Berita  

Tumpukan Masalah Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung

Tumpukan Masalah Proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung
Foto: Ilustrasi milik CNN Indonesia/Aria Ananda

Ngelmu.co – Aturan baru dari Presiden Joko Widodo (Jokowi), membuat banyak pihak menyoroti proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.

Belum lagi, fakta mengungkap tumpukan masalah di dalamnya. Molor dari target, hingga berpotensi membebani negara.

Lambannya Pembangunan

Pada awal pembangunan, pemerintah menargetkan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, rampung pada 2019.

Namun, sampai hari ini, proyek tersebut belum juga kelar. Target pun molor ke 2022 mendatang.

Kurang Cermatnya Perhitungan

Selaku salah satu anggota konsorsium yang terlibat dalam proyek, KAI, menghitung kereta cepat Jakarta-Bandung, perlu dana US$8 miliar [setara Rp114,24 triliun].

Angka tersebut lebih besar dari yang tertera dalam proposal Cina, saat menawarkan proyek itu ke Indonesia.

Tiongkok, menawarkan nilai investasi US$6,07 miliar, atau sekitar Rp86,67 triliun (kurs Rp14.280 per dolar AS)

Kebutuhan dana proyek juga meningkat, karena sampai 1 September lalu, Indonesia belum juga menyetor modal awal (Rp4,3 triliun).

Padahal, setoran sudah berlangsung sejak Desember 2020.

Bahkan, jumlah itu belum termasuk estimasi tanggung jawab sponsor dalam membiayai pembengkakan biaya (cost overrun), sebesar Rp4,1 triliun.

Maka KAI, mengajukan penundaan setoran ke Mei 2021.

Meski demikian, sampai hari ini, masih belum ada kejelasan dari konsorsium kontraktor High Speed Railway Contractors Consortium (HSRCC).

Baik mengenai penundaan setoran, pun permintaan restrukturisasi kredit proyek.

Aspek Keselamatan

Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, pernah menyebut bahwa proyek, mengabaikan aspek keselamatan.

Sebab, kereta cepat Jakarta-Bandung, akan berdiri di lahan labil dan rawan yang rentan longsor.

Makin berbahaya untuk jembatan dan terowongan bawah tanah.

Menurutnya, desain proyek juga belum mengantongi sertifikasi dari Komisi Keamanan Jembatan dan Terowongan Jalan.

Mengutip CNN Indonesia, Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga, belum lama ini juga mengonfirmasi masalah lahan itu.

“Ada masalah lahan, dan adanya perubahan desain, karena kondisi geografis dan geologis.”

Namun, dengan berbagai cara, proyek tetap berlanjut. Bahkan, Arya mencatat, progres akhir pelaksanaan proyek, hampir 80 persen.

Walaupun ia juga tidak merincinya.

Gunakan APBN

Berbagai pihak menyayangkan, karena pada akhirnya, Presiden Jokowi, mengizinkan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Padahal, ia pernah berjanji bahwa proyek ini tidak akan menggunakan dana APBN.

Atas dasar kebijakan itulah, pemerintahan Jokowi, juga memilih proposal dari Cina.

Dengan alasan, proposal Cina, memberi banyak keunggulan, seperti tawaran nilai proyek yang hanya US$5,5 miliar.

Dalam kata lain, lebih murah dari Jepang, yang menawarkan US$6,2 miliar.

Cina juga tidak meminta adanya jaminan pemerintah, pun pembiayaan dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).

Selain itu, Tiongkok menjanjikan, subsidi tarif dan pembengkakan biaya, nantinya menjadi tanggung jawab ‘joint venture company’.

Sementara Jepang, sejak awal meminta jaminan pemerintah, termasuk risiko.

Namun, Jokowi kini meralat janji tersebut melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 93 Tahun 2021.

Ia malah memutuskan, akan memberi suntikan dana negara untuk proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.

“Pendanaan lainnya dapat berupa pembiayaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.”

“Dalam rangka menjaga keberlanjutan pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, dengan memperhatikan kapasitas dan kesinambungan fiskal.”

Demikian penuturan Jokowi, dalam Pasal 4 ayat 2, Perpres 93/2021.

Bisa Jadi Beban Negara

Sebelumnya, Direktur Utama KAI Didiek Hartantyo, pernah memperkirakan kebutuhan dana yang bengkak.

Dari hasil kajian konsultan independen, hal ini bisa jadi potensi membebani keuangan negara.

“Apa yang akan terjadi dengan pola operasi kereta cepat ini, apabila dibiarkan seperti ini?”

“Kekhawatiran Bapak sekalian, akan membebani keuangan negara, persis akan terjadi,” kata Didiek.

Komunikasi Bermasalah

Masih menurut Didiek, komunikasi antara Indonesia dan Cina, juga kurang lancar.

Sebab, Wika selaku pemimpin proyek, sejatinya merupakan perusahaan konstruksi, bukan di bidang kereta api.

Namun, ia justru membangun proyek kereta cepat.

“Selama ini, komunikasi antara Indonesia dan Cina, tidak smooth. Sekarang bisa bayangkan lead proyek ini adalah Wijaya Karya.”

“Itu perusahaan konstruksi, sekarang yang dibangun kereta api,” kata Didiek.

Tumpukan masalah itulah yang akhirnya membuat Jokowi, mengubah kebijakan, dengan merombak konsorsium sekaligus membentuk komite percepatan proyek.

Dapat Bahayakan Pengguna Jalan

Proyek ini berjalan tanpa perhitungan yang matang. Sebagaimana PT KCIC [Kereta Cepat Indonesia China], membangun pilar LRT di KM 3+800.

Kementerian PUPR menilai, pembangunan pilar yang diduga berjalan tanpa izin itu berpotensi membahayakan keselamatan pengguna jalan.

Pihaknya juga membahas buruknya pengelolaan sistem drainase dari pengerjaan proyek tersebut, lantaran tidak dibangun sesuai kapasitas.

Problem yang kemudian membuat proyek, menimbulkan genangan air pada Tol Jakarta-Cikampek, hingga menyebabkan kemacetan.

Akhirnya–melalui Komite Keselamatan Konstruksi–Kementerian PUPR, sempat menghentikan pelaksanaan proyek.

Tepatnya, melalui penerbitan surat bernomor BK.03.03-Komite k2/25, yang dikeluarkan pada 27 Februari 2020 lalu.

Baca Juga:

Dampak Penggunaan APBN

Pada Selasa (12/10) ini, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, pun buka suara.

Ia mengatakan, pembangunan di daerah, utamanya di luar Jawa, masih perlu dana yang tak sedikit, khususnya dari APBN.

Pemerintah, kata Bhima, pada rentang 2014-2019, menargetkan pembangunan infrastruktur sistem penyediaan air minum (SPAM) di pedesaan.

Sebanyak 11,1 juta sambungan rumah, atau 22.647 desa.

Ada pula pembangunan 24 pelabuhan strategis untuk tol laut, senilai Rp243 triliun.

Belum lagi 13 kawasan industri serta sarana pendukung di luar Jawa, totalnya memerlukan anggaran hingga Rp55,4 triliun.

“Ini menjadi masalah, ketika proyek kereta cepat didanai oleh APBN. Berarti, bisa mengancam alokasi dana pemerintah di proyek-proyek yang ada di luar Jawa.”

Jebakan Utang

Bhima, membahas dampak berikutnya, adalah meningkatnya beban terhadap utang pemerintah–secara langsung pun tidak.

Meski konsorsium yang menerbitkan utang dengan jaminan pemerintah sekalipun, menurutnya, akan tetap ada risiko kontingensi [risiko yang muncul saat BUMN mengalami tekanan, serta berakibat kepada neraca anggaran pemerintah].

Hal itulah yang disebut sebagai jebakan utang alias debt trap.

“Dibuat proyek yang secara feasibility study atau studi kelayakan bermasalah, biaya proyek membengkak.”

“Kemudian ujungnya, pemerintah harus turun tangan. Akhirnya, kesulitan melanjutkan proyek ini, menyita pajak masyarakat, plus utang baru.”

Bahaya Bagi APBN

Meningkatnya beban utang, kata Bhima, tentu akan berbahaya bagi APBN, dalam jangka panjang.

Apalagi 2022, target defisit anggaran masih berada pada level 4,85 persen dari produk domestik bruto (PDB).

Sehingga pemerintah, juga harus menanggung pembayaran bunga utang Rp405 triliun.

Bhima menanyakan, apakah proyek kereta cepat ini sudah diperhitungkan dalam APBN 2022, atau belum.

“DPR diminta melakukan evaluasi dulu, sebelum menyetujui masuknya investasi pemerintah ke kereta cepat.”

“Bongkar dulu penyebab anggaran kereta cepat membengkak, kenapa?” saran Bhima.

Ia juga menyarankan, agar Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), melakukan audit, atau jika perlu, bentuk panitia khusus (Pansus).

“Jangan asal suntik proyek yang sebenarnya manfaat ekonominya kecil, dan akan jadi beban jangka panjang bagi fiskal negara.”

Indonesia Sentris: Ilusi

Lebih lanjut, Bhima menilai, janji pembangunan Indonesia sentris dari proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, hanya ilusi.

Menurutnya, jarak ekonomi antara Jawa dan luar Jawa, masih lebar, sebagaimana ketimpangan pembangunan infrastruktur.

Bhima juga menjelaskan, bagaimana pada kuartal ke-II 2021, kontribusi Jawa dalam PDB sebesar 57,8 persen.

Sementara Maluku dan Papua, hanya berkontribusi 2,4 persen, dan Kalimantan 8,2 persen.

“Ketimpangan ini tidak akan selesai, kalau Jawa yang jadi fokus pembangunan,” ujar Bhima.

Terutama konteks kereta cepat Jakarta-Bandung, yang dibangun ketika akses tol Cipularang, telah memadai bagi angkutan pun mobil pribadi.

Padahal, menurut Bhima, masalah jembatan di sebagian daerah luar Jawa saja, masih ada yang masuk kategori rusak dan rusak berat.

“Ini sangat tidak adil. Terlebih, pembangunan kereta cepat berorientasi bukan angkutan logistik, tapi angkutan massal atau penumpang.”

“Masalahnya ‘kan ada di biaya logistik yang mahal. Ini malah dibangun high-speed rail untuk penumpang kelompok menengah atas.”

“Jelas tidak nyambung,” pungkas Bhima, mengutip Kompas.