Tanggapan Polri Tentang Konflik Pembangunan Masjid di Papua

Masjid Al Aqsha di Sentani, Jayapura, Papua

Ngelmu.co – Dilansir oleh Viva, Polri meminta kepada semua pihak untuk mengedepankan musyawarah dan dialog terkait dengan konflik tentang menara Masjid Al-Aqsha di Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua. Polri juga meminta Pemerintah Provinsi, Kota dan Kabupaten untuk melakukan dialog dengan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).

“Prinsipnya perbedaan itu harus diminimalisir dengan mengedepankan dialog. Pemprov, Pemkot, Pemkab dan wadah yang sudah ada seperti FKUB itu harus digunakan untuk dialog agar bisa menemukan solusi,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Humas Polri, Brigjen Pol Mohammad Iqbal di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin, 19 Maret 2018.

Iqbal menuturkan bahwa dialog tersebut bisa menjadi solusi untuk meminimalisir potensi-potensi konflik yang ada.

“Solusi itu untuk meminimalisir potensi-potensi yang negatif dan potensi konflik,” ucapnya.

Sementara itu, Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Pol Setyo Wasisto menyatakan bahwa masalah menara Masjid di Sentani ini sudah ditangani langsung oleh Kementerian Agama. Menurut Setyo, hal tersebut merupakan domain dari Kementerian Agama, sedangkan pihak kepolisisan mengantisipasi saja.

“Sedang dibicarakan. Pak Menag sudah turun tangan, jangan sampai memperkeruh dan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,” tandas Setyo.

Sebelumnya, Persekutuan Gereja-gereja di Kabupaten Jayapura (PGGKJ) menuntut menara Masjid Al-Aqsha di Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura dibongkar. Ketua Umum PGGKJ, Pendeta Robbi Depondoye menegaskan bahwa pembongkaran harus dilakukan selambat-lambatnya pada 31 Maret 2018, atau 14 hari sejak tuntutan resmi dilayangkan.

“Pernyataan ini kami sampaikan kepada pemerintah, baik Pemerintah Kabupaten Jayapura, DPRD, dan Polres Kabupaten Jayapura. Maka kami mulai hitung. Hari ini adalah hari pertama, sampai 14 hari ke depan,” ujar Robbi, Sabtu, 17 Maret 2018.

Robbi menyatakan bahwa tuntutan tersebut merupakan sikap resmi PGGKJ yang dirumuskan dalam Konferensi I pada 16 Februari 2018. Menurut Robbi, tuntutan dikeluarkan karena masyarakat di sekitar lokasi pembangunan masjid menyatakan ketidaksukaannya terhadap pembangunan menara masjid.

PGGKJ yang mewakili umat Nasrani di sana lantas mengeluarkan pernyataan sikap untuk direspons oleh pemerintah setempat, termasuk pihak yang membangun masjid. Robbi menuturkan bahwa masalah itu muncul ketika umat Narani mulai melihat bahwa ketinggian menara masjid melebihi gedung-gedung gereja yang ada di sekitar situ.

Robbi menyatakan alasan dari kenyataan bahwa Nasrani merupakan agama yang membuka keterisoliran Papua melalui para pengabar Injil pada 1911 dan harus dijadikan pertimbangan untuk menyikapi masalah ini. Selain itu, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otonomi Khusus Bagi Papua juga harus turut dipertimbangkan.

“Papua memiliki kekhususan,” ujar Robbi.

Robbi mengaku tidak mengetahui secara pasti pihak yang melakukan pembangunan masjid yang sudah berlangsung selama satu tahun ini. Robbi meminta pemerintah setempat untuk menyelesaikan masalah sesuai aturan serta cara-cara persuasif. Cara lain yang akan ditempuh jika dalam 14 hari belum ada titik temu penyelesaian masalah. Namun Robbi mengaku belum mau mengungkap maksud cara lain yang ia sampaikan tersebut.

“Kalau tidak mendapat tanggapan, maka jelas, dari apa yang menjadi keresahan masyarakat, ada langkah sendiri yang akan dikirim PGGJ. Kita masih memiliki cara lain. Ada cara lain yang akan kita lakukan. Tapi kita mengawalinya dengan, marilah kita gunakan cara-cara santun dulu,” ujar Robbi.