Berita  

Tanggapan Sosiolog tentang Fenomena Citayam Fashion Week

Sosiolog Citayam Fashion Week

Ngelmu.co – Sosiolog dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Dr Drajat Tri Kartono, menanggapi ‘Citayam Fashion Week’.

Fenomena di kawasan Sudirman, DKI Jakarta, yang sampai hari ini masih menarik perhatian publik.

Berawal dari remaja yang mayoritas berasal dari ‘SCBD’ alias Sudirman, Citayam, Bojong Gede, dan Depok.

Dengan gaya busana nyentrik, mereka meramaikan kawasan Sudirman Central Business District (SCBD).

Menurut Drajat, Citayam Fasion Week adalah salah satu bentuk kreativitas.

“Street fashion ini memang merupakan gejala yang muncul di berbagai dunia. Di Jepang, itu juga ramai di Korea.”

“Bahkan, di negara-negara Amerika dan Eropa,” tutur Drajat, seperti Ngelmu kutip dari Kompas, Kamis (21/7/2022).

Menurutnya, street fashion merupakan salah satu cara remaja untuk menonjolkan identitas mereka.

Melalui street fashion, mereka juga dapat menarik perhatian, hingga membuat orang-orang mengakui dirinya.

Namun, bukan hanya bentuk kreativitas, kerumunan yang berhasil mereka cipta lewat fenomena Citayam Fashion Week, juga bisa dimanfaatkan untuk berbagai hal.

“Nanti, crowd itu bisa dimanfaatkan untuk macam-macam. Termasuk para artis dan industri fashion,” ujar Drajat.

Ia juga memandang fenomena Citayam Fashion Week, sebagai urban subversif atau subversif perkotaan.

“Subversif di sini dalam artian, bahwa ada inisiatif, kreativitas, dan langkah nyata dari masyarakat yang tidak mendapatkan akses pada kebutuhan yang dibutuhkan.”

Lebih lanjut, Drajat menyampaikan, bahwa masyarakat membutuhkan pakaian yang bagus dan diakui.

Sayangnya, tidak semua pakaian itu bisa mereka dapat dengan harga terjangkau.

Menurutnya, beberapa masyarakat juga punya keinginan untuk mengikuti ajang mode seperti fashion show.

Namun, sebagian besar ajang mode dibuat secara selektif, yang artinya tidak semua orang bisa mengikutinya.

“Sehingga kemudian muncul-lah kreativitas-kreativitas dari yang memiliki kebutuhan, tapi tidak memiliki akses di situ,” kata Drajat.

“Kreativitas ini yang kemudian berkembang di jalan. Urban subversif itu berkembang di jalan, kemudian muncul-lah tampilan seperti Citayam [Fashion Week] ini.”

Drajat juga mengatakan, perkembangan kreativitas seperti Citayam Fashion Week, ada di tangan pemerintah setempat.

Baca Juga:

Pemerintah punya pilihan.

Menerima sekaligus memfasilitasi kreativitas tersebut sebagai bagian dari urban subversif, atau menganggapnya sebagai gangguan keindahan dan ketertiban kota.

“Kalau itu tidak [diterima], maka akan ada masalah-masalah terkait dengan penertiban dan masalah kota tadi,” sebut Drajat.

Sebaliknya, jika kreativitas diterima dan bahkan mendapat fasilitas, maka bisa menjadi ruang publik.

Tempat berkumpulnya para remaja dengan busana khas.

“Di samping lain, juga mulai menciptakan ekonomi-ekonomi kecil yang tumbuh di situ,” sambung Drajat.

Ia kemudian mencontohkan fenomena serupa yang bisa dibilang sukses, yakni penampilan anak-anak punk.

Menurutnya, anak-anak punk menampilkan gaya busana dan rambut yang nyentrik. Unik.

Namun, satu ciri khas dari anak-anak punk yang kemudian menjadi tren dunia adalah pakaian ketat.

“Jeans ketat dari anak-anak punk. Jeans ketat itu melambangkan sebuah kemandirian, kerja, dan gerakan yang cepat.”

“Itu kemudian diadopsi, dan ternyata bisa menjadi tren fashion,” ucap Drajat.

Jika Citayam Fashion Week mendapat dukungan, bukan tidak fenomena serupa akan tumbuh dan menjamur di kota-kota lain.

“Hadirnya kreativitas ini, kemungkinan akan muncul beberapa titik di Jakarta atau di pinggiran Jakarta.”

Di saat itu benar terjadi, tidak menutup kemungkinan akan memantik ekonomi.

Salah satunya dengan makin ramainya bisnis jual beli pakaian bekas [thrift shop].

“Ini akan saling support, saling mendukung di situ. Inilah yang akan berkembang, thrift shop, ya, istilahnya,” tutup Drajat.

Baca Juga:

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, ikut meramaikan fenomena ‘Citayam Fashion Week’.

Melalui akun Instagram resminya, @aniesbaswedan, ia mengunggah foto saat tengah melenggang di penyeberangan jalan; kawasan Dukuh Atas, Jakarta Pusat.

Anies yang tampak mengenakan setelan jas, kemeja, dan dasi, tidak sendiri. Ia berjalan bersama tamu-tamunya dari Uni Eropa.