Opini  

UUD NRI 5.0, PKS The Guardian Of Democracy

Ngelmu.co – Bambang Soesatyo (Bamsoet), Ketua MPR RI sepertinya sepakat dengan Ian Shapiro (1996) yang meyakini “Democracy is an ideology of opposition as much as it is one of government”.

Oleh karenanya, Bamsoet, kemarin (26/11/2019), bertandang ke markas parpol yang saat ini disebut Kang Eep Saefullah Fatah menjadi “Market Leader” oposisi di Indonesia; Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Kredit positif untuk Bamsoet, sejak dilantik sebagai pimpinan MPR RI beliau terus safari tokoh dan parpol untuk berdialog tema amandemen ini.

Kali ini menjadi unik, karena oposisi dan PKS cukup siap dalam menyiapkan batasan amandemen yang didorongnya.

Kedatangan Bamsoet ini, pesan itikad baik bahwa pimpinan MPR RI tidak hendak membawa proses ini hanya untuk mengejar legitimasi prosedural:

Sidang formal, debat, voting suara terbanyak, lalu ketok palu memenangkan satu pihak.

Lebih mendalam dari itu, Bamsoet menunjukkan upaya substansial, termasuk meminta pandangan dari parpol oposisi yang dipimpin Ketua Majelis Syuro, Habibana Salim Segaf Al Jufri, dan Presiden, Mohamad Sohibul Iman.

Kini, keduanya dalam kesepahaman bahwa UUD NRI 4.0 memiliki beberapa titik kelemahan, dan sebagaimana sebuah konsepsi, ia akan membutuhkan perubahan selaras tantangan pada zamannya.

Setelah pertemuan Bamsoet dengan PKS ini, setidaknya warga negara dapat melihatnya dari dua perspektif:

  1. Etika amandemen, dan
  2. Muatan demokrasi.

Mengawal Etika Amandemen

Mengiringi semua perubahan selalu akan ada dua kemungkinan; ancaman dan peluang. itu alamiah. Begitupun dengan wacana UUD NRI 5.0 saat ini.

Ia memiliki potensi untuk merusak demokrasi sekaligus mampu mengakselerasi demokrasi dengan mujarab.

Namun, sebelum berbicara mengenai konten yang seharusnya ada UUD NRI 5.0, tiap warga negara berhak berpartisipasi untuk mengawal etika amandemen konstitusi.

Jimly Ashiddiqie (2014) menjelaskan soal “Etika Konstitusi” ini.

Jika hendak memperkuat sistem demokrasi dan konstitutionalisme melalui amandemen, maka sudah seharusnya pelaku amandemen mempraktikkan etika berkonstitusi dengan baik.

Jimly (2005) menyebutkan 12 prinsip pokok negara hukum yang pantas dijadikan patokan dalam menerapkan etika berkonstitusi, yakni:

  1. Supremasi hukum,
  2. Persamaan dalam hukum,
  3. Asas legalitas,
  4. Pembatasan kekuasaan,
  5. Orang-orang eksekutif independen,
  6. Peradilan bebas dan tidak memihak,
  7. Peradilan tata usaha negara,
  8. Peradilan tata negara,
  9. Jaminan perlindungan HAM,
  10. Bersifat demokratis,
  11. Berfungsi mewujudkan negara kesejahteraan dan
  12. Transparansi dan kontrol sosial.

Kesadaran pentingnya mengawal amandemen ini dapat dipertajam melalui dialog terbuka dengan anggota MPR RI, salah satunya melalui program sosialisasi 4 Pilar MPR RI.

Pada mulanya, program ini bernama sosialisasi putusan MPR RI yang mulai digulirkan sejak era Bapak M. Hidayat Nur Wahid menjadi Ketua MPR RI 2004-2009.

Kemudian diteruskan dengan nama sosialisasi 4 Pilar MPR RI di era Bapak Taufik Kiemas sejak menjadi Ketua MPR RI 2009, hingga kini.

Semua amandemen pasca Reformasi, mulai dari 1999, 2000, 2001, dan 2002 selalu berorientasi peningkatan kualitas tata kelola peradaban negara-bangsa kita.

Maka, amandemen kelima atau UUD NRI 5.0, harus terus menghadirkan kemajuan (on the track), bukan kemunduran (set back).

Amandemen adalah Keniscayaan

Terhadap UUD NRI 5.0 ada tiga pilihan besar yang mungkin terjadi:

Pertama, perubahan menyeluruh dalam UUD 1945;
Kedua, perubahan terbatas yang melingkupi beberapa topik saja, dan;
Ketiga, perubahan untuk kembali pada naskah asli UUD 1945.

Ketiga gagasan di atas, merupakan isu yang cukup sering dikemukakan oleh sejumlah tokoh.

Baca Juga: Hindari Penyalahgunaan Kekuasaan, PKS Tolak Usulan Masa Jabatan Presiden 3 Periode

Akan tetapi, hemat kami penulis, gagasan ketiga untuk mengembalikan UUD 1945 naskah asli adalah tidak tepat.

Konteks sejarah menunjukkan bahwa pembentukan UUD 1945 naskah asli merupakan hasil musyawarah yang secara etika tidak demokratis.

Ada faktor ketergesaan memerdekakan diri dan memiliki konstitusi.

UUD 1945 asli, yang dibentuk BPUPKI yang dibentuk penjajah Jepang memang dibentuk dengan waktu yang singkat.

Kemudian, tiap kali usai bersidang, hasil kesepakatan akan dilaporkan pada pihak Jepang yang dianggap menginisiasi BPUPKI tersebut.

Namun, sebelum PPKI meloloskan rencana untuk meminta restu kemerdekaan Indonesia kepada Jepang, bom atom melumpuhkan Hiroshima dan Nagasaki, Jepang.

Celah sejarah itu yang dimanfaatkan Indonesia untuk merdekakan diri.

UUD 1945 memang dirancang secara sederhana, tidak terlalu komprehensif. Maka dibentuklah konstituante melalui Pemilu 1955.

Konon, menurut para indonesianist, pemilu 1955 itu adalah pemilu paling demokratis di Indonesia.

Tugas konstituante saat itu hanya satu; membuat naskah konstitusi baru.

Terlepas dari kembalinya UUD 1945 melalui dekrit, keinginan untuk memperbaiki UUD 1945 sebenarnya bukan merupakan hal tabu.

Perubahan/Amandemen konstitusi dalam praktik banyak negara di dunia merupakan sebuah keniscayaan.

Perkembangan masyarakat, ilmu pengetahuan, zaman, industri, dan tentunya geopolitik sangat berkontribusi pada perubahan konsepsi bernegara.

Oleh karenanya, sebagai sebuah kontrak sosial, konstitusi diharapkan mampu untuk menjadi yang disebut Hans Kelsen sebagai staatfundamental norm (norma fundamental).

UUD NRI 5.0 Anti Korupsi dan Demokratis

Situasi aktual beberapa waktu lalu berupa gelombang protes yang masif kalangan Pemuda, netizen, mahasiswa, hingga pelajar STM, nampaknya bagi PKS sangat penting sebagai konsideran.

Terlihat dari pilihan PKS untuk mendorong agenda pemberantasan korupsi dalam amandemen.

PKS melihat perlunya muatan pembentukan lembaga pencegahan dan pemberantasan korupsi yang permanen, bukan adhoc dan sementara seperti sekarang.

Apalagi dilemahkan atau malah dibubarkan. Ini adalah pesan kuat PKS dalam agenda pemberantasan korupsi.

Selain itu, ada tiga muatan demokrasi yang PKS minta dengan sangat tegas.

Pertama, concensus democracy di parlemen nampaknya lebih dipilih daripada majoritarian democracy.

Makanya, PKS mendorong perubahan pada Pasal 2 Ayat 3 UUD NRI Tahun 1945 tentang MPR RI yang berbunyi:

“Segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara terbanyak.”

Menurut PKS, putusan dengan suara terbanyak ini harus diganti dengan musyawarah mufakat yang menjadi semangat dalam nilai-nilai Pancasila.

Jika tidak terpenuhi mufakat baru kemudian diputuskan berdasarkan suara terbanyak.

Kedua, two term limit on presidency, sama dengan yang dipraktikkan di Amerika Serikat (AS) sejak amandemen ke-22.

Dalam konteks menjaga semangat reformasi dan demokrasi, PKS memilih untuk tetap membatasi kekuasaan 2 periode.

Ketiga, direct presidential election, sebagaimana lazimnya negara dengan sistem presidensil, PKS juga berkomitmen untuk menolak wacana pemilihan Presiden dan Wakil Presiden oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Dn tetap menginginkan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden RI secara langsung oleh rakyat Indonesia.

PKS melihat wacana Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden oleh MPR adalah langkah mundur demokrasi dan menghilangkan kedaulatan rakyat dalam memilih pemimpinannya.

Melalui pertemuan ini, setidaknya, PKS dan Bamsoet sudah memulai pembahasan UUD NRI 5.0 ini, bukan gagasan saja, tapi dengan batasan.

Agar kiranya, UUD NRI 5.0 nanti, tidak menjadi petaka simalakama bagi masa depan Indonesia.

Oleh: Direktur Eksekutif The Indonesian Democracy Initiative (TIDI), Arya Sandhiyudha