Opini  

The 212 Power of Love, Antara Pesan Damai, Pelurusan Persepsi dan Ajang Introspeksi

Oleh Afifah Afra (Ketua Umum BPP FLP)

Alhamdulillah, akhirnya saya berkesempatan nonton film “212 The Power of Love” di hari pertama dan jam tayang pertama, pula. Bersama kakak, ibu mertua dan keponakan, serta si kecil Fatihan, kami meluncur ke CGV Transmart Solo.

Awalnya sempat merasa aneh saat melihat jadwal di aplikasi Gotix. Kok jadwal tayangnya “ajaib benar”, yaitu jam 10.40, jam 11.00 dan jam 13.00. Nggak ada jadwal sore? Padahal, banyak para pekerja yang ingin menyaksikan selepas jam kerja. Apakah ini hanya jadwal di Gotix saja? Penasaran saya cek ke website CGV, memang benar, 9 Mei 2018 hanya ada 3 jadwal itu. Namun sorenya, pas saya cek lagi ke website, ternyata jadwal ditambah satu lagi, jam 22.00. Alhamdulillah…

Saya bayangkan studio sepi. Soalnya saya pernah beberapa kali nonton film di hari pertama jam pertama, dan sunyi senyap. Ternyata tidak, banyak yang sudah antre menunggu jam tayang. Saat itu, memang masih jam 10.30. Cukup banyak yang antusias nonton di hari pertama. Kebanyakan ibu-ibu muda. Ada juga bapak-bapak, tapi sedikit. Wajar, jam kerja sih.

Akhirnya, film pun diputar. Di luar dugaan saya, 212 The Power Of Love ternyata minim nuansa politis, lebih banyak pendekatan humanis, dan mengkampanyekan Islam yang sebenarnya. Bahkan, nama Ahok tidak disebutkan sekalipun di film tersebut. Hanya disebutkan ada kasus pelecehan Al-Qur’an oleh seorang pejabat. Ini penting bagi saya. Sebab kita kan tidak tahu apa yang akan terjadi seseorang kelak.

Film ini juga sama sekali jauh dari propaganda parpol anti Jokowi, ataupun sebaliknya, mengangkat sosok Prabowo, sebagaimana yang dicurigai sebagian kalangan. Ini benar-benar film humanis, kisah tentang seorang ayah dan anak, yang mengambil setting gerakan 212 yang terjadi pada 2 Desember 2016 yang lalu.

Film ini berkisah tentang Rahmat (Fauzi Baadila), seorang wartawan hebat dari majalah Republik. Rahmat dikenal cerdas, maklum, lulusan terbaik Harvard University. Namun, dia dimusuhi banyak kalangan karena tulisannya yang miring tentang Islam. Dalam kenyinyirannya, dia menuduh banyak kaum politisi menunggangi alias mempolitisir gerakan Islam demi kekuasaan semat.

Uniknya, Rahmat memiliki sahabat si gondrong berewok Adhin yang eksentrik, namun justru pro Islam. Dengan celotehannya yang unik dan kadang lucu, Adhin sering berdebat keras dengan sahabatnya itu.

Tak disangka, Rahmat yang begitu benci kepada gerakan Islam yang dia anggap radikal dan konservatif itu, ternyata putera seorang Kyai yang memiliki pondok pesantren di Ciamis. 10 tahun Rahmat menyembunyikan dirinya, bahkan Adhin, teman dekatnya yang juga fotografer di Majalah Republik tidak tahu bahwa Rahmat masih punya keluarga.

Sampai suatu ketika, Rahmat mendapat kabar bahwa ibunya meninggal. Rahmat yang sangat mencintai ibunya pun pulang ke Ciamis bersama Adhin, sahabatnya. Di sanalah terkuak asal-usul Rahmat yang misterius.

Ada konflik sangat hebat antara Rahmat dengan Kyai Zainal, ayahnya. Konflik itu kembali pecah saat Rahmat pulang kampung. Apalagi setelah Rahmat tahu bahwa Kyai Zainal memimpin para santrinya untuk ikut aksi 212 yang dia anggap konyol itu. Namun, sehebat apapun konfliknya, Rahmat tak tega membiarkan ayahnya yang sudah tua dan sakit-sakitan melakukan long march ke Jakarta bersama santrinya.
Rahmat pun, meski dengan terus ngedumel dan sinis, mengikuti abah dan santrinya long march, dari Ciamis ke Jakarta, untuk mengikuti aksi damai 212.

Dalam perjalanan itu, sedikit demi sedikit terkuak, mengapa Rahmat sangat membenci abahnya, dan juga memiliki pandangan sinis kepada Islam. Namun dalam perjalanan itu pula, tak bisa dibohongi bahwa mereka ternyata saling menyayangi.

Rahmat adalah potret seorang pemuda modern yang logis, cerdas dan apatis, sekaligus mengalami kesunyian di tengah keramaian. Merasa sebatang kara, mendewakan logika, dan jauh dari spiritualitas.

Sulit bagi seorang Rahmat untuk memahami, mengapa ayahnya dan para santri harus melakukan long march hanya demi alasan yang menurutnya tak logis.

“Cinta, cinta, cinta… omong kosong!” begitu selalu Rahmat merutuk. “Ya, cinta memang kadang sulit dinalar, apalagi cinta kepada sang pencipta,” ujar Bibi Nurul, yang diperankan oleh mbak Asma Nadia.

Lalu, apakah Rahmat akhirnya menemukan apa itu “cinta” yang dia anggap omong kosong? Ah, tonton sendiri aja deh … Secara keseluruhan saya puas nonton 212 The Power Of Love. Akting Fauzi Baadila sangat ciamik, dan terlihat sangat dominan membawakan plot film ini. Narasi yang dibangun juga fokus, relatif utuh, tidak banyak bolong. Endingnya tidak lebai, tetapi cukup menarik. Inilah 2 keunggulan film 212 menurut saya.

Kelemahannya, eksplorasi peristiwa 212 kurang nendang. Kemeriahan 7 juta manusia yang berkumpul di satu tempat masih kurang terasa. Bahkan, tokoh-tokoh penting dalam aksi 212 tidak ada satu pun yang muncul. Sehingga, film ini kurang bisa menjadi dokumentasi sejarah 212. Tapi wajar, karena film ini memang bukan film dokumenter.

Tokoh Yasna vs Tokoh Abrar

Ada dua tokoh yang cukup menarik saya cermati dalam film ini, yakni Yasna (Meyda Sefira) dan Abrar (Hamas Syahid). Meski sama-sama aktivis dakwah, dan kakak beradik, keduanya memiliki karakter dan pemahaman yang berbeda. Abrar militan, keras dan mudah marah. Dia sangat membenci Rahmat dan beberapa kali hendak bentrok. Selain Abrar, Rahmat juga beberapa kali bentrok dengan para pemuda yang mirip Abrar.

Sementara, Yasna dan Bibi Nurul (Asma Nadia) memiliki pendekatan yang berbeda. Dia lembut penuh pencerahan. Dan dari sosok Yasna dan Bibi Nurul inilah Rahmat mendapatkan jalan hidayah. Barangkali, film ini ingin bertutur, bahwa pendekatan kekerasan justru akan membuat sosok seperti Rahmat semakin jauh dari keislaman. Padahal, Rahmat adalah sosok yang semestinya menjadi aset umat. Dia cerdas, hebat, keren!

Ya, mencoba menyelami karakter seperti Rahmat, saya akhirnya paham, mengapa sosok-sosok semacam dia akhirnya justru begitu sinis dengan gerakan Islam. Sikap mudah terbakar emosi yang ditampakkan oleh para aktivis muslim, juga pendekatan kekerasan, justru semakin menguatkan sikap fobia. Rahmat juga mengalami trauma dengan cara abahnya mendidik dia, konservatif, keras dan tidak memperlihatkan kelembutan seperti seorang ayah. Namun, dalam di ujung film ini akhirnya terkuak, mengapa sang ayah bersikap seperti itu kepadanya.

Selain merupakan film humanis yang sarat pesan damai, Film 212 The Power of Love ini bisa menjadi ajang introspeksi, buat para orang tua, para aktivis muslim, bahkan buat gerakan Islam sendiri.