Opini  

Zonasi PPDB? Bukan Itu Masalahnya…

 

Jika ada isu yang mampu menenggelamkan sidang sengketa pilrpres di MK, maka itu adalah zonasi. Publik gaduh. Di dunya nyata maupun maya.

Zonasi adalah sistem Pendaftaran Peserta Didik Baru (PPDB). Dari SD hingga SMA negeri. Jarak menjadi indikator penting diterima atau tidaknya seorang anak. Bukan lagi nilai UN.

Jika anak anda pintar dan nilai UN bagus tapi jarak rumah jauh, sementara ada anak lain yang tidak pintar, nilai UN dibawah rata-rata tapi rumahnya persis di belakang sekolah, bisa jadi dia yang akan diterima.

Sistem ini pun dianggap tidak adil. Diskrimatif. Hingga cerita dan meme menyindir zonasi pun bermunculan. Ramai-ramai mengajak pindah rumah ke sekolah impian terdekat.

Tambah riuh lagi karena sempat terjadi rusuh saat hari pertama pendaftaran. Bahkan ada orang tua yang sejak pagi buta hadir di sekolah. Pemandangannya jadi tak ada beda dengan antrian penerima zakat dan pembagian sembako murah. Miris! Begitu kata publik dan netizen.

Isu pun makin melebar. Ada yang tetap tak akan memasukkan anaknya ke negeri meski rumahnya dekat. Pesantren dianggap pilihan terbaik.

Tulisan ini tidak akan masuk ke dalam pusaran isu tersebut. Mengapa? Karena zonasi hanyalah kulit luar. Bukan substansi dari persoalan pendidikan di Tanah Air.

Mau tahu apa pekerjaan rumah terbesar kita soal pendidikan? Sistem pendidikan yang tidak sesuai fitrah anak.

Sejak TK bahkan PAUD, anak-anak sudah dikenalkan huruf agar bisa membaca dan angka guna dapat berhitung. Lalu diikutkan lomba ini dan itu. Dipaksa untuk berkompetisi sejak dini. Padahal, pada fase itu, yang harus ditanamkan justru kerjasama, sinergi dan kolaborasi. Bukan semangat kompetisi untuk jadi pemenang.

Dampaknya bisa terlihat pada saat dewasa. Anak-anak kita jadi egois, ingin selalu menang. Pendapatnya selalu benar. Di dunia kerja, organisasi dan lingkungan rumah tak mau mengalah. Saling intrik agar bisa jadi pemenang.

Dunia pendidikan kita pun masih saja memaknai anak cerdas dari kacamata sempit: nilai ujian tinggi dan ranking teratas. Dapat sekolah dan perguruan tinggi negeri favorit.

Lalu setiap sekolah memajang deretan piala yang diraihnya. Juga spanduk besar di pintu gerbang utama. Berisikan foto dan nama siswa yang bernilai UN tertinggi serta masuk sekolah atau kampus unggulan.

Sesederhana itu kita memandang pintar dan cerdas. Pendidikan kita jadi meaningless. Kehilangan makna.

Ukuran sukses adalah mereka yang bernilai tinggi, belajar di sekolah favorit, kerja di perusahaan besar, duduk sebagai pejabat, kaya dan seterusnya.

Jika demikian, tak pentingkah akademik? Tidak begitu cara berpikirnya. Akademik sangat penting tapi bukan segala-galanya. Sebab kecerdasan manusia tak melulu ditunjukkan dengan nilai rapor, masuk sekolah favorit, duduk di kelas A1-Fisika atau A2-Biologi (pembelahan saat SMA dulu).

Meminjam konsep Howard Gardner, manusia itu memiliki multiple intelligences. Ada sedikitnya 8 kecerdasan: bahasa, logik matematika, spasial atau ruang, seni, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, naturalis.

Semua pasti mahfum, konsep kecerdasan terus berevolusi. Dulu mendewakan IQ, lalu muncul EQ nya Daniel Goleman, kemudian lahir SQ. Di Indonesia, kita mengenal ESQ nya Ary Ginanjar.

Jika dulu pintar dan sukses karena faktor IQ (nilai ujian, menghapal, berhitung dan sejenisny), kini bukan itu semata. Harus ada kecerdasan emosional dan spiritual. Yakni kemampuan berempati, jujur, tanggungjawab dan seterusnya. Serta menjadikan Allah swt sebagai pusat dari segala aktivitas.

Sayang, secara umum, sistem pendidikan kita belum bisa menerapkan itu semua. Sehingga outputnya adalah banyak orang pintar tapi tak jujur dan peka kepada sesama. Banyak orang cerdas tapi korupsi. Banyak orang saling sikut untuk mendapatkan jabatan. Banyak orang pintar duduk sebagai pejabat tapi menyakiti rakyat. Banyak orang cerdas tapi begitu mudah mencaci-maki ulama, menyakiti tetangga dan saudaranya. Banyak orang hebat, lulus S1 hingga S3 tapi tak peduli dengan lingkungannya.

Bukankah itu yang kita saksikan selama ini di negeri ini? Bukankah itu yang kerap kita keluhkan?

Di sisi lain, kita pun sering menjumpai orang yang dulunya tak cerdas dan biasa-biasa saja, namun jadi luar biasa ketika dewasa. Dulu dianggap tak pintar karena hanya masuk kelas A3-Sosial. Tapi kini keberadaannya bermanfaat bagi orang lain. Dula matematikanya jelek, namun memiliki relasi luas dengan banyak orang dan kelompok. Begitu seterusnya.

Di dunia yang sudah memasuki akhir zaman ini, dan di saat terjadi jungkir balik moralitas, dan materialisme jadi tuhan, masihkah relevan sistem pendidikan kita?

Tentu saja jawabannya tidak. Karena itu, hentikanlah ribut-ribut soal zonasi. Bukan itu pekerjaan rumah kita sesungguhnya. Tapi mengubah cara pandang. Bahwa cerdas dan sukses bukan mereka yang berhak mendapat tepuk tangan dari banyak orang. Tapi juga mereka yang bersedia bertepuk tangan untuk orang lain.

 

Erwyn Kurniawan
Direktur Sekolah Shibghah Akhlaq Quran (Sakura)
Cikunir, Bekasi