UU Ciptaker: Terburu-buru Hingga Tidak Masuk Akal

Tolak Omnibus Law Cipta Kerja
Para buruh di Bandung, menyuarakan penolakan terhadap disahkannya UU Cipta Kerja, Kamis (8/10).

Ngelmu.co – Sudah hampir sepekan sejak pengesahan, Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker), masih terus memanen penolakan. Selain terkesan terburu-buru, Omnibus Law ini, juga dinilai tidak masuk akal.

Pembahasan yang Sangat Cepat

Penilaian itu mereka sampaikan di acara Mata Najwa, bertajuk, ‘Mereka-reka Cipta Kerja’, Rabu (7/10) lalu.

Sebagai ‘tuan rumah’, Najwa Shihab, menyuarakan apa yang menjadi sorotan para penolak Omnibus Law Ciptaker.

“Pembahasannya memang sangat cepat. Kurang mengambil masukan-masukan secara umum. Sudah ada, tapi masih kurang banyak,” kata anggota Badan Legislasi DPR dari fraksi PKS, Ledia Hanifa Amaliah.

“Mengatur 79 UU, tidak gampang. Ada banyak hal yang harus terkait satu sama lain. Ini akan jadi kesulitan nantinya,” sambungnya.

“Misalnya, pada pembahasan tingkat satu, kita belum menerima draf-nya, masih dirapikan terkait hal-hal teknis,” akuan Ledia.

Tak Penuhi Prinsip Tata Cara Perundang-undangan

Sementara Direktur Eksekutif Lokataru, Haris Azhar, menilai Omnibus Law Ciptaker, sebagai kecurangan legislatif.

“Ini kecurangan legislatif. Sejak awal (proses RUU), tidak memenuhi prinsip-prinsip tata cara perundang-undangan,” tegasnya.

“Salah satunya soal konsultasi, mengukur problem sosiologis. Itu harus turun ke masyarakat dan ketemu para ahli,” kritik Haris.

“Yang terjadi, yang muncul adalah sikap tertutup. Kami dapat info dari tim di DPR, kalau ada yang membagi-bagikan draf, mereka akan dapat hukuman dari Satgas RUU-ini sendiri,” ungkapnya.

“Kalau sampai hari ini masih banyak yang tidak tahu draf mana yang dibahas, ini karena memang (prosesnya) sudah cacat sejak awal,” kata Haris.

“Ini akan menghasilkan sesuatu yang membahayakan bagi negara,” ujarnya, miris.

Tidak Masuk Akal

Soal alasan di balik lahirnya Omnibus Law Ciptaker, Ekonom Faisal Basri, mengaku tak sepakat dengan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Bahlil Lahadalia.

“Tidak ada masalah mendasar soal investasi kita. Investasi di Indonesia, baik-baik saja,” jelas Faisal.

“Pertumbuhan investasi kita, lebih tinggi daripada Cina, Malaysia, Brazil. Hampir sama dengan India, hanya di bawah Vietnam,” imbuhnya.

Investasi terhadap PDB, Indonesia, saat ini juga yang tertinggi sepanjang masa pemerintahan Jokowi.

“Tertinggi di Asean, investasi terhadap PDB. Jadi, tidak ada masalah dengan investasi Indonesia,” kata Faisal.

“Masalahnya adalah investasi banyak, hasilnya sedikit,” sambungnya.

“Ibaratnya, kita itu makan bergizi, tapi berat badannya enggak naik, karena banyak cacing korupsi, bikin investor luar negeri sakit kepala, dan birokrasi pemerintah tidak efisien,” lanjutnya lagi.

Sebelum adanya UU Ciptaker, kata Faisal, investor Korea Selatan, akan datang.

“Sekarang Pak Luhut, track investor dari Cina. Investasi enggak masalah, kok, jadi enggak masuk akal,” kritiknya.

“Ini Kenapa Omnibus Law Lahir”

Bahlil, sebelumnya membantah penilaian Haris, yang mengatakan Omnibus Law, merupakan kepanikan dana serta kegagalan pemerintah dalam mengelola negara.

“Kalau dibilang kegagalan, ini keliru juga. Pemerintah melihat kondisi tujuh juta yang siap mencari pekerjaan sebelum pandemi,” jawabnya.

“Sekarang hampir 16 juta. Maka instrumen, masuk untuk menciptakan lapangan kerja melalui investasi,” imbuh Bahlil.

“Investasi yang masuk, problem kita adalah ego sektoral, aturan tumpang tindih antara daerah, upah buruh yang kenaikannya tiap tahun tinggi, ini kenapa Omnibus Law, lahir,” jelasnya.

Adanya ‘Pelolosan’

Kembali ke Ledia, meski mengaku ikut memeriksa, ia mengungkapkan adanya keterbatasan tim perumus, untuk sekian banyak UU.

“Jadi, masih ada pelolosan-pelolosan. Pada saat pembahasan tingkat satu, harusnya drafnya sudah diterima. Tidak bisa diserahkan pada dua orang saja,” jelasnya.

“Ini pelajaran untuk kita semua (DPR), untuk melakukan sinergi (peraturan) satu dengan lainnya, itu jadi PR besar,” akuan Ledia.

Menjawab kritikan, Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Supratman Andi Agtas, mengatakan jika Rapat Panja, kali ini menjadi yang pertama–dari awal sampai akhir–dapat di-akses publik.

Namun, Haris, kembali menjawab, “TV Parlemen itu bukan alat untuk menguji. Naskah akademisnya, mana? Konsultasi publiknya, mana? Orang minta dokumen tidak dikasih.”

“Kalau dia (Supratman) hanya bicara kepentingan parlemen dan partai saja, ya, silakan saja,” kritiknya.

“Tapi ini UU tidak berlaku untuk dirinya saja, tapi ini berlaku untuk 260 juta lebih masyarakat,” tegas Haris.

Suara Internal Kementerian

Lebih lanjut, Ledia menyampaikan, “Banyak internal kementerian mengaku merasa, ‘harusnya tidak begini’.”

“Banyak yang merasa enggak nyambung. Saya tidak tahu seberapa jauh kementerian diajak bicara soal RUU ini,” jelas Ledia.

“Kita tidak boleh lupa, ketika ada (isi RUU) yang diubah, itu mengubah konstruksi awalnya. Ada hal-hal yang belum selesai (dibahas) di internal pemerintah,” imbuhnya.

Ledia, juga membahas soal outsourcing yang ada di UU 13/2003.

“Mengatur apa saja yang dibolehkan. Tapi pengaturannya di Omnibus Law, tidak dijelaskan,” ujarnya.

“Lalu berapa lama mereka boleh diperpanjang? Kalau tidak diatur, ini ada kesan boleh terus-terusan (dikontrak),” kata Ledia.

“Cuti yang tidak ada (dalam Omnibus Law) itu cuti panjang. Kalau di UU lama, itu setelah bekerja enam tahun, ada cuti panjang… juga tidak ada soal istirahat dua hari dalam sepekan,” jelasnya.

Ledia juga menyinggung, hilangnya pembahasan soal santunan meninggal dunia, serta jaminan pensiun.

“Semua harus dilucuti, dan pengusaha, tidak semua setuju dengan ini,” bela Faisal.

“Kalau kita ingin investasi, maka hentikan cara Pak Luhut, membawa tenaga kerja Cina, dengan ribuan orang pakai visa kunjungan,” sambungnya.

Kesadaran Publik Meluas

Selain nasib buruh, Haris Azhar, juga membela petani hingga mereka yang bekerja di kebun.

“Kita mau menghargai marwah pekerja atau tidak? Ini bukan cuma soal buruh,” tegasnya.

“Bagaimana dengan petani? Orang yang bekerja di kebun, yang semua digondol lewat Omnibus Law, ini?” tanya Haris.

“Kesadaran publik makin luas, bahwa pengelola negara, makin ugal-ugalan,” lanjutnya.

Haris, juga meminta agar pemerintah meminta para penolak Omnibus Law, membawa masalah ini ke Mahkamah Konstitusi (MK).

“Hentikan perdebatan soal Omnibus Law, dan membawanya ke judicial review. Mayoritas (hakim) di MK, akan memenangkan Omnibus Law,” kritiknya.

“Teruslah bergerak di jalanan, masyarakat adat, buruh, anak muda yang terancam oleh UU ini,” pesan Haris.

“Baru tekananan-tekanan itu bisa dikondisikan di MK, tapi jangan menyuruh tidak ikut demo, lalu (langsung) disuruh judicial review,” pungkas Haris.

Baca Juga: INDEF Nilai Pernyataan Jokowi soal UU Cipta Kerja Tak Jawab Persoalan

Selain Ledia, Haris, Bahlil, Faisal, dan Supratman, pada diskusi itu juga hadir Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia, Hariyadi Sukamdani.

Diketahui, dari sembilan fraksi DPR RI, tujuh di antaranya, yakni PDIP, Golkar, Gerindra, NasDem, PKB, PAN, dan PPP, menyetujui pengesahan UU Ciptaker.

Sementara dua lainnya yang tegas menolak adalah PKS dan Partai Demokrat.