Berita  

Mantan KSAU Menulis Soal FIR: Semakin Hari Semakin Lucu

Bahas Soal FIR, Chappy Hakim: Semakin Hari Semakin Lucu

Ngelmu.co – Presiden Joko Widodo, pada Selasa (25/1/2022) lalu, resmi mengumumkan Indonesia mengambil alih Flight Information Region (FIR) atau ruang kendali udara di Kepulauan Riau, termasuk Natuna yang selama ini di kelola Singapura.

Awalnya Disambut Antusias

Pasalnya, sejak tahun 1946 silam, wilayah udara kedaulatan RI di perairan Riau dan Natuna, berada di bawah kekuasaan Otoritas Penerbangan Kolonial Inggris di Singapura, yang kemudian berlanjut oleh Republik Singapura.

Awalnya, kesepakatan tersebut disambut antusias oleh masyarakat. Terutama komunitas penerbangan Indonesia. Apalagi, sudah cukup lama penerbangan Indonesia merasa ‘tertindas’ saat beraktivitas di wilayahnya sendiri.

Namun, pengumunan yang awalnya menjadi angin segar itu seketika jadi membingungkan, ketika disusul dengan penjelasan yang menyatakan, bahwa Indonesia tidak sepenuhnya menguasai kendali atas ruang udara di Kepulauan Riau.

Indonesia hanya mengendalikan ruang udara mulai 37.000 kaki ke atas di kawasan tersebut. Sementara itu, sebagian besar penerbangan komersial beroperasi 31.000 hingga 38.000 kaki.

 

Respons Mantan Kepala Staf TNI AU

Tentu saja, kabar tersebut berubah menjadi kekecewaan bagi masyarakat. Sebab, mereka berpikir, bahwa hal tersebut sama saja. Berbagai respons pun kian bermunculan. Salah satunya datang dari Chappy Hakim, mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara.

Melalui sebuah tulisannya yang berjudul FIR dan Srimulat, ia mengatakan, bahwa pembahasan FIR yang ramai diperbincangkan, terlihat semakin lucu setiap harinya. Adapun tulisan selengkapnya sebagai berikut:

FIR dan Srimulat

Belakangan ini trending topik di media adalah mengenai masalah Flight Information Region (FIR) yang tiada putus dibahas oleh para pengamat pembahas pejabat dan lain-lain.

Demikian gencarnya pembahasan FIR ini yang kemudian terlihat semakin hari semakin lucu. Tiba-tiba saja bermunculan para ahli FIR di permukaan dengan sejumlah opini, pemikiran dan ide yang lucu.

Dapat dipastikan tidak akan berlangsung lama, isu tentang FIR akan segera lenyap dari permukaan dan akan muncul lagi nanti setelah ada momentum terkait dengan FIR. Intinya adalah perhatian kepada masalah prinsip dari FIR terutama kepada masalah penerbangan dan kedirgantaraan masih sangat kurang.

Itu sebabnya, maka kita berhadapan banyak sekali masalah tentang penerbangan dan kedirgantaraan pada umumnya terutama pada masalah pengelolaan wilayah udara nasional.

Tidak ada satu instansi di negeri ini yang mengurus khusus tentang pengelolaan wilayah udara kedaulatan. Yang mengurus tentang penerbangan dalam arti luas mencakup pada manajemen airlines, airport, wilayah udara, industri penerbangan, satelit, drone dan semua yang berkaitan dengan hal tersebut.

Padahal masalah penerbangan bersifat internasional sekaligus inter-disiplin dan tentu saja inter-departemental. FIR hanya salah satu saja dari demikian banyak isu mengenai kedirgantaraan. Isu FIR di perairan Natuna dan Kepulauan Riau pertama kali saya ketahui sendiri pada tahun 1974.

Ketika itu sebagai Pilot Angkatan Udara yang masih muda belia, menerbangkan pesawat Dakota untuk dukungan logistik pasukan di daerah perbatasan wilayah selat Malaka. Pada saat ingin berangkat dari Tanjung Pinang ke Natuna, saya diberitahu bahwa harus memperoleh ijin terbang dari otoritas penerbangan Singapura.

Demikian selanjutnya selama puluhan tahun sebagai Pilot AU dan juga termasuk sebagai Pilot penerbangan sipil komersial lebih dari 3 tahun, saya menjadi familiar untuk terbang di wilayah udara kedaulatan Indonesia di perairan selat Malaka dan Natuna di bawah kekuasaan otoritas penerbangan negara tetangga. Sebuah mekanisme yang biasa saja sebenarnya.

Akan tetapi pada dasarnya sebagai seorang Pilot AU dan kemudian menjabat sebagai Direktur Operasi dan Latihan Angkatan Udara terasa ada yang “menghambat” pelaksanaan tugas Angkatan Udara Republik Indonesia di kawasan tersebut.

Pelaksanaan Operasi dan Latihan AU yang secara universal diketahui sebagai sebuah kegiatan tertutup menjadi sulit untuk dilaksanakan. Inilah esensi dari mengapa saya mempermasalahkan tentang FIR di perairan selat Malaka dan Kepulauan Riau. Masalah martabat sebagai anggota Angkatan Udara sebuah bangsa yang besar dalam kegiatan menjalankan tugas negara.

Sangat jauh dari sekedar masalah untung rugi sebagaimana yang berkembang sekarang ini. Sebuah perkembangan dari persepsi atau opini dari sebagian pihak yang “lucu”.

Sebuah persepsi dan atau opini yang sangat berselera rendah karena semata menyoroti dari sisi untung rugi belaka. Ini satu hal. Sekadar sebagai catatan saja, masalah yang dihadapi ini adalah masalah pelik yang bersinggungannya antara penerbangan sipil komersial dengan penerbangan militer.

 

Telah Diantisipasi Sejak 1950-an

Sebenarnya masalah ini sudah diantisipasi sejak tahun 1950-an. Itu sebabnya pada tahun 1955 sudah dibentuk Dewan Penerbangan seperti yang tertuang dalam peraturan pemerintah N0.5 tahun 1955 dan tercatat dalam Lembaran Negara nomor 7 Tahun 1955 yang ditandatangani oleh presiden, menteri perhubungan, menteri pertahanan dan menteri kehakiman.

Ketika itu Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan belum memiliki Dewan Kelautan, tetapi secara mengagumkan telah memiliki Dewan Penerbangan. Pada tahun 2003 atas usul saya sebagai KSAU, Indonesia menghentikan secara sepihak perjanjian MTA (Military Ttraining Area) karena menerima laporan terjadinya banyak pelanggaran dan atau kesalah pahaman dalam pelaksanaan di lapangan.

Demikian pula saya mengangkat masalah FIR ini dalam berbagai kesempatan dan kegiatan serta menulis ratusan artikel serta tiga buku. Dalam perkembangan selanjutnya, maka persoalan ini bergulir dalam berbagai diskusi, seminar dan kegiatan lain yang berhubungan dengan isu keamanan nasional.

Pembahasan semakin intens dan menuju perkembangan yang menggembirakan saat penyusunan UU No 1 tahun 2009 tentang Penerbangan. Saya bersama teman-teman kalangan penerbangan dan ahli hukum udara berkontribusi aktif dalam proses penyusunan UU tersebut.

Saya sendiri tidak turut hadir di sidang-sidang pembahasan di DPR, tetapi menitipkan materi pemikiran saya melalui almarhum Prof Dr Priyatna Abdurrasjid. Hasilnya adalah tertera antara lain dalam pasal 458 yang menyebutkan dalam kurun waktu 15 tahun setelah UU ini diundangkan, pendelegasian wilayah udara Indonesia kepada negara lain harus sudah dihentikan.

Hasil menggembirakan berikutnya adalah keluarnya instruksi Presiden pada tanggal 8 September tahun 2015 yang menyebutkan bahwa FIR yang selama ini dikuasai oleh Singapura segera diambil alih. Presiden mengarahkan agar dilakukan persiapan dalam 3 – 4 tahun kedepan terkait dengan kesiapan kita pada kualitas SDM dan peralatan.

Berikutnya pada 21 Oktober 2019, diselenggarakan Ëxpert Meeting di Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia terkait perkembangan negosiasi pengambilaliihan FIR Singapura.

Turut serta beberapa senior ahli Hukum Laut, Hukum Udara dan Hukum Internasional antara lain, yaitu: Prof. Hasjim Djalal, MA; Prof. Hikmahanto Juwana,SH.LL.M,Ph.D; Dr.Hasan Wirajuda,SH,MALD,LL.M; Prof. Atip.Latipulhayat dan Dr.Supri Abu SH.MH. Melalui teleconference call turut pula Duta Besar Indonesia untuk Jerman Arif Havas Oegroseno. Saya sendiri turut hadir dalam pertemuan tersebut.

Pada tanggal 27 Nopember 2019, bertempat di Ruang Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung saya menghadiri “Temu Pakar” yang membahas mengenai pengambilalihan FIR Singapura.

Temu Pakar dipimpin Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran yang sudah tidak asing lagi dalam pembahasan-pembahasan tentang FIR Singapura, terutama dalam perspektif “National Security”, Prof Dr Atip Latipulhayat.

Hadir beberapa peserta yang terdiri dari para pakar Hukum Udara dan juga Hukum Laut. Dalam perkembangan selanjutnya sejak UU no 1 tahun 2009 dan Instruksi Presiden tahun 2015, tidak pernah terdengar gerakan atau kegiatan peningkatan kualitas SDM dan peralatan Air Traffic Control dan Navigasi.

Tidak pernah pula terdengar adanya kegiatan penyusunan perencanaan bagi persiapan pengambil alihan FIR Singapura seperti yang diindikasikan dalam UU no 1 tahun 2009 yang menyebut rentang waktu 15 tahun untuk menyelesaikan masalah FIR.

Demikian pula tidak pernah terdengar kegiatan tindak lanjut instruksi Presiden tahun 2015 yang menyebut kurun waktu 3 – 4 tahun kedepan. Hal ini mungkin saja karena kurang jelas siapa atau instansi mana yang harus mengerjakan kesemua hal itu.

Yang pasti tidak mungkin Kementerian Perhubungan sendiri yang akan menyelesaikan kerja besar ini. Persoalannya menjadi pertanyaan, sekali lagi siapa atau institusi mana yang harus mengkoordinasikan dan atau mengerjakannya.

Menjadi sangat jelas ketika pada hari Selasa 25 Januari 2022, ketika Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa FIR Jakarta sudah melingkupi seluruh wilayah territorial Indonesia.

Penjelasan tersebut diikuti dengan diumumkannya bahwa Indonesia mendelegasikan kembali pengelolaan wilayah Eks FIR Singapura kepada otoritas penerbangan Singapura dalam hal ini pada zero level sampai dengan Flight Level 370 atau 37.000 Ft.

 

Cerminan Ketidakpastian Indonesia

Sebuah langkah yang mencerminkan ketidaksiapan Indonesia dalam mengelola wilayah udara kedaulatannya sendiri di perairan kepulauan Riau dan Natuna. Itulah semua yang terjadi hingga memunculkan polemik di media dan melahirkan banyak pembahas yang menyampaikan opini dan persepsi yang sangat membingungkan.

Tidak hanya membingungkan, bahkan menjurus ke opini dan pendapat yang semakin hari semakin lucu. Pendapat-pendapat yang dilontarkan seperti kedaulatan tidak ada hubungannya dengan FIR, pendelegasian adalah semata untuk keselamatan penerbangan dan ada 55 negara di dunia ini yang melakukannya. Indonesia sendiri mengelola Christmas Island milik Australia dan juga wilayah udara Timor Leste.

Pada akhirnya pembahasan tentang FIR yang telah jauh melenceng dari persoalan mendasarnya akan terus bergulir dan secara pelahan-lahan akan sirna sendiri sampai ada momentum lainnya yang muncul ke permukaan.

Sementara menjelang akhir pembahasan hot isu ini terlihat semakin hari semakin lucu yang mengingatkan kita semua pada kelompok dagelan Srimulat. Ditunggu kemunculan kembali grup lawak Srimulat dengan pentas perdananya berjudul FIR dan Srimulat.

Baca Juga: Indonesia-Singapura Bikin Perjanjian Ruang Udara: Gubes UI dan DPR Silang Pendapat