Ulama-ulama yang Dipenjara

Ulama-ulama yang Dipenjara

Ngelmu.co – Akhir-akhir ini, negeri kita tengah dihebohkan kasus yang mengkambinghitamkan para tokoh ulama. Begitu miris dan menyedihkan. Sejatinya mereka merupakan tempat untuk berkeluh kesah tentang masalah agama. Namun, mereka justru dipermasalahkan, bahkan dimasukkan ke dalam penjara.

Sebetulnya, ini bukanlah hal baru. Ada banyak ulama yang dipenjara demi menegakkan keadilan, kebenaran, dan mengkritik para penguasa. Mereka adalah para tokoh ulama yang tidak silau akan kegemerlapan duniawi. Yang benar akan dikatakan benar; dan yang salah akan dikatakan salah.

Hadits nabi mengenai keutamaan jihad kepada penguasa yang lalim dan tiran dipegang teguh oleh mereka. Akibat dari keteguhan ini, mereka bisa mengalami kriminalisasi dan penyiksaan. Adapun para ulama yang dipenjara serta dan menjadi korban kriminalisasi penguasa yakni sebagai berikut:

Sa’id bin Musayyab

Sa’id bin Musayyab bin Hazm bin Abi Wahb al-Makhzumi al-Quraisy adalah seorang tokoh ulama ahlis hadits dan alhi fiqih dari Madinah. Beliau pernah mengalami kriminalisasi ketika menolak baiat kepada putra Abdul Malik (al-Walid dan Sulaiman), sebagai ganti dari Abdul Aziz bin Marwan, akhirnya Hisyam bin Ismail, yang kala itu menjabat sebagai Gubernur Madinah, memberi sanksi 60 cambukan kepadanya, dan dipenjara. (Siyaru A`lâm An-Nubalâ, 5/130) Pada riwayat lain bahkan Sa`id diboikot, tidak diajak bicara (al-Thabâqatu al-Kubra, 5/128), bahkan hingga ia dicambuk (Siyaru A`lâm An-Nubalâ, 4/232).

Sa’id bin Jubair

Apa yang didapatkan oleh Sa’id bin Jubair lebih parah dari peristiwa Sa’id bin Musayyab. Sa’id bin Jubair yang merupakan seorang Tabi’in dipenggal kepalanya oleh Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqif, yang merupakan panglima ‘bertangan besi’ dari kekhilafaan Umawi, akibat beliau menentang khilafah Umawi bersama Ibnu al-Asy`ats (Wafayâtul A`yân, 2/373) Demi memegang kebenaran, ia tak gentar kalaupun pada akhirnya harus gugur.

Abu Hanifah

Abu Hanifah juga pernah mendapatkan kriminalisasi oleh penguasa. Pada zaman khilafah Abbasiyah, beliau dicambuk (Târîkh Baghdâd, 13/327) dipenjara oleh al-Manshur. Hal ini lantaran beliau menolak untuk dijadikan sebagai Qadhi (Siyaru A`lam An-Nubalâ, 6/401). Ketika era Dinasti Umawiyah, tepatnya ketika Marwan bin Muhammad menjadi penguasa.

Saat itu, Abu Hanifah ditawari jabatan sebagai hakim. Namun, tak mengiyakannya, beliau justru menolak jabatan tersebut. Akibatnya, di daerah bernama Al-Kinasah, beliau dicambuk seratus kali. Bahkan sebelumnya, ketika Sang Imam menampik tawaran Ibnu Hubairah menjadi pengurus Baitul Mal, akhirnya beliau pun dicambuk.

Tsufyan Ats-Tsauri

Serupa dengan kisah Abu Hanafi, Imam Sufyan Ats-Tsauri pun pernah berselisih dengan al-Mahdi, lantaran ia tak mau dijadikan Qadhi, hingga akhirnya ia lari ke Bashrah (Hilyatul Auliyâ, 40/7-41).

Malik bin Anas

Nasib yang menimba Imam Malik bin Anas, tidaklah lebih baik. Beliau mendapatkan cambukan karena membangkang pada perintah Abu Ja’far al-Manshur. Lantaran beliau tetap meriwayatkan hadit berikut ini:

“Tidak ada talak bagi orang yang dipaksa.” (Wafayâtul A`yân, 4/137).

Dalam sebuah buku berjudul “Ulama wa Umara” (1410: 181), Wahid Abdussalam Bali mengisahkan konflik antara Imam Malik dengan penguasa. Alkisah, Ja’far bin Sulaiman –sepupu Abu Ja’far Al-Manshur- berniat buruk kepada Imam Malik. Dituduhkan rumor bahwa beliau tidak mengakui kepemimpinan Ja’far Al-Manshur. Mendengar berita itu, telinga Abu Ja’far panas, lalu memerintahkan kepada tentaranya untuk mencabuk beliau.

Imam Syafi’i

Murid beliau, juga mengalami hal yang susah bersama penguasa. Imam Syafi`i dituduh sebagai pendukung Syi`ah oleh pendengkinya, Mutharrif bin Mâzin. Bahkan dia memprovokasi Khalifah Harun Ar-Rasyid untuk menangkap Imam Syafi`i dan orang-orang alawiyin. Diutuslah Hammad al-Barbari untuk menangkap Imam Syafi`i dan orang-orang alawiyin. Ia dirantai dengan besi bersama orang alawiyin dari Yaman hingga Raqqah, kediaman Harun Ar-Rasyid [Siyaru A`lâm al-Nubalâ, 8/273]. Bayangkan, betapa sengsaranya dirantai dengan besi dari Yaman hingga Baghdad.

Ahmad bin Hanbal

Murid beliau pun, Imam Ahmad bin Hanbal juga pernah mengalami nasib serupa, bahkan lebih menyakitkan. Beliau bukan hanya dicambuk, namun juga dipenjara selama 30 bulan oleh Ma`mun gara-gara tidak mengakui kemakhlukan al-Qur`an sebagaimana yang diyakini mu`tazilah (al-Kâmil fi at-Târîkh, 3/180).

Imam Bukhari

Imam Bukhari pernah memutuskan untuk pergi dari negerinya. Bukan tanpa alasan, hal ini beliau lakukan lantaran ia berusaha “Disingkirkan” oleh penguasa Dhahiriyah di Bukhara saat itu, Khalid bin Ahmad al-Dzuhali. Penyebabnya, Imam Bukhari menolak permintaan Khalid untuk mengajar kitab “al-Jâmi`” dan “al-Târîkh” di rumahnya. Bukhari beralasan, seharusnya yang butuh ilmulah yang mendatanginya, bukan ulama yang mendatangi yang butuh. Pada akhirnya, Bukhari meninggalkan negerinya (Târîkh Baghdâd, 2/33).

Imam Nawawi

Imam Nawawi adalah salah satu ulama yang berani terhadap penguasa. Semua itu beliau lakukan demi menegakkan keadilan dan kebenaran. Jika tidak mampu menghadapi secara langsung, beliau menyampaikan kritik dengan mengirim surat.

Suatu saat, akibat kritikan yang sangat sangat tajam kepada Sultan Dhahir Baibars, hampir saja Imam Nawawi dikriminalisasi dan disiksa. Kritik Imam Nawawi ini diarahkan kepada sang penguasa karena kasus Hauthah. Inti permasalahannya, kerika Dhahir berada di Damaskus -pasca kekalahan Tatar-, ia mempercayakan kepengurusan Baitul Maal kepada orang bermadzhaf Hanafi. Berdasarkan madzhab Hanafi, harta yang dikuasai Tatar (musuh), maka otomatis harta dikuasai penguasa. Lantas, Imam Nawawi dan ulama lain mengkritik pendapat tersebut. Dan kritik paling keras adalah yang disampaikan Imam Nawawi.

Sang Sultan pun marah besar, dan mengira bahwa Imam Nawawilah yang melakukannya demi kepentingan duniawi karena telah disingkirkan. Pada kenyataannya, beliau sama sekali tidak memiliki jabatan dan kepentingan akan dunia. Setelah kesalahpahaman ini berakhir, Imam Nawawi dicintai dan diagungkan oleh Sultan Dhahir Baibars. (al-Imaam al-Nawawi- Syaikh al-Muhadditsin wa al-Fuqahaa, 1995: 110, 111)

Ibnu Taimiyah

Nasib ulama lain yang tidak kalah susah adalah seperti yang dialami Imam Ibnu Taimiyah diadukan kepada Emir Humsh al-Afram, oleh orang-orang sufi. Sampai pada akhirnya karena dianggap membuat keresahan oleh para pembencinya, beliau pun dipenjara, dan mati di dalam penjara (al-Bidâyah wa al-Nihâyah, 14/41).

Baca Juga: Meski Difitnah dan Dipenjara, Buya Hamka Tetap Bersedia Jadi Imam Shalat Jenazah Soekarno

Itulah sederet ulama besar yang pernah didiskriminalisasi oleh apra penguasa. Salah satu yang bisa diambil dari mereka adalah ketegaran dan keberanian dalam membela dan menyampaikan kebenaran walaupun kepada orang yang berkuasa, apapun konsekuensi yang harus mereka terima.