Berita  

4 Fakta Film Dirty Vote

Ngelmu.co – Dirty Vote adalah film dokumenter produksi WatchDoc yang rilis–jelang pemilu–pada 11 Februari 2024, dan berhasil menyita perhatian publik.

Sebab, film tersebut memberikan analisis tajam tentang dugaan kecurangan dalam pemilu yang dilakukan secara sistematis.

Berikut fakta-fakta terkait film dokumenter berjudul Dirty Vote:

1. Sutradara Dirty Vote

Sutradara film dokumenter Dirty Vote adalah Dandhy Dwi Laksono, dan dalam siaran tertulisnya, ia menyampaikan jika film itu merupakan bentuk edukasi.

Edukasi untuk masyarakat yang pada 14 Februari 2024–besok–akan menggunakan hak pilih mereka dalam Pemilu 2024.

“Ada saatnya kita menjadi pendukung capres, cawapres, tetapi hari ini saya ingin mengajak tiap orang untuk menonton film ini sebagai warga negara,” kata Dandhy.

2. Melibatkan Puluhan Lembaga

Menurut Dandhy, film dokumenter Dirty Vote, digarap dalam waktu sekitar dua pekan; mencakup proses riset, produksi, penyuntingan, hingga rilis.

Pembuatannya melibatkan 20 lembaga, antara lain Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Bangsa Mahardika, dan Ekspedisi Indonesia Baru.

Film ini juga melibatkan Ekuatorial, Fraksi Rakyat Indonesia, Perludem, Indonesia Corruption Watch, JATAM, Lokataru, LBH Pers, WALHI, Yayasan Kurawal, hingga YLBHI.

Dalam waktu kurang lebih lima jam setelah siar di YouTube, film itu langsung dilihat 355.831 orang, dan disukai oleh 51.294 pengguna YouTube.

3. Profil Para Pakar Hukum

Film Dirty Vote, mengungkap dugaan kecurangan dalam pemilu secara sistematis.

Dugaan kecurangan tersebut diulas oleh tiga pakar hukum tata negara, yakni Bivitri Susanti, Zainal Arifin Mochtar, dan Feri Amsari.

Mereka mengulas sejumlah instrumen kekuasaan yang digunakan untuk memenangkan pemilu, sekaligus merusak tatanan demokrasi.

Bivitri Susanti

Bivitri dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera. Ia memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) pada 1999.

Studinya lanjut di University of Warwick, Inggris, dan berhasil meraih gelar Master Law in Development pada 2002.

Sejak 2015, Bivitri telah menjadi pengajar hukum tata negara, serta menjabat sebagai Wakil Ketua I Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera dan sebagai peneliti di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia.

Zainal Arifin Mochtar

Zainal dari Universitas Gadjah Mada. Ia memperoleh gelar sarjana Ilmu Hukum dari universitas tersebut pada 2003.

Pendidikannya lanjut dengan meraih gelar Master of Law dari Universitas Northwestern, Chicago, Amerika Serikat pada 2006.

Zainal juga menyelesaikan pendidikan S3 di UGM pada 2012.

Selain menjadi dosen UGM, ia juga pernah menjabat sebagai anggota Dewan Audit Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dari tahun 2015 hingga 2017.

Feri Amsari

Sementara Feri, dikenal sebagai seorang aktivis hukum dan cendekiawan Indonesia.

Saat ini ia mengajar di Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Sumatra Barat.

Selain menjadi dosen, ia juga menjabat sebagai Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) di Fakultas Hukum Universitas Andalas.

Feri memulai pendidikannya di Fakultas Hukum Universitas Andalas, dan berhasil meraih gelar sarjana pada 2008 dengan IPK cumlaude.

Ia melanjutkan pendidikan magister di bidang perbandingan hukum Amerika dan Asia di William and Mary Law School, Virginia.

4. Isi Film Dirty Vote

Film dokumenter Dirty Vote mengungkap sejumlah isu terkait dengan dugaan kecurangan pemilu yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Salah satunya soal isu politisasi bantuan sosial (bansos) yang ramai dibicarakan dalam beberapa waktu terakhir.

Ahli hukum tata negara Bivitri Susanti, memberikan penjelasannya dalam film Dirty Vote.

“Mengapa bansos dijadikan alat berpolitik? Ada satu konsep dalam ilmu politik yang namanya politik gentong babi atau pork barrel politics,” tuturnya dalam film tersebut.

Bivitri menjelaskan, politik gentong babi merupakan istilah yang muncul pada masa perbudakan di Amerika Serikat.

Saat itu, para budak harus berebut mengambil daging babi yang diawetkan dalam gentong.

Iya, para budak memperebutkan babi di gentong tersebut.

“Akhirnya muncul istilah, bahwa ada orang-orang yang akan berebut jatah untuk kenyamanan dirinya,” kata Bivitri.

Dalam konteks politik saat ini, Bivitri mengatakan politik gentong babi adalah cara berpolitik yang menggunakan uang negara.

Uang tersebut digelontorkan ke daerah-daerah pemilihan oleh politisi, agar dirinya bisa kembali dipilih.

“Tentu saja kali ini Jokowi, tidak sedang meminta orang untuk memilih dirinya, melainkan penerusnya,” ujar Bivitri.

Dalam pemaparannya di film Dirty Vote, Bivitri memang menyoroti gelontoran anggaran bansos menjelang Pemilu 2024 yang dianggap berlebihan.

Sebab untuk bulan Januari saja, pemerintah sudah menghabiskan Rp78,06 triliun.

Jenis bantuan yang diberikan melalui anggaran tersebut adalah Program Keluarga Harapan (PKH), bantuan beras, Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), Program Indonesia Pintar (PIP), dan bantuan langsung tunai (BLT) El Nino.

Itu baru sekilas fakta-fakta dari film dokumenter Dirty Vote. Kalian sendiri sudah menontonnya?