Utang ‘Mengancam’ Generasi Mendatang, SWF Indonesia pun Berpotensi Gagal Menyelamatkan

Utang SWF INA BUMN Pemerintah Pusat
Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menteri BUMN Erick Thohir saat menggelar konferensi pers terkait perkembangan temuan 'MOGE' dalam pesawat yang melibatkan Dirut Garuda Indonesia Ari Ashkara. Foto: CNN Indonesia/Andry Novelino.

Ngelmu.co – Kebiasaan pemerintah dalam berutang dapat ‘mengancam’ generasi mendatang. SWF [Sovereign Wealth Fund] Indonesia atau INA [Indonesia Investment Authority] yang digadang-gadang mampu menyelamatkan pembangunan infrastruktur di tengah kian menggunungnya beban utang BUMN, juga berpotensi gagal.

Jumlah Utang Semakin Mengkhawatirkan

Jumlah utang pemerintah pusat, semakin mengkhawatirkan. Sampai Februari 2021, totalnya telah mencapai Rp6.361,02 triliun.

Angka tersebut setara dengan 41,1 persen dari PDB [produk domestik bruto].

Pada Januari 2020, besaran jumlahnya baru Rp4.817 triliun yang artinya setara 30,21 persen dari PDB.

Maka angka di tahun ini, jelas melonjak drastis.

Ekonom dari Core [Center of Reform on Economics] Indonesia Yusuf Rendy Manilet, mengatakan, kebiasaan berutang pemerintah, akan membebani generasi mendatang.

Sebab, dengan demikian, pemerintah dituntut mendorong berbagai sumber penerimaan pajak.

“Efeknya adalah pada pengejaran pajak warga negara, akan lebih gencar,” kata Rendy, mengutip Koran Tempo, Senin (29/3).

Nantinya, suka tak suka, mau tidak mau, masyarakat harus menanggung beban utang itu bersama-sama.

Hingga pada akhirnya, menggerus pendapatan serta anggaran konsumsi.

“Padahal, konsumsi menjadi penopang pertumbuhan ekonomi,” tutur Rendy.

“Sehingga risiko utang dalam jangka panjang ini, perlu menjadi perhatian,” tegasnya.

Pandemi Tak Lagi bisa Jadi Alasan

Ekonom Indef [Institute For Development of Economics and Finance] Bhima Yudhistira Adhinegara juga buka suara.

Ia memang menyebut, kenaikan besar utang di tengah pandemi dan krisis berkepanjangan, sebagai hal yang wajar.

Namun, meningkatnya utang Indonesia, telah tercatat sejak sebelum pandemi COVID-19.

“Pandemi tidak lagi bisa menjadi alasan. Fenomena gali lubang tutup lubang semakin dalam, akibat pengelolaan utang yang ceroboh,” kritik Bhima, Ahad (28/3) kemarin.

Jika utang terus menumpuk, menurutnya, Indonesia berpotensi terjebak dalam situasi ‘debt overhang’ [jumlah utang membesar, tetapi sumber pembayaran tidak mencukupi].

“Jadi, utang justru berdampak negatif ke pertumbuhan ekonomi. Alih-alih sebagai pengungkit,” ujar Bhima.

Akhirnya, mengembalikan pertumbuhan ekonomi ke jalur positif juga akan menjadi sulit.

Maka risiko jangka panjang menumpuknya utang, tidak dapat dipandang sebelah mata.

Sebab, tekanan utang, kata Bhima, bisa mengorbankan kesejahteraan serta perlindungan sosial bagi generasi mendatang.

“Anggaran untuk pendidikan atau perlindungan sosial bisa dikorbankan, karena ada kebutuhan untuk membayar bunga utang dan pokoknya.”

Prediksi Warisan Utang Pemerintah

Ekonom senior Indef Didik J Rachbini, sebelumnya juga menyoroti terus membesarnya jumlah utang pemerintahan Presiden Jokowi.

Jika kondisi ini berlanjut, ia memprediksi, di akhir periode nanti, Indonesia akan kewarisan utang dari pemerintah dan BUMN, sebesar Rp10.000 triliun.

“Ini menghitung pertambahan utang pemerintah dan BUMN yang saat ini totalnya sekitar Rp8.500 triliun.”

“Ini belum selesai pemerintahannya, kalau sudah selesai, diperkirakan menjadi Rp10 ribu triliun utang di APBN.”

Demikian tuturnya, dalam diskusi daring bertajuk, ‘Kinerja BUMN dan Tumpukan Utang‘, Rabu (24/3) lalu, mengutip kanal YouTube Indef.

Ia pun membandingkan, utang pemerintah di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dengan era Presiden Jokowi.

Pemerintahan SBY, mewariskan utang sebesar Rp2.700 triliun, dan BUMN pada masa itu berutang Rp500 triliun.

“Jadi, ini rezim utang yang kuat sekarang. Saya sebutnya, penguasa raja utang,” kata Didik.

Pernyataan Menkeu Sri Mulyani

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, menyebut bahwa hingga akhir Februari 2021, pemerintah telah menarik utang sebesar Rp273 triliun.

Angka tersebut meningkat 135,4 persen dari Februari 2020 lalu yang hanya Rp116 triliun.

Realisasi utang itu, kata Sri Mulyani, juga sejalan dengan pelebaran defisit APBN 2021 yang ditetapkan sebesar 5,7 persen [Rp1.006,4 triliun].

“Penerbitan surat berharga negara (SBN) melonjak secara neto, hingga Rp271,4 triliun.”

Selama ini, mayoritas pembiayaan APBN memang banyak bersumber dari SBN [dibanding sumber lainnya].

“Kami melihat, ini masih on the track, meski dari sisi volatilitas pasar, [SBN] harus terus dijaga.”

Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman pun menyampaikan total SBN.

Diterbitkan dengan denominasi rupiah berjumlah Rp4.235,55 triliun, atau setara 66,59 persen dari total utang.

Dengan nilai SBN valuta asing yang mencapai Rp1.263,08 triliun, sedangkan total pinjaman pemerintah saat ini berjumlah Rp862,38 triliun.

Di mana hanya Rp12,51 triliun yang berasal dari pinjaman dalam negeri. Adapun rincinya, sebagai berikut:

  • Rp331,64 triliun dari pinjaman bilateral;
  • Rp473,4 triliun dari lembaga multilateral; dan
  • Rp45,31 triliun dari bank komersial.

SWF Indonesia Berpotensi Gagal Menyelamatkan

Menteri BUMN Erick Thohir, Menteri Keuangan Sri Mulyani, hingga Presiden Jokowi, sepakat bahwa SWF Indonesia, dapat menyediakan alternatif pembiayaan.

Sehingga perusahaan pelat merah, tidak melulu harus memupuk utang.

Seperti dalam webinar ‘Peluang Pendanaan SWF untuk Percepatan Pembangunan Infrastruktur Transportasi di Indonesia‘, Kamis (4/3) lalu.

Mengutip kanal YouTube Balitbanghub151 Channel, Sri Mulyani mengatakan, “Kami akan menggunakan instrumen di bidang LPI atau INA.”

“Sebagai salah satu wadah bagi kolaborasi melanjutkan pembangunan, dengan melalui ekuitas atau mengurangi eksposur utang.”

Baca Juga: Ekonom Senior Prediksi Pemerintah Jokowi Wariskan Utang Rp10.000 Triliun di Akhir Periode

Merespons hal ini, Fitch Ratings selaku lembaga pemeringkat utang, menilai cita-cita tersebut dapat saja terwujud.

Dengan memberi dukungan permodalan, INA, dapat mengurangi tekanan BUMN untuk menambah utang.

INA juga bisa mengambilalih sejumlah proyek serta aset yang saat ini harus dikelola oleh sejumlah BUMN.

Namun, sayangnya hal tersebut tidak akan mudah. Pasalnya, Fitch menilai, modal yang INA punya, cukup terbatas.

Per akhir 2021 nanti saja, baru akan mencapai Rp60 triliun. Sangat jauh jika dibanding total utang BUMN yang terlibat berbagai proyek [konstruksi, jalan tol, hingga migas].

Seperti per September 2020, utang BUMN konstruksi mencapai Rp170 triliun.

Sedangkan yang bergerak di migas, yakni PT Pertamina, per Juni 2020, mencapai Rp300 triliun.

Ini belum termasuk tetap tingginya keinginan pemerintah untuk membangun infrastruktur dalam beberapa tahun ke depan.

Padahal, ketimbang seluruh proyek yang ingin dikejar, kontribusi anggaran negara masih kecil.

Jelas, hal ini akan membuat bantuan modal dari INA, bisa langsung terkikis, karena penyalurannya terserap proyek infrastruktur baru.

Fitch juga memprediksi, penurunan utang BUMN hanya akan terjadi di bidang tertentu.

Itu pun dengan catatan. Bergantung pada keputusan strategis perusahaan yang bersangkutan.

Butuh Waktu Panjang

Fitch juga menilai, kemampuan INA, dalam menarik investasi atau modal asing, masih perlu waktu untuk berkembang.

Kemampuan tersebut baru akan membaik dalam jangka panjang, bersamaan dengan munculnya rekam jejak pendanaan serta pengelolaan [pegangan bagi investor].

“Peluncuran INA, kemungkinan tidak akan menghasilkan penurunan tingkat utang pada BUMN dalam waktu dekat,” tulis Fitch Ratings, Senin (22/3) pekan lalu.

Respons Core Indonesia

Direktur Eksekutif Core Indonesia Mohammad Faisal, menilai dugaan Fitch, bisa saja benar.

Sebab, model SWF INA, menurutnya, memang tidak dapat menanggung target infrastruktur sebanyak yang pemerintah ingin.

Berdasarkan RPJMN [Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional] 2020-2024, total kebutuhan dana infrastruktur saja mencapai Rp6.445 triliun.

Maka idealnya, kata Faisal, pemerintah mengkaji ulang kebutuhan infrastruktur.

Evaluasi tersebut menjadi perlu, guna menyesuaikan dengan kemampuan pembiayaan SWF yang baru saja dibentuk.

Terlebih, pemerintah juga berharap bisa menurunkan paparan utang pada BUMN, perlahan.

Mengapa demikian? Pasalnya, desain INA, tidak memiliki kemewahan sebagaimana SWF di negara lain.

Permodalan mereka ditopang oleh surplus ekspor migas, sumber daya alam, sektor keuangan, hingga bank sentral.

Sementara INA, menitikberatkannya kepada pencarian modal dari eksternal yang membutuhkan waktu.

Siklus utang BUMN yang menggunung, jika tidak hati-hati, akan terus terulang, bahkan kian memburuk.

Susah payah pemerintah membentuk SWF, akan menjadi tidak berarti, jika target infrastruktur pemerintah terlalu tinggi.

“Beban pembangunan infrastruktur harus realistis dengan kemampuan pendanaannya,” tegas Faisal, mengutip Tirto, Kamis (25/3) lalu.

Beban Utang BUMN Terlalu Tinggi

Peneliti dari Center of Macroeconomics and Finance Indef Deniey A Purwanto juga mengingatkan.

Bahwa, sebelum pandemi, beban utang BUMN, sudah terlalu tinggi. Tren tersebut juga terus meningkat, sejak beberapa tahun terakhir.

Data SUSPI [Statistik Utang Sektor Publik Indonesia] dari BI, mencatat utang BUMN–bukan lembaga keuangan–sebagai berikut:

  • Rp581,33 triliun (Q3 2016);
  • Rp609,57 triliun (Q3 2017);
  • Rp804,56 triliun (Q3 2018);
  • Rp1.019,55 triliun (Q3 2019); dan
  • Rp1.140,66 triliun (Q3 2020).

Rasio debt to asset, khusus BUMN konstruksi juga solvabilitas [kemampuan membayarnya terus memburuk].

  • 2016, rasionya 67,88;
  • 2017, rasionya 74,44;
  • 2018, rasionya 75,66; dan
  • 2019, rasionya 74,24.

Perlu digarisbawahi, semakin mendekat ke angka 100, maka rasio solvabilitas, semakin mengkhawatirkan [utang hampir setara 100 persen aset].

“Utang sudah di atas batas wajar. Perlu kebijakan bagaimana meminimalisir utang ke depan,” jelas Deniey, Rabu (24/3).

Penyelesaian masalah utang, lanjutnya, juga perlu berjalan baik, karena ke depannya pun akan menjadi beban pemerintah.

Entah tersedotnya uang yang beredar untuk pembayaran utang, atau bahkan kewajiban untuk merestrukturisasi utang yang telah lewat batas [menghambat fokus kegiatan lain yang lebih produktif].

Pemerintah sendiri, dalam dokumen Nota Keuangan dan APBN 2021, memasukkan risiko dari BUMN dalam pembangunan infrastruktur.

Begitu pun keterlibatan pemerintah dalam penjaminan pembangunan infrastruktur, sebagai ‘berisiko serius’.

Lebih lanjut, dalam peta risiko fiskal, dari skala 0-5, keduanya diberi nilai 4, pada kategori dampak [setara dengan risiko kerugian akibat bencana alam].

Meskipun potensi kejadian pada tiga risiko tersebut diberi nilai 2, dari skala 0-5 yang cukup moderat.

“Kalau tidak ada upaya menahan laju pertumbuhan utang, beban perekonomian akan semakin besar,” pungkas Deniey.