Tegas, PKS Akan Tetap Tolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Ngelmu.co – Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI, tetap tegas menolak draf RUU Penghapusan Këkerasan Sëksual. Apalagi setelah masukan perubahan yang mereka sampaikan, tidak diakomodir.

Tolak RUU Penghapusan Këkerasan Sëksual

Hal ini disampaikan oleh Ketua F-PKS DPR, Jazuli Juwaini yang menyebut partainya sangat berkomitmen memberantas këjahatan sëksual.

PKS ingin ada perubahan nama RUU menjadi RUU Penghapusan Këjahatan Sëksual.

“Kita butuh undang-undang yang tegas dan komprehensif yang melandaskan pada nilai-nilai Pancasila, agama, dan budaya bangsa.

Bukan dengan peraturan yang ambigu dan dipersepsi kuat berangkat dari paham/ideologi liberal-sekuler yang sejatinya bertentangan dengan karakter dan jati diri bangsa Indonesia itu sendiri.

Istilah ‘Këjahatan Sëksual’ lebih memenuhi kriteria ‘darurat këjahatan sëksual’ yang sedang terjadi di masyarakat.

Lebih tepat untuk digunakan dibandingkan dengan istilah ‘Këkerasan Sëksual’.

Sehingga perlu untuk mengganti judul menjadi RUU Penghapusan Këjahatan Sëksual,” tegas Jazuli, seperti dilansir Detik, Kamis (7/2).

Soal lingkup tindak pidana këkerasan sëksual, dengan nama RUU Penghapusan Këjahatan Sëksual seperti usulannya, PKS ingin RUU tidak melebar ke isu-isu di luar këjahatan seksual.

Sehingga, fokus hanya pada tindak këjahatan sëksual, yaitu pemërkosaan, penyiksaan sëksual, penyimpangan perilaku sëksual, pelibatan anak dalam tindakan sëksual, dan insës.

Pembatasan tersebut, lanjut Jazuli, sekaligus memperjelas jenis tindak pidana dalam RUU, sehingga tidak membuka tafsir bebas sebagaimana yang dikritik masyarakat luas saat ini.

Ia juga memerinci kritik-kritik sejumlah definisi seperti yang tertuang dalam draf RUU Penghapusan Këkerasan Sëksual:

a. pëlecehan seksual

Didefinisikan pada Pasal 12 sebagai Këkerasan Sëksual yang dilakukan dalam bentuk tindakan fisik atau non-fisik kepada orang lain, yang berhubungan dengan bagian tubuh seseorang dan terkait hasrat sëksual, sehingga mengakibatkan orang lain terintimidasi, terhina, direndahkan, atau dipermalukan.

“Definisi tidak jelas dan bisa berekses pada tafsir sepihak dan digunakan untuk mengkriminalisasi kritik moral masyarakat atas perilaku menyimpang.

(1) Bisa mengkriminalisasi misalnya kritik masyarakat terhadap perilaku menyimpang LGBT.

(2) Mengkriminalisasi kritik terhadap gaya berpakaian muda-mudi bahkan sëks di luar nikah yang sudah demikian parah datanya.

Jangan hal-hal tersebut sampai dikriminalisasi atas nama pëlecehan sëksual.

Padahal sejatinya kritik tersebut justru menjaga moralitas generasi bangsa sesuai nilai-nilai Pancasila dan agama.

Bahkan semestinya RUU mengatur dengan tegas larangan perilaku menyimpang seperti LGBT,” kata Jazuli.

b. pëmaksaan abörsi

Didefinisikan pada Pasal 15 sebagai Këkerasan Sëksual yang dilakukan dalam bentuk memaksa orang lain untuk melakukan abörsi dengan këkerasan, ancaman këkerasan, tipu muslihat, rangkaian kebohongan, penyalahgunaan kekuasaan, atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan.

“Definisi ini jangan sampai dipahami bahwa abörsi menjadi boleh selama tidak ada unsur ‘memaksa orang lain’.

Tingkat abörsi di luar nikah sangat tinggi, antara lain sebagai ekses perilaku sëks bebas/sëks di luar nikah.

Untuk mencegah hal itu maka aturan pelarangan abörsi (kecuali alasan yang sah secara medis) harus diatur terlebih dahulu dalam RUU,” ujar Jazuli.

c. pëmaksaan perkawinan

Didefinisikan pada Pasal 17 sebagai Këkerasan Sëksual yang dilakukan dalam bentuk menyalahgunakan kekuasaan dengan këkerasan, ancaman këkerasan, tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau tekanan psikis lainnya sehingga seseorang tidak dapat memberikan persetujuan yang sesungguhnya untuk melakukan perkawinan.

“Definisi ini bisa ditafsirkan sepihak terhadap kearifan dalam kehidupan keluarga masyarakat beradat/budaya timur (relasi orang tua dan anak).

Sehingga memungkinkan seorang anak mengkriminalisasi orang tuanya yang menurut persepsinya ‘memaksa’ menikah.

Padahal bisa jadi permintaan/harapan orang tua itu demi kebaikan anaknya,” sebut Jazuli.

d. pëmaksaan pëlacuran

Didefinisikan pada Pasal 18 sebagai Këkerasan Sëksual yang dilakukan dalam bentuk këkerasan, ancaman këkerasan, rangkaian kebohongan, nama, identitas, atau martabat palsu, atau penyalahgunaan kepercayaan, melacurkan seseorang dengan maksud menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain.

“Definisi tindak pidana harus dilengkapi dengan pengaturan bahwa pëlacuran dan/atau perzinahan atas alasan apapun secara prinsip Pancasila dan Agama dilarang di republik ini. Sehingga secara otomatis pëmaksaan pëlacuran dan/atau perzinahan menjadi tegas terlarang,” tutur Jazuli.

e. përbudakan sëksual

Didefinisikan pada Pasal 19 sebagai Këkerasan Sëksual yang dilakukan dalam bentuk membatasi ruang gerak atau mencabut kebebasan seseorang, dengan tujuan menempatkan orang tersebut melayani kebutuhan seksual dirinya sendiri atau orang lain dalam jangka waktu tertentu.

“Definisi harus diperjelas agar tidak merusak tatanan lembaga perkawinan yang memiliki aturan/norma tersendiri secara agama, terutama dalam hal kewajiban serta adab-adab hubungan sëksual suami-istri yang sah,” tegas Jazuli.