Warganet Sentil Polri Gegara ‘Tak Satu pun Korban Kanjuruhan Tewas karena Gas Air Mata’

Polri Gas Air Mata

Ngelmu.co – Polri menyampaikan bahwa berdasarkan pernyataan para ahli, tidak ada satu pun korban tragedi Kanjuruhan yang tewas karena gas air mata.

“Tidak satu pun yang menyebutkan bahwa penyebab kematian adalah gas air mata.”

Demikian tutur Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo, mengutip pernyataan sejumlah ahli dan dokter spesialis yang menangani para korban.

Mendengar hal tersebut, warganet pun geram, hingga membuat mereka ramai-ramai menyentil Polri.

Puthut EA, salah satunya. Ia melayangkan sindiran lewat twit singkat, Senin (10/10/2022) kemarin.

Penulis Tanah Air satu ini bilang, “Tak ada orang mati karena tabrakan, yang ada karena dicabut nyawanya oleh malaikat… Baiklah.”

Begitu juga dengan dokter kardiologi, dr Berlian Idriansyah Idris, yang menyentil, “Salah, Pak. Mereka tewas karena jantungnya berhenti.”

“Masih salah, Pak. Mereka meninggal karena sudah kehendak Tuhan,” timpal @RisyaIslami.

“Nanti ada orang kena tusuk, dibawa ke rumah sakit, sampai rumah sakit mati…” sahut @edyf1kri.

“Dia bukan mati ditusuk, tapi kebanyakan kehilangan darah… yang nusuk bebas hukuman pembunuhan,” sambungnya.

Sindiran terus mengarah ke Polri, karena publik begitu kecewa dengan pernyataan yang mereka dengar.

“Ajaib memang di sini. Petir bisa jadi tersangka. Sekarang oksigen. Mau ketawa, tapi prihatin atas ratusan korban yang tak bersalah,” ujar @Satyalelana.

Baca Juga:

Bahkan, akun @jayapuraupdate pun menyatakan, “Brigadir Joshua juga meninggal bukan karena ditembak Inspektur Jenderal Ferdi Sambo, Pak, tapi kekurangan darah dan kerusakan organ tubuh vital.”

Pernyataan mengecewakan itu membuat netizen lainnya makin marah.

“Bertahun-tahun kalian ngelakuin kekerasan, dari mulai penganiayaan sampai pembunuhan ke warga sipil, tanpa ada akuntabilitas dan pertanggungjawaban sama sekali,” kritik @fullmoonfolks.

“Semoga kalian cepat-cepat digeruduk orang banyak. Amiin,” tulisnya lagi.

“Terlalu sering mencari-cari kesalahan orang lain, sampai lupa letak kesalahannya ada di diri sendiri,” sahut @_dinnerdash.

“Terlalu sering menuntut pengakuan kesalahan, sampai lupa mengakui kesalahan sendiri, terlalu sering menekan orang lain buat tanggung jawab, sampai dirinya sendiri lupa cara tanggung jawab,” sebutnya lagi.

Bahkan, bagi pengguna Twitter @yaudahrawr, “Polisi enggak bakal capek buat pura-pura bego, selama enggak ada yang buat perubahan gede.”

Baca Juga:

Sebelumnya, Dedi menyampaikan pernyataan para dokter spesialis penyakit dalam, penyakit paru, penyakit THT, dan spesialis penyakit mata.

“Tidak satu pun yang menyebutkan bahwa penyebab kematian adalah gas air mata,” ucapnya di Mabes Polri, Senin (10/10/2022).

Dedi bilang, berdasarkan pendalaman para ahli, para korban tragedi Kanjuruhan, tewas akibat kekurangan oksigen; karena berdesak-desakan di pintu keluar stadion.

Menurut Dedi, dari 131 korban meninggal, paling banyak diakibatkan oleh penumpukan yang terjadi di pintu 3, 11, 13, dan 14.

“Terjadi berdesak-desakan, terinjak-injak, bertumpukan, mengakibatkan kekurangan oksigen di pintu 13, pintu 11, pintu 14, dan pintu 3.”

“Ini yang jadi korbannya cukup banyak,” sebut Dedi.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa gas air mata pada prinsipnya, hanya menyebabkan iritasi pada mata, kulit, dan sistem pernapasan.

Gas, menurut Dedi, akan menyebabkan mata perih seperti terkena sabun, dan dampaknya akan hilang dengan sendirinya; tidak menimbulkan efek fatal.

Begitu juga pada sistem pernapasan, gas air mata tidak menimbulkan dampak yang fatal.

Ia kembali menyampaikan pernyataan sejumlah ahli, bahwa tidak ada gas air mata yang menyebabkan kematian.

“Di dalam gas air mata tidak ada toksin atau racun yang mengakibatkan matinya seseorang,” sebut Dedi.

Terlepas dari itu, Dedi juga mengakui bahwa sejumlah gas air mata yang digunakan oleh aparat saat mengendalikan massa di Stadion Kanjuruhan, sudah kedaluwarsa.

Namun, gas air mata yang sudah kedaluwarsa, kata Dedi, justru mengalami penurunan dari segi fungsi; dengan kata lain ‘bisa tidak lagi efektif’.