Berita  

Tabir Pelecehan Anak oleh Biarawan ‘Kelelawar Malam’ Akhirnya Tersingkap

Lukas Lucky Ngalngola Bruder Angelo Kelelawar Hitam
Lukas Lucky Ngalngola alias Bruder Angelo

Ngelmu.co – Akhirnya, tabir penggelap kasus pelecehan anak oleh biarawan Lukas Lucky Ngalngola (Bruder Angelo), tersingkap.

Berangkat dari pengakuan para korban, ia sudah bertahun-tahun menjalankan aksi biadabnya tersebut.

Sering kali, Angelo, bergerak di malam hari, saat anak-anak Panti Asuhan Kencana Bejana Rohani di Depok, Jawa barat (Jabar), tertidur.

Anggota Kongregasi Blessed Sacrament Missionaries of Charity (BSMC) yang berbasis di Filipina itu, mendapat izin mendirikan yayasan pada 2015.

Anak-anak melabeli Angelo, dengan ‘kelelawar malam’, karena gerak-geriknya tadi.

Meski beberapa anak panti dewasa berupaya berjaga-jaga di kamar, sesekali, mereka masih kecolongan.

Kuasa hukum korban, Judianto Simanjuntak, mengatakan bahwa Angelo, kerap kali melancarkan aksi bejatnya.

Salah satu kasus yang terungkap adalah pelecehan Angelo terhadap korban, di dalam toilet kantin pecel lele.

Saat itu, ia sedang makan bersama korban yang masih di bawah umur, kemudian Angelo mengajaknya ke toilet.

“Lalu, di situlah terjadi [pencabulan],” kata Judianto, Rabu (15/9/2021).

Bahkan, Angelo juga pernah melakukan pencabulan di dalam angkot, saat ia dan beberapa anak asuhnya hendak mencukur rambut.

“Lalu, ketika teman-teman [korban] sedang cukur rambut, mereka berdua masih di dalam angkot,” ungkap Judianto.

“Di situlah kesempatannya, tapi ada saksi yang melihat itu, si sopir angkot,” sambungnya.

Parahnya lagi, sebelum pelecehan terhadap sejumlah anak di panti asuhan yang ia kelola terbongkar, Angelo, sudah pernah mendekam di penjara.

Pada September 2019 lalu, seorang korban melaporkan Angelo ke polisi. Tak lama pasca laporan dibuat, ia pun ditangkap.

Sayangnya, setelah tiga bulan mendekam di penjara, ‘kelelawar malam’ itu bebas.

Sebab, polisi tak mampu melengkapi bukti serta berkas perkara untuk lanjut ke pengadilan.

Setelah keluar dari penjara, Angelo juga diketahui, membuat panti asuhan baru.

Baca Juga:

Namun, upaya para korban tidak berhenti. Mereka kembali melaporlan Angelo, pada 2020.

Kali ini, korban bergerak bersama masyarakat sipil, lantaran khawatir ‘kelelawar malam’ akan kembali melakukan pelecehan.

Syukurnya, untuk pelaporan kedua ini, polisi berhasil membawa kasus tersebut ke persidangan.

Sidang perdana yang beragendakan pembacaan dakwaan terhadap Angelo, berlangsung pada Rabu (22/9) lalu.

Ermelina Singereta selaku kuasa hukum para korban, mengatakan, diprosesnya Angelo ke pengadilan, adalah suatu pencapaian.

Mengingat sulitnya menjebloskan ‘kelelawar malam’ itu ke persidangan. Mereka butuh satu tahun, sejak laporan kepolisian dibuat.

“[Ini] Sejarah di republik ini, karena pelaku yang ditandakutipkan sebagai biarawan, bisa dibawa ke proses peradilan.”

Demikian kata Ermelina, di Pengadilan Negeri Depok, Rabu, 22 September 2021, mengutip Kompas.

“Itu sesuatu yang sangat luar biasa, dan ini terobosan yang luar biasa, yang dilakukan aparat penegak hukum,” imbuhnya.

Jaksa penuntut umum (JPU), mendakwa Angelo, dengan Pasal 82 ayat (2) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

Dalam beleid tersebut, Angelo, terancam hukuman 5-15 tahun penjara.

Ditambah sepertiga masa kurungan, karena ia merupakan pengasuh anak-anak yang ia cabuli.

Bukan yang Pertama pun Satu-satunya

Angelo alias ‘kelelawar malam’ bukan yang pertama dan satu-satunya.

Pelaku lain yang merupakan pengurus gereja di Depok, telah mendekam di penjara.

Pada Januari 2021, ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan menerima vonis 15 tahun penjara.

Ia adalah bekas pembimbing salah satu kegiatan di Gereja Herkulanus, Depok, Jabar, Syahril Parlindungan Marbun.

Menyelewengkan kekuasaan, Syahril, mencabuli sejumlah anak bimbingnya selama 20 tahun.

“Terbukti secara sah dan meyakinkan, bersalah, melakukan tindak pidana membujuk anak melakukan perbuatan cabul secara berlanjut.”

Demikian tegas Humas Pengadilan Negeri Depok, Nanang Herjunanto.

Foto: Twitter/berdoeritadjam

Kasus mulai berjalan setelah pihak berwajib menangkap Syahril, pada 4 Juni 2020 lalu.

Kepolisian bergerak, setelah korban serta pengurus gereja menggelar investigasi internal.

Mereka membicarakan keterlibatan Syahril, dalam kejahatan seksual terhadap anak-anak naungannya di kegiatan gereja.

Azas Tigor Nainggolan selaku pengacara korban, menyebut, ada lebih dari 20 anak yang menjadi korban kekerasan seksual Syahril, di gereja.

Dengan rentang waktu kejadian yang berbeda-beda, lantaran Syahril, telah membimbing mereka sejak awal 2000.

Parahnya lagi, Syahril juga pernah melakukan kekejian terhadap anak-anak di perpustakaan gereja.

Tepatnya pada awal 2020, Syahril, memanggil seorang anak didiknya (12), ke dalam perpustakaan.

Lalu, ia mengunci anak tersebut di sana, dan mencabulinya.

Tak hanya sekali. Syahril melakukan perbuatan hinanya kepada anak yang sama, sebanyak tiga kali.

Guntur yang merupakan ayah dari salah seorang korban, menyatakan, pasca menerima pelecehan, anaknya mengalami trauma.

Maka pihak gereja pun mengadakan konseling untuk memulihkan kondisi psikologis para korban.

Sebelumnya, Ngelmu telah mengulas fakta-fakta pencabulan Syahril, meliputi modus hingga ancaman yang ia buat.

Selengkapnya, baca di:

Pengakuan KWI

Jika mundur ke belakang, pada Desember 2019 lalu, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), sempat memberikan pengakuan.

Sekretaris Komisi Kerasulan Awam KWI Paulus Christian Siswantoko, membenarkan adanya pelecehan seksual oleh para rohaniawan Gereja Katolik di Indonesia.

Ia mengatakan, bahwa kasus tersebut menjadi persoalan tersendiri bagi pihak internal.

Siswantoko juga tidak menampik, jika ada segelintir kalangan rohaniawan yang belum memiliki kematangan pribadi.

Meskipun mereka telah melewati berbagai tahapan serta tingkatan pendidikan agama Katolik.

“Kadang kala, setelah melewati pendidikan sekian lama di seminari, seminari tinggi, mendapat pelajaran filsafat teologi, tapi tidak semua mempunyai kematangan pribadi.”

“Baik ketika setelah ditahbiskan, maupun sebelumnya, dan ini memang bagi kami, menjadi suatu koreksi juga,” tutur Siswantoko, Rabu (11/12/2019).

Namun, mengutip CNN Indonesia, saat itu ia belum punya data pasti, mengenai jumlah korban pelecehan seksual para rohaniawan gereja Katolik [seluruh Indonesia].

Siswantoko hanya bilang, data yang ia punya, baru berasal dari para informan yang mengaku pernah menjadi korban.

Setidaknya, saat itu ada 21 korban (seminaris dan frater), 20 korban (suster), serta 15 korban lainnya (kalangan awam).

“Untuk data valid dari seluruh Indonesia ‘kan belum,” ujarnya kala itu.

“Itu ‘kan data yang diambil ketika ada orang yang berkonsultasi,” imbuhnya. “Jadi itu ‘kan belum dapat dikatakan menggambarkan seluruh permasalahan di Indonesia.”

Seorang Pendeta di Surabaya

Pada Maret 2020, seorang pendeta di Surabaya, Hanny Layantara, juga dilaporkan ke polisi, karena mencabuli jemaatnya selama enam tahun.

Hanny Layantara

Mengutip BBC Indonesia, ia menggunakan kuasanya sebagai pemimpin gereja untuk melakukan perbuatan tersebut.

Kepala Bidang Humas Polda Jawa Timur (Jatim) Kombes Pol Trunoyudo Wisnu Andiko, buka suara.

Ia mengatakan, Hanny, melakukan pencabulan kepada IW, yang saat itu masih berumur 10 tahun.

Berdasarkan keterangan korban, tindakan pencabulan berlangsung dari tahun 2005, hingga 2011.

“Korban melapor langsung [ke polisi],” kata Trunoyudo, Ahad (8/3/2020).

Sementara JL yang merupakan juru bicara IW, mengatakan, kasus terbongkar, saat IW, hendak menikah.

Ketika tahu Hanny adalah pendeta yang akan memberkati perikahannya, IW pun menolak keras.

“Dari situ, terungkap praktik pelecehan seksual yang seharusnya tidak dilakukan oleh pemuka agama,” ungkap JL, Selasa (3/3/2020).

Polisi pun menangkap Hanny yang hendak kabur ke luar negeri, pada Sabtu (7/3/2020), di area Perumahan Pondok Tjandra, Waru, Sidoarjo.

Direskrimum Polda Jatim Kombes Pitra Andrias Ratulangi, mengatakan, pada saat korban remaja, orang tuanya menitipkan ia kepada Hanny.

Di masa itulah, pencabulan terjadi, baik di kamar Hanny, pun di ruang tamu (lantai 4) kediamannya.

“Kebetulan ‘kan tempat ibadah itu ada di situ juga, di kompleks yang sama,” jelas Pitra, mengutip Detik.

“Perbuatan itu bukan di dalam gereja, tapi di kamar tidur tersangka. Masih satu area,” lanjutnya.

Pada 21 September 2020, PN Surabaya menjatuhkan hukuman 10 tahun penjara kepada Hanny.

Lalu pada tingkat banding, diperberat menjadi 11 tahun penjara.

Hanny pun mengajukan kasasi. Namun, usahanya kandas, setelah Mahkamah Agung (MA), menolaknya pada Senin (12/4/2021).

Gereja Katolik Maria Bunda Karmel Paroki Tomang

Mengutip laporan Tirto dan The Jakarta Post pada Agustus 2020 lalu, banyak korban pelecehan seksual oleh seorang pastor, angkat bicara.

Pelaku adalah pastor di gereja Katolik Maria Bunda Karmel Paroki Tomang, Jakarta Barat (Jakbar).

Anna (korban yang meminta namanya disamarkan) menghubungi tim kolaborasi, sehari setelah laporan terbit.

Ia membeberkan pelecehan romo (H), terhadapnya, saat Anna masih menjadi siswa di Sekolah Katolik Sang Timur [sebelah Gereja Maria Bunda Karmel].

Pelecehan terjadi saat Anna, melakukan pengakuan dosa menjelang Natal dan Paskah.

“Biasanya, hanya ada dua pastor yang bertugas menerima pengakuan dosa ratusan murid,” tuturnya.

“Salah satu romo yang selalu bertugas adalah ia (Anna menyebut nama romo tersebut).”

Lalu, H meletakkan telapak tangannya ke arah dada Anna. “Pelan-pelan menggerakkannya naik-turun,” ungkapnya.

Saat itu, ia merasa bingung. “Saya ingat, bertanya-tanya sendiri, ‘Apakah itu sikap biasa saja, gestur tanda mengasihi kami yang bertahun-tahun datang mengaku dosa kepadanya?’,” jelas Anna.

Pelecehan itu terjadi tak hanya sekali, sampai Anna, lulus sekolah.

“Tiap kali meninggalkan ruang pengakuan [di kapel], saya bingung, tapi tidak tahu apa yang harus dipikirkan atau lakukan.”

Dalam waktu yang cukup lama, Anna, tidak pernah menceritakan pengalaman pahit itu kepada siapa pun, termasuk ibunya.

Sebab, ia berasumsi, ceritanya akan mudah dibantah, lantaran H, punya citra ‘tidak berbahaya, penuh kasih, dan sudah tua’.

Baru ketika usianya 23-24 tahun, Anna, mulai paham atas apa yang H perbuat adalah hal yang tak biasa.

Bukan sekadar gestur mengasihi. “Apa yang ia lakukan itu salah. Itu eksploitasi, manipulasi… It was an abuse,” ujar Anna.

Baca Juga:

Sekitar 10 tahun kemudian, ketika berkumpul dengan teman-temannya, Anna terkejut.

Pasalnya, ia mendengar dua dari empat temannya–dari Sekolah Sang Timur–mengalami hal serupa.

“Saya tahu, ada yang enggak benar dengan pendeta ini (H),” kata Anna.

“Dan selama bertahun-tahun, kita semua hidup dengan fakta dan kebenaran, bahwa ia telah menyalahgunakan kekuasaan dan otoritasnya.”

“And exploited the innocence of these Catholic girls [dan mengeksploitasi kepolosan gadis-gadis Katolik ini].”

Vivian yang juga minta namanya disamarkan, bahkan mengaku H, pernah mencium sudut bibirnya.

Tak hanya sekali, ketika memberikan berkat.

H memang terkenal selalu berada di selasar gereja tiap pagi, untuk memberikan berkat kepada murid-murid yang hendak masuk kelas.

“Mayoritas memang anak-anak SMA, karena itu memang jalan kita kalau mau masuk sekolah. Lewatin selasar itu.”

“Kalau anak TK, SD, SMP, enggak lewat situ,” beber Vivian, mengingat kejadian pahit, sekitar 2013 dan 2014.

“Romonya kadang cuma berkatin saja gitu, doa, dan bikin salib di kening.”

“Mostly, sambil megang pipi kita, gitu, pas doanya. Kadang, habis bikin salib, kening kita dicium.”

“Kadang pipi kanan, kiri. Nah, aku ada beberapa kali yang dicium pipi, tapi mepet ke bibir,” ungkap Vivian.

Awalnya, ia mengira ciuman itu hanya bentuk kasih sayang H terhadap anak-anak, karena telah berusia lanjut.

Meski canggung, Vivian tidak pernah menceritakan peristiwa itu kepada siapa pun.

Sampai akhirnya ia membaca laporan tim, dan mengetahui bahwa beberapa kawannya juga mengalami hal serupa.

Meskipun dalam kasusnya, H masih mengontak beberapa kali, seperti mengirim pesan, menanyakan kabarnya.

H juga bertanya, apakah Vivian sudah menikah, dan memintanya mengirimkan foto terbaru. Pesan terakhir, masuk pada Mei 2020.

Ternyata, beberapa teman Vivian, juga menerima pesan bernada sama dari H.

Tanggapan Romo Kepala

Anna dan Vivian pun langsung menyebutkan nama romo pelaku kepada tim kolaborasi.

Vivian menebak nama romo itu, karena modus pelecehan seksual yang dialami penyintas lain, serupa.

Sementara menurut Anna, “Cuma ia [menyebut nama], yang melecehkan saya. Cuma ia yang mencium teman-teman saya, sebelum mereka keluar ruang pengakuan [kapel].”

Februari 2020, saat tim mengonfirmasi kisah pelecehan yang dialami oleh korban lain, yakni Sisca dan Ellen [nama samaran], Andreas Yudhi Wiyadi selaku Romo Kepala Paroki Mari Bunda Karmel saat itu, membantahnya.

Menurutnya, tidak pernah ada laporan apa pun tentang pelecehan seksual oleh H, selama ia menjabat romo kepala.

“Kapel enggak pernah digunakan buat pengakuan dosa,” tuturnya.

Sedangkan Romo Kepala baru, yakni Krispinus Ginting, tidak merespons pertanyaan tim.

“Apakah ada tindakan yang diambil gereja, menyusul laporan pertama tim soal dugaan pelecehan seksual oleh Romo H?”

Lebih lanjut, H sebagai terduga pelaku, tidak mengangkat telepon tim yang berupaya mengonfirmasi.

H, hanya membaca pesan WhatsApp yang tim kirim.

Bagaimana dengan Kepala Ordo Karmel Romo Budiono?

Ia mengeklaim, bahwa dirinya selalu terbuka dengan laporan kekerasan seksual.

“[Korban] harus melaporkan langsung kepada kami (ordo), lengkap dengan nama dan alamat,” jelasnya.

Hal ini dinilai menyulitkan para penyintas, karena risiko identitas mereka terbuka.

Sangat besar juga kemungkinan menjadi korban untuk kedua kalinya, lantaran tidak ada jaminan keamanan dari gereja.

Respons Orang Tua

Kembali ke Vivian. Ia sempat memberi tahu perlakuan H terhadapnya, kepada orang tua.

Namun, orang tuanya justru berkata, perlakuan Romo H adalah hal ‘wajar’.

“Jadi, aku dulu percaya kalau apa yang dilakuin romo ini tuh normal, dan sebenarnya ia baik, penuh kasih sayang, dan lain-lain,” kata Vivian.

“Ternyata, beberapa temanku juga reaksi orang tuanya gitu. Mungkin itu juga yang bikin kami jadi ‘repress’ pengalaman ini,” imbuhnya.

Begitu juga dengan Anna. “Ibu saya tidak bereaksi persis seperti yang saya harapkan.”

“Bukan berarti saya tahu harus berharap reaksi apa dari ibu saya, tapi ia tenang, dan tanpa diduga, acuh tak acuh,” sambungnya.

Sang ibu percaya cerita Anna, tetapi ia tak tahu harus berbuat apa.

“Saat itu, ibu saya memberi tahu saya, bahwa ia mendengar cerita serupa dari salah satu tetangga kami yang putrinya sekelas dengan saya.”

Tim pun mengontak dokter spesialis psikiatri anak, Fransiska Kaligis, untuk bertanya.

Apa yang seharusnya orang tua perbuat, saat mendengar anaknya menerima pelecehan seksual.

Di mana dalam kasus ini, para penyintas remaja belum mampu pun paham untuk mendefinisikan tindakan H adalah pelecehan.

Saat kejadian, para penyintas hanya merasa aneh, canggung, dengan tingkah keliru Romo H, tetapi sulit mengungkapkan.

Fransiska Kaligis juga berpendapat, laporan pelecehan atau kekerasan seksual kepada anak, seharusnya ditindaklanjuti serius.

Demi meminimalkan dampak negatif yang kemudian muncul.

“Trauma seperti itu bisa memengaruhi anak melihat dirinya sendiri, orang lain, dan dunia mereka,” jelasnya.

Tim Tirto dan The Jakarta Post, menilai, fakta bahwa keempat penyintas mengisahkan peristiwa [dengan detail ingatan yang jelas] setelah 10-30 tahun, sebagai pengalaman traumatis.