Opini  

Sisi Gelap Media Sosial dan Internet: Expert ‘Mati’, Laypeople Berkuasa

Sisi Gelap Media Sosial dan Internet

Ngelmu.co – Sisi gelap media sosial dan internet… Di era internet sekarang ini, orang bebas mengunggah apa pun di media sosial, sehingga ruang publik banyak dibanjiri oleh informasi tak penting, atau oleh pemikiran-pemikiran yang masih mentah, belum matang. Internet juga memberi ruang untuk terjadinya bias informasi.

Sisi Gelap Media Sosial dan Internet

Expert atau pakar, didefinisikan sebagai orang yang punya keahlian di bidang tertentu, dan yang telah teruji.

Thomas M. Nichols, Professor di US Naval War College, dalam bukunya, “The Death of Expertise”, mendefinisikan expert harus memenuhi kriteria pengakuan yang diperoleh dari kombinasi pendidikan, bakat, pengalaman, dan afirmasi dari komunitas kepakarannya.

Sementara Laypeople atau khalayak umum—orang awam—atau bahasa kita: orang kebanyakan, didefinisikan sebagai orang yang tidak punya pengetahuan khusus di bidang tertentu, atau orang yang tidak memiliki pemahaman mendalam terhadap suatu topik.

Laypeople butuh dokter bila sakit, butuh pengacara bila punya masalah hukum, dan butuh pilot untuk mengemudikan pesawat yang ditumpanginya.

Tetapi dengan keberlimpahan informasi sekarang ini, orang awam bisa juga menjadi dokter bagi diri sendiri, atau menjadi ahli hukum, atau jadi penerbang dadakan.

Kok bisa? Ya, berbekal googling atau informasi dari media sosial, membuat semua orang merasa menjadi expert.

Expert dan Laypeople Bertemu di ‘Ruang yang Sama’

Padahal, sebelum era ini, tak pernah terjadi di sepanjang sejarah, para expert dan laypeople berada dalam ‘satu ruang yang sama’, dan bisa langsung berdiskusi dengan ‘posisi yang sama’.

Tapi sekarang, di hadapan kita, kondisi ini terjadi. Para expert dan laypeople bertemu di ‘ruang yang sama’, dengan ‘posisi yang sama’. Itulah ruang media sosial.

Perhatikan deh.

Di ruang media sosial, posisi menjadi serba tidak jelas: mana yang expert, mana yang awam.

Mana yang punya pengetahuan dari pendidikan serta keahliannya, dan mana yang pengetahuannya hanya mengambil dari google atau media sosial.

Baca Juga: Jagoan Neon Media Sosial

Tak heran, sekeping informasi di google atau media sosial, yang kadang tidak diketahui jelas dari mana sumbernya, dianggap lebih bisa dipercaya dan valid, ketimbang riset-riset yang dilakukan para expert.

Kegandrungan pada literasi instan seperti ini, menggejala demikian masif, hingga kepakaran terancam mati.

Orang hanya memerlukan informasi tambahan dari media sosial atau internet untuk menguatkan keyakinannya, ketimbang mencari kebenaran pengetahuan itu dari ahlinya.

Para expert di bidang politik, ekonomi, kedokteran, hukum, agama, dan bidang-bidang yang lain, kalah oleh netizen dari kalangan laypeople yang merasa lebih expert, dari expert itu sendiri.

Fakta ini menunjukkan kepada kita bahwa:

Internet yang dianggap sebagai sumber informasi tanpa batas, yang memberikan pencerahan pada kehidupan manusia, ternyata punya sisi gelap.

Ia tidak hanya menciptakan lompatan pengetahuan bagi kebanyakan orang, tetapi juga menjadi sarana yang bisa menyerang pengetahuan yang sudah mapan, serta bisa menjadi sumber sekaligus sarana tersebarnya informasi bohong.

Ada ilustrasi menarik. Pada tahun 2014, Washington Post melakukan jajak pendapat dengan seluruh warga, apakah AS harus terlibat dalam intervensi militer setelah Rusia melakukan invasi ke Ukraina.

Mayoritas warga AS setuju intervensi. Namun, setelah disurvei, hanya satu dari enam dari warga AS yang tahu, di mana lokasi negara Ukraina berada. Aneh ‘kan?

Jakarta, 21 Januari 2019

Oleh: Anis Byarwati