Teka-Teki Jabatan Ma’ruf Amin, dan Senjata Makan Tuan MK

Ngelmu.co – Menanggapi perkara jabatan Cawapres 01, Ma’ruf Amin, ahli hukum administrasi negara, Dian Puji Simatupang menyebut anak perusahaan bukan merupakan bagian dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Namun, menurut Dian, ada inkonsistensi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam hal BUMN dan anak usahanya.

Sebelumnya, Paslon Nomor Urut 02 mengajukan gugatan sengketa Pilpres 2019 di MK, karena mempermasalahkan jabatan Ma’ruf di BNI Syariah dan Bank Mandiri Syariah.

Di kedua bank tersebut, ia menjabat sebagai Ketua Dewan Pengawas Syariah (DPS), yang salah satu tugasnya adalah memberikan nasihat serta saran kepada direksi, dan mengawasi kegiatan bank agar berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.

Tim Prabowo-Sandi menganggap, kedua bank itu merupakan bagian dari BUMN. Maka, jabatan Ma’ruf pun dianggap termasuk ke dalam pelanggaran Pemilu.

Karena, Undang-Undang Pemilu telah mengatur syarat administrasi pengunduran diri dari BUMN, ketika seseorang mendaftar Capres-Cawapres. Inilah yang dijadikan dasar, Ma’ruf harus didiskualifikasi dari Pilpres 2019.

“Pasal 227 huruf P UU Nomor 7 Tahun 2017 (tentang Pemilu) menyatakan seorang calon atau bakal calon dia harus menandatangani satu informasi atau keterangan di mana dia tidak boleh lagi menjabat satu jabatan tertentu ketika dia sudah sah mencalonkan atau ketika akan mencalonkan,” ujar ketua Tim Hukum Prabowo-Sandi, Bambang Widjojanto, di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (10/6), seperti dilansir dari CNN.

Sementara Dian mengatakan, status Ma’ruf sebagai Dewan Pengawas di BNI Syariah tidak mengganggu keabsahannya sebagai Cawapres.

Namun, mengajukan kasus ini dalam sidang sengketa Pemilu di MK, menurut Dian, menjadi langkah yang tepat, guna memperjelas status anak usaha BUMN dalam hubungannya dengan keuangan negara.

“Saya kira tepat, nanti bisa dijelaskan dan kemudian justru menjadi pelajaran bagi pemerintah dan aparat penegak hukum bahwa anak perusahaan bukan BUMN dan tidak ada urusan dengan negara,” tuturnya, Rabu (12/6) malam.

Seperti dalam Pasal 1 angka 1 UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, menyebutkan BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.

Sementara, BNI Syariah sebagai anak usaha BUMN diberi modal oleh BNI, tidak secara langsung dari APBN.

Melansir situs resminya, sebagian besar saham BNI Syariah memang dimiliki oleh PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (99,94 persen). Sementara sisanya dimiliki oleh PT BNI Life Insurance (0,6 persen).

Sedangkan saham sebesar 99,99 persen Bank Mandiri Syariah dimiliki oleh PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. Dan PT Mandiri Sekuritas memiliki saham sebanyak 0,0000002 persen.

Lebih lanjut Dian menyebut, gugatan ini bisa memperlihatkan inkonsistensi MK mengenai status keuangan BUMN, dan bisa menjadi senjata makan tuan bagi lembaga negative legislator tersebut.

“Kerumitan ini terjadi karena pemerintah dan aparat penegak hukum (MK) melakukan persepsi seperti ini. Jadi senjata makan tuan,” tegasnya.

Sebab, pada 2013 lalu, MK mengeluarkan dua putusan uji materi, berkaitan dengan status lembaga yang mendapatkan aliran dana tidak langsung dari negara.

Di mana dua uji materi itu mempersoalkan Pasal 2 ayat (1) huruf g dan i Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.

Huruf g mengatur keuangan negara meliputi kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah.

Sementara huruf i menyebut keuangan negara meliputi kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.

Dua uji materi yang diajukan ke MK itu, meminta pasal tersebut dinyatakan melanggar konstitusi.

Sebab, Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 tegas mengatur keuangan negara digunakan seluas-luasnya untuk kemakmuran rakyat, bukan membiayai pihak lain. Namun, MK justru menolak petitum tersebut dalam dua kali uji materi.

“Putusan MK Nomor 48 Tahun 2013 dan Nomor 62 Tahun 2013 dua-duanya mempersoalkan pendanaan dari BUMN, bukan menggunakan keuangan negara. Tapi diputuskan meskipun anak perusahaan, tapi mendapat dari keuangan negara, (perusahaan) itu adalah (bagian dari) negara,” jelas Dian.

“Putusan MK menyatakan apa pun urusan BUMN ke mana-mana bagian dari negara. Itu artinya, salah MK juga memutuskan sesuatu yang tidak sesuai dengan teori,” imbuhnya.

Di sisi lain, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari sudah menyatakan kedua bank yang masih mencantumkan nama Ma’ruf, merupakan anak perusahaan BUMN.

“BNI Syariah dan Bank Mandiri Syariah masing-masing adalah anak usaha, anak perusahaan BUMN,” pungkasnya.