, serta respons, terkait konsep tesebut.

Berikut poin-poin yang disampaikan penulis, mengenai konsep ‘sexual consent’:

1. Sexual Consent (SC) adalah hubungan seksual yang dilakukan karena persetujuan.

Memang, sejatinya suatu hubungan seksual, harus di-dasari persetujuan, suka sama suka, dan keihklasan.

Namun, dengan syarat, dilakukan oleh suami istri, dalam ikatan pernikahan.

Jadi, SC, hanya relevan, jika dilakukan oleh suami istri, dalam ikatan pernikahan, dan bingkai keluarga.

SC, menjadi menyesatkan, kalau di-peruntukkan bagi yang belum menikah, atau salah satu maupun kedua pasangan, tidak terikat pernikahan.

Dalam konteks tersebut, mengajrkan SC, sama saja merupakan pembenaran terhadap nilai dan perilaku seks bebas.

Suatu nilai dan perilaku yang tidak sesuai dengan nilai Pancasila; dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2. Makna persetujuan seorang individu dalam melakukan hubungan seksual, membawa kepada suka atau tidaknya suatu hubungan seks dilakukan.

Namun, tidak bermakna halal atau haramnya suatu hubungan seksual, karena halal-haramnya perilaku seks, harus mengacu pada ketentuan agama.

Demikian halnya, persetujuan dalam hubungan seksual, tidak menunjukkan etis-tidaknya suatu hubungan seks.

Sebab, etis tidaknya suatu hubungan seksual, harus mengacu kepada nilai moral dan norma sosial yang berlaku.

Jadi, makna persetujuan dalam SC, hendaknya terikat dengan, dan dibatasi oleh ketentuan agama, moral, serta norma sosial.

3. SC, merupakan bagian dari pendidikan seksual, dan terkait dengan konsep kekerasan seksual.

Persetujuan merupakan syarat atau kondisi suatu perilaku seksual, tidak terkategori sebagai kekerasan seksual.

Istilah kekerasan seksual yang diambil dari lembaga internasional, tidak memasukan nilai agama, sebagai landasan sebuah hubungan seksual.

Konsep tersebut hanya mempersoalkan, apakah sebuah hubungan seksual dilakukan dengan kekerasan (tanpa persetujuan) atau tidak (dengan persetujuan).

Sehingga konsep tersebut, tidak cocok di-sosialisasikan dan di-ajarkan, kepada masyarakat dan keluarga Indonesia, yang secara konstitusional menjadikan agama sebagai landasan kehidupan.

Baca Juga: Tegas, BMOIWI Tolak Pengajaran Materi Sexual Consent

4. Semua hubungan seksual dalam ikatan pernikahan, hendaknya dipenuhi keikhlasan.

Hubungan seksual dalam ikatan pernikahan, diselimuti oleh kesalingan (mubadalah), yakni saling memberi, mencintai, mengasihi.

Saling menyenangkan dan memuaskan, saling tenggang rasa dan memaklumi, juga saling mengalah, bahkan saling berkorban.

Hubungan seksual dalam ikatan pernikahan, tidak hanya menekankan pada semangat, dan tuntutan hak individu.

Namun, juga menekankan keseimbangan berupa kesadaran akan kewajiban untuk mencintai dan menerima pasangan.

Sebagai belahan jiwa yang dilandasi ikatan pernikahan; perjanjian suci, kokoh, dan agung.

5. SC, merupakan bagian dari pendidikan seksual komprehensif (Comprehensive Sexual Education), yang memberi ruang kepada individu yang tak terikat pernikahan.

Namun, memiliki kebutuhan untuk berhubungan intim, untuk mengekspresikannya, selama dilakukan dengan persetujuan (suka sama suka).

SC yang dilakukan pasangan tidak menikah, akan berkaitan dengan upaya pencegahan kehamilan, yang tidak diinginkan.

Sebagai konsekuensinya, penyediaan alat kontrasepsi (bahkan bagi remaja), menjadi suatu kebutuhan.

Demikian halnya, dengan tuntutan aborsi aman, bagi mereka yang mengalami kehamilan tidak diinginkan, akibat hubungan di luar pernikahan–yang dilakukan atas persetujuan.

6. Ketika konsep SC, di-ajarkan kepada pasangan yang tidak terikat pernikahan, bahkan kepada mahasiswa dan remaja, tanpa memasukkan nilai agama yang melandasi sah-tidaknya suatu hubungan seksual, maka SC, sama dengan persetujuan terhadap seks bebas.

Sebagai konsep yang melepaskan dari nilai agama, SC, merupakan konsep yang menyesatkan.

Menekankan, bahkan mengagung-agungkan kehendak dan persetujuan manusia, sebagai Hak Asasi Manusia, di atas aturan agama sebagai pengejawantahan nilai Ketuhanan.

Oleh: Guru Besar IPB Bidang Ketahanan dan Pemberdayaan Keluarga–Penggiat Keluarga Indonesia, Euis Sunarti