Siti Fadilah Supari, Tegas Lawan Kekeliruan WHO Hingga Bongkar Kedok AS

Siti Fadilah WHO

Ngelmu.co – Mengingat kembali sosok Menteri Kesehatan RI masa jabatan 2004-2009, Siti Fadilah Supari. Wanita Indonesia, yang tegas melawan kekeliruan WHO, hingga membongkar kedok Amerika Serikat.

Ketegasan Siti Fadilah Melawan Kekeliruan WHO

Ia merupakan satu dari sedikit warga dunia yang keras membela hak-hak negara berkembang, di tengah dominasi badan resmi dunia serta negara adikuasa. Dirinya melawan, dan berhasil.

Bahkan, Majalah The Economist London, menempatkan Siti, sebagai tokoh yang memulai revolusi, dalam menyelamatkan dunia dari dampak penyakit pandemik.

“Menteri Kesehatan Indonesia itu, telah memilih senjata yang terbukti lebih berguna daripada vaksin terbaik dunia saat ini, dalam menanggulangi ancaman virus flu burung, yakni transparansi,” tulis The Economist, 10 Agustus 2006 lalu.

Perlawanan Siti, memang dimulai saat virus flu burung (Avian Influenza/AI), menelan korban di Tanah Air, tepatnya pada 2005.

Kelabakan. Pasalnya, obat tamiflu yang seharusnya ada, justru diborong oleh negara-negara kaya yang tak terkena kasus flu burung.

Tak adil. Negara-negara lemah yang terkena, tak bisa memperoleh apa-apa, sampai datang bantuan dari India, Thailand, dan Australia. Namun, korban terus berjatuhan.

Dengan alasan penentuan diagnosis, saat itu badan kesehatan dunia (WHO), melalui WHO Collaborating Center (WHO CC), di Hong Kong, memerintahkan Siti, untuk menyerahkan sampel spesimen.

Dilansir naviri.org, perintah itu diikuti, tetapi Siti juga meminta laboratorium Litbangkes, untuk melakukan penelitian.

Hasilnya? Sama. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah mengapa WHO CC meminta sampel dikirim ke Hong Kong?

Pertanyaan itu membuat wanita kelahiran Surakarta, 6 November 1949, semakin merasa ada sesuatu yang aneh, hingga terbayang korban flu burung di Vietnam.

Sampel virus warga Vietnam yang telah meninggal, diambil dan dikirim ke WHO CC, untuk dilakukan risk assessment, diagnosis, dan kemudian dibuat seed virus.

Lebih lanjut, dari seed virus itulah kemudian dibuat vaksin.

Ironisnya, pembuat vaksin itu adalah perusahaan-perusahaan besar dari negara maju, kaya, dan tak terkena flu burung.

Mereka mengambilnya dari negara korban, Vietnam, kemudian menjualnya ke seluruh dunia, tanpa izin, tanpa kompensasi.

Merasa Kedaulatan Negara Dipermainkan

Siti Fadilah pun marah. Sebab, ia merasa kedaulatan, harga diri, hak, dan martabat negara-negara tak mampu, telah dipermainkan atas dalih Global Influenza Surveilance Network (GISN) WHO.

Badan kesehatan yang sangat berkuasa, yang telah menjalani praktik selama 50 tahun, justru memerintahkan lebih dari 110 negara untuk mengirim spesimen virus flu ke GISN, tanpa bisa menolak.

Kemudian, virus itu menjadi milik mereka, dan pihaknya berhak memproses menjadi vaksin.

Di saat ragu atas WHO, Siti, membaca di The Straits Times Singapura, 27 Mei 2006.

Di sana dijelaskan, bahwa para ilmuwan tak dapat mengakses data sequencing DNA H5N1, yang disimpan WHO CC.

Data itu, justru disimpan di Los Alamos National Laboratoty, New Mexico, AS.

Di mana dari 15 grup peneliti, hanya empat yang merupakan bagian dari WHO. Selebihnya? Tak diketahui.

Siti Fadilah, WHO, dan Los Alamos

Sampai akhirnya terbongkar, Los Alamos, ternyata berada di bawah Kementerian Energi AS. Lab yang dulu menjadi tempat dirancangnya bom atom Hiroshima.

Lalu, untuk apa data tadi dikirimkan ke sana? Vaksin, atau senjata kimia?

Siti Fadilah tak membiarkan situasi itu berlangsung terus-menerus. Ia pun meminta WHO, membuka data tersebut.

Data DNA virus H5N1. Tidak boleh hanya dikuasai kelompok tertentu. Siti terus berusaha keras, hingga akhirnya ia berhasil.

Pada 8 Agustus 2006, WHO mengirim data itu. Tak heran jika ilmuwan dunia yang selama ini gagal mendobrak ketertutupan Los Alamos, memuji Siti.

Majalah The Economist, menyebut peristiwa itu sebagai revolusi bagi transparansi.

Siti Fadilah Kejar WHO CC Hingga GISN Dihapus

Tetapi langkah Siti Fadilah tak berhenti sampai di situ. Ia masih terus mengejar WHO CC, agar mengembalikan 58 virus asal Indonesia, yang konon telah ditempatkan di Bio Health Security, lembaga penelitian senjata biologi Pentagon.

Jelas, hal ini tak mudah. Namun, Siti terus berjuang, hingga tercipta pertukaran virus yang adil, transparan, dan setara.

Siti masih terus melawan. Ia tak mau lagi mengirim spesimen virus yang diminta WHO, selama mekanisme itu masih mengikuti GISN, yang imperialistik dan membahayakan dunia.

Perlawanannya pun tak sia-sia. Meski Siti Fadilah dikecam WHO, dan dianggap menghambat penelitian, tetapi pada akhirnya, dalam sidang Pertemuan Kesehatan Sedunia, di Jenewa, Mei 2007 lalu, International Government Meeting (IGM) WHO di Jenewa, menyetujui sharing virus, sekaligus menghapus GISN.

Baca Juga: Alasan Sri Sultan HB IX Larang Etnis China Miliki Tanah di Yogyakarta

Siti, anak bangsa yang melakukan perlawanan atas ketidakadilan.

Bukantah bangsa ini memerlukan banyak orang seperti Siti? Sosok yang berjuang demi keadilan, kedaulatan, serta kesetaraan.

Sosok Menginspirasi yang ‘Dijatuhkan’

Mirisnya, sosok yang sudah menginspirasi bangsa untuk bangkit, justru ‘dijatuhkan’.

Dirinya dituding melakukan korupsi, dalam kegiatan pengadaan alat kesehatan (alkes), guna mengantisipasi kejadian luar biasa (KLB) 2005, pada Pusat Penanggulangan Masalah Kesehatan (PPMK), dengan melakukan penunjukan langsung (PL) kepada PT Indofarma Tbk, dan menerima gratifikasi sebesar Rp1,9 miliar.

Merasa difitnah, Siti pun menegaskan, jika dirinya tak melakukan penyelewengan uang negara.

Dalam sidang pembacaan nota pembelaan (pledoi) di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (7/6/2017), Siti mengatakan, “Takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala, saya harus menjalani satu peristiwa dalam hidup yang tidak pernah saya bayangkan,” tuturnya.

“Sejak awal pemeriksaan di perkara ini, di Bareskrim maupun di KPK, sampai persidangan hari ini, saya ingin menegaskan, bahwa saya tidak pernah melakukan sebagaimana tuntutan jaksa penuntut umum,” sambungnya tegas.

‘To See the Unseen, Setitik Harapan Menggapai Keadilan’

Berjudul ‘To See the Unseen, Setitik Harapan Menggapai Keadilan’, pledoi Siti, dibacakan sebagai pembelaan terhadap tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) KPK, yang memintanya divonis 6 tahun penjara, ditambah denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan, dan kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp1,9 miliar subsider 1 tahun kurungan.

“Sebagai ibu dan nenek, sekaligus Muslimah, saya sangat merindukan bisa berpuasa Ramadan, tarawih bersama dengan anak cucu di rumah, apalagi di penghujung usia saya seperti saat ini,” kata Siti tersedu.

Menurutnya, banyak fakta persidangan yang justru tak diungkap, bahkan sengaja dihilangkan.

“Tidak ada arahan menteri untuk menunjuk PT Indofarma, sedangkan dakwaan JPU bahwa Menkes memerintahkan secara lisan untuk memenangkan PT Indofarma atau membantu PAN, hal itu tidak terbukti sama sekali,” ujar Siti.

Ia pun menilai, inti dakwaan adalah Menteri Kesehatan punya niat untuk mencari keuntungan finansial bagi diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dengan cara membuat surat rekomendasi dan verbal abal-abal.

“Mohon maaf, saya buat istilah abal-abal, karena surat rekomendasi penunjukan langsung itu, tidak melalui prosedur yang benar,” beber Siti.

Baca Juga: Presiden, Menteri, Hingga Anggota Parlemen Singapura Potong Gaji Demi Bonus Tim Medis COVID-19

Bahkan, ia mengaku, pernah diundang sebagai saksi di persidangan Mulya Hasjmi.

Ketika sedang menunggu dipanggil, sebagai pejabat tinggi negara, ia dipersilakan duduk di ruangan para jaksa. Banyak di antara mereka, meminta foto bersama Siti.

“Saya Kalah, Meski Saya Benar”

Tiba-tiba, datang dua anak muda dengan seragam jaksa, dan dua orang itu pun bertegur sapa dengan para jaksa di ruangan.

“Dengan tersenyum, mereka mendekati saya dan meminta untuk berfoto bersama, tentu saja saya persilakan. Ketika merapat kepada saya, salah satunya berbisik, ‘Ibu, saya tahu siapa ibu, saya fans ibu, maaf ibu sedang di-zalimi, tenang, ya, Bu, ini ada dokumen yang mungkin ibu perlukan’, sambil memberikan gulungan kertas yang ada di tangannya, kemudian meninggalkan saya,” ungkap Siti.

Setelah dibuka. Dokumen itu ternyata merupakan verbal resmi dari surat rekomendasi penunjukan langsung Nomor 15912/Menkes/2005, yang ia cari-cari, dan pernah berkali-kali ditanyakan oleh penyidik Bareskrim.

“Saya mencari pemuda itu, tetapi sudah tidak ada. Saya ingin berterima kasih kepada mereka, tetapi tidak tahu keberadaannya, pada kesempatan ini, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada kedua pemuda itu,” tutur Siti.

Dalam dakwaan kedua, Siti, juga membantah menerima suap sebesar Rp1,9 miliar dalam bentuk mandiri traveller cheque (MTC), dari Sriwahyuningsih dan Rustam Pakkaya, karena telah menyetujui revisi anggaran untuk kegiatan pengadaan Alkes I, serta memperbolehkan PT Graha Ismaya, sebagai penyalur pengadaan alkes tersebut.

“Saya benar-benar tidak menerima MTC, berapa pun, dari siapapun. Saya hanya bisa bersumpah demi Allah pada bulan Ramadan yang suci ini,” kata Siti.

“Demi Allah, kiranya Allah melaknat orang yang memfitnah saya menerima MTC seperti dalam dakwaan. Mudah-mudahan Allah mengabulkan doa orang yang di-zalimi dalam bulan yang suci ini,” sambungnya dengan suara bergetar, yang disambut seruan ‘amin’ oleh para pendukungnya di ruang sidang.

Lebih lanjut Siti menuding, sudah disiapkannya saksi yang dibentuk secara sistematis, untuk menunjukkan dirinya menerima MTC, dengan melibatkan kelaurganya.

“Saya tahu siapa yang bermain dalam kasus ini. Sekali lagi saya tidak salah, tetapi kalah,” ucapnya.

“Menang atau kalah adalah hasil yang pasti dalam suatu perjuangan, dan saya dalam posisi kalah, meski saya benar,” pungkas Siti.