Berita  

Spirit Doll alias Boneka Arwah Ramai Dibicarakan, Ini Kata MUI

Ngelmu.co – Majelis Ulama Indonesia (MUI) menanggapi ramainya pembicaraan mengenai spirit doll alias boneka arwah di tengah publik.

Pasalnya, mulai bermunculan masyarakat yang mengaku ingin ikut mengadopsi, setelah melihat sejumlah selebriti mengenalkan spirit doll mereka.

“Punya boneka mainan itu boleh, tapi kalau itu diisi atau dipersepsikan tempat arwah, hukumnya tidak boleh memelihara makhluk halus.”

“Kalau disembah, musyrik. Namun, kalau berteman saja, berarti berteman dengan jin.”

Demikian jelas Ketua Bidang Dakwah dan Ukhuwah MUI Pusat KH Muhammad Cholil Nafis, Senin (3/1/2021), seperti mengutip Detik.

Lebih lanjut, ia menilai, tidak seharusnya memperlakukan boneka seperti anak. Sebab, boneka adalah benda mati.

“Baiknya uang yang dimiliki, disumbangkan kepada anak yatim dan duafa, daripada memelihara boneka yang mistis itu,” tegasnya.

Fenomena makin ramai setelah beberapa publik figur, tanpa ragu mengaku merawat spirit doll layaknya anak sendiri.

Bahkan, mereka juga mulai memamerkan boneka-boneka itu ke publik; melalui media sosial.

Tipu Daya Jin

Selain Kiai Cholil, Ketua Bidang Pengkajian dan Penelitian MUI Prof Utang Ranuwijaya juga menyampaikan pandangannya.

Mempercayai benda yang memiliki roh atau kekuatan supranatural [seperti batu cincin, keris, dan boneka], termasuk perbuatan syirik.

Dari sisi akidah Islam, lanjutnya, fenomena spirit doll ini sangat berbahaya.

“Kekuatan-kekuatan gaib yang dianggap ada pada benda-benda itu, sebenarnya adalah tipu daya jin,” tutur Ranuwijaya.

“[Tipu daya jin] yang memperdaya manusia, bukan benda itu sendiri. Dari sini sebenarnya sumber kemusyrikan itu datang,” jelasnya.

“Maka jauhilah perbuatan-perbuatan yang akan mendatangkan kemusyrikan,” imbuhnya lagi.

“Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan mengampuni dosa dari perbuatan hamba-Nya yang melakukan kemusyrikan,” tutup Ranuwijaya.

Kata Psikolog

Bukan hanya MUI, Stephani Raihana Hamdan selaku psikolog juga memberikan pendapatnya.

Sebagaimana ramai di media sosial belakangan ini, sejumlah publik figur mengadopsi spirit doll.

Bukan sekedar mengadopsi, bahkan. Mereka juga memperlakukan boneka tersebut layaknya bayi sungguhan.

Ivan Gunawan, salah satunya. Ia mengadopsi dua boneka bayi, kemudian memperkenalkan keduanya sebagai anak; Miracle dan Marvel.

Ivan, bahkan marah jika ada yang mengatakan bahwa anaknya hanya sebuah boneka.

Stephani bilang, perilaku tersebut dapat terjadi karena dua faktor.

Pertama, didorong oleh kebutuhan nurturing atau merawat memelihara seseorang pun sesuatu.

“Saya tidak menemukan riset untuk menjelaskan hal ini. Kelihatannya itu didasari oleh kebutuhan terkait dengan nurturing, terkait dengan kebutuhan merawat.”

“Karena memang pada dasarnya manusia memiliki kebutuhan ingin merawat generasi baru, dalam hal ini bayi,” kata ‪Stephani, Ahad (2/1/2022), mengutip CNN Indonesia.

Hanya Tren

Lalu, ia menjelaskan, bahwa kebutuhan nurturing pada manusia biasanya tersalur dengan memelihara atau merawat orang, hewan, pun barang.

Namun, lanjutnya, tiap manusia punya tingkat nurturing yang berbeda.

“Sebetulnya, nurturing ini bisa ke sesama manusia, dalam hal ini bayi, ke anak kecil, mengadopsi.”

“Atau bisa juga memelihara hewan, misalnya anak kucing, bisa juga memelihara tanaman, dari yang layu, lalu berbunga,” jelasnya.

Baca Juga:

Tingkat kebutuhan masing-masing individu juga berpengaruh dalam hal ini.

Misalnya, ada seseorang yang senang memelihara berbagai jenis hewan, ada pula yang senang merawat anak kecil, bahkan sampai mengadopsi meski sudah punya anak sendiri.

“Itu ‘kan dilakukan oleh orang-orang yang belum memiliki anak atau tidak memiliki anak usia tersebut, makanya ingin memenuhi kebutuhan tersebut,” kata Stephanie.

“Kedua, ya, saya melihat ini tren saja sih. [Jadi] Tidak akan long-lasting, tidak lama dan panjang,” imbuhnya.

Pasalnya, kata Stephanie, nurturing pada dasarnya senang memberi. “Melakukan sesuatu untuk satu makhluk, dalam hal ini makhluk hidup. [Jadi spirit doll] Ini hanya tren saja.”

Meski tidak melihat ada dampak negatif dari kebiasaan ini, Stephanie tetap menyayangkan perilaku tersebut.

“Yang pasti, kalau saya melihatnya seperti ini, waktu ‘kan terbatas, sebaiknya memanfaatkan waktu sebaik-baiknya,” ujarnya.

“Kalau sibuk hanya mengadopsi boneka yang itu mainan anak-anak, kalau anak kecil ‘kan mereka sedang melatih diri, belajar kreativitas, bermain peran,” sambung Stephanie.

“Kalau sudah dewasa, harusnya bisa mengalokasikan waktu ke hal yang positif,” imbuhnya lagi.

“Daripada mengadopsi boneka, mending bayi sungguhan, nanti tumbuh, jadi manusia berguna, kalau ini ‘kan tidak ada, larinya malah kesia-siaan,” pungkas Stephanie.