Berita  

Berbagai Keputusan Jokowi Tuai Penolakan di Tahun Pertama Periode Kedua

Setahun Jokowi Ma'ruf Periode Kedua
Joko Widodo, mengucapkan sumpah saat pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI, di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Ahad (20/10/2019), masa jabatan 2019-2024. (kompas.com/Kristianto Purnomo)

Ngelmu.co – Hari ini, Selasa (20/10), tepat satu tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi), di periode kedua, bersama Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Namun, berbagai keputusan, terus menuai penolakan.

Mulai dari pemilihan menteri Kabinet Indonesia Maju, hingga yang teranyar, UU Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker).

Pemilihan Menteri

Setidaknya, ada tiga sosok menteri yang diinginkan Jokowi, tetapi memicu pro kontra.

Menag Fachrul Razi

Eks timses Jokowi, yang memimpin ‘Tim Bravo’, di Pilpres 2019 itu, dianggap tak memiliki kompetensi untuk menjabat menteri agama.

Dengan besarnya ormas agama di Indonesia, Jokowi, seharusnya dapat mengangkat menteri agama yang berasal dari tokoh agama, bukan tokoh militer.

Sejak awal menjabat, Fachrul, terus memicu perdebatan di masyarakat.

Mulai dari ucapannya soal pelarangan cadar dan celana cingkrang, di instansi pemerintah.

Pernyataan ‘radikal digambarkan dengan mereka yang good looking’, hingga program penceramah bersertifikat.

Mendikbud Nadiem Makarim

Diangkat Jokowi, sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, pendiri Gojek, ini dinilai tak punya rekam jejak pun kompetensi, untuk mengurus bidang pendidikan negara.

Sebelum Nadiem, menteri pendidikan, selalu berasal dari kalangan kampus.

Menjadi yang termuda di Kabinet Indonesia Maju, ia, menyuarakan ‘Merdeka Belajar’, yang memicu polemik.

Tepatnya, soal pembukaan program studi baru, sistem akreditasi perguruan tinggi, dan fasilitas perguruan tinggi, yang statusnya masih PTN Badan Layanan Umum dan Satker untuk mencapai PTN-BH.

Termasuk pula, soal hak belajar tiga semester, di luar program studi mahasiswa.

Nadiem, juga menghapus Ujian Nasional (UN), mulai dari tingkat SD, SMP, hingga SMA, yang seharusnya diselenggarakan pada April lalu.

Namun, secara resmi ditiadakan, sebagai bagian dari sistem respons pandemi COVID-19.

Sebagai ganti, syarat penentu kelulusan siswa dalam masa darurat penyebaran COVID-19, adalah dengan menggelar Ujian Sekolah (US) secara daring.

Jika sekolah tidak siap mengadakan ujian jarak jauh, alternatif yang ditawarkan pemerintah adalah dengan mempertimbangkan portofolio nilai rapor, serta prestasi siswa sebelumnya.

Selain itu, syarat penentu kelulusan, juga dapat dilihat dari penugasan atau asesmen jarak jauh.

Rencana penyederhanaan kurikulum yang salah satu drafnya adalah menghapus mata pelajaran sejarah, juga menuai polemik. Persoalan yang sampai saat ini masih dibahas.

Menkes Terawan

Kepala RSPAD Gatot Subroto, itu menjadi sosok kontroversial, usai menerapkan metode ‘cuci otak’, dengan menggunakan Digital Subtraction Angiography (DSA), untuk pengobatan stroke jenis iskemik.

DSA yang diperkenalkan pada 1980, sebenarnya hanya metode injeksi kontras, guna mengetahui gambaran pembuluh darah.

Namun, Terawan, mengubahnya menjadi tindakan medis. Ia, pun dipecat oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia (MKEK IDI), sebelum resmi menjadi menteri.

Dalam perjalanannya sebagai Menkes, Terawan, terus memicu kontroversi.

Terutama sikapnya yang dianggap meremehkan virus Corona, mulai dari dapat lenyap dengan jamu, doa, dan tanpa treatment.

Termasuk menanyakan, apa kegunaan masker untuk mereka yang tidak sakit, di awal pandemi.

Perppu Corona

Keputusan Jokowi, berikutnya yang menuai penolakan adalah Perppu Corona.

Perppu yang menggelontorkan dana Rp405,1 triliun, untuk penanganan wabah virus Corona.

Perppu itu, bernomor 1 Tahun 2020, tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Keuangan untuk Penanganan Pandemi corona virus disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan terhadap UUD 1945.

Mulai berlaku pada 31 Maret lalu, Perppu, itu digugat oleh MAKI, ke Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (9/4) lalu.

Begitu pun oleh mantan Ketua MPR, Amien Rais, eks Ketum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, dan Sri Edi Swasono, pada 14 April 2020.

Salah satu yang digugat adalah Pasal 27, yang menyatakan biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk menyelamatkan perekonomian dari krisis, bukan kerugian negara.

Pejabat pemerintah, terkait pelaksanaan Perppu, tidak dapat dituntut perdata pun pidana, jika melaksanakan tugas berdasarkan iktikad baik, dan segala keputusan berdasarkan Perppu, bukan objek gugatan ke peradilan tata usaha negara.

Pasal 27, disebut ‘superbody’, sekaligus bertentangan dengan UUD 1945.

DPR, mengesahkan Perppu tersebut, menjadi undang-undang, dalam paripurna di Gedung DPR RI, Selasa (12/5).

Hanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang menolak RUU Perppu 1/2020 menjadi UU.

PSBB vs Lockdown

Tak ada negara yang siap dengan COVID-19, pun Indonesia. Namun, respons kebijakan atas wabah ini, menentukan kualitas seorang kepala negara.

Jokowi beserta jajarannya, sempat menganggap remeh Corona, yang pertama kali muncul, pada 2 Maret lalu, menginfeksi dua warga Depok.

Setelah, kasus positif Corona, terus bertambah menjadi puluhan. Baru strategi dimatangkan.

Jokowi, lebih memilih penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), yang aturan teknisnya dituangkan dalam Keputusan Menkes, Nomor HK.01.07/MENKES/239/2020, per 7 April 2020.

Kebijakan itu, berubah dari rencana awal menetapkan karantina wilayah; lockdown.

PSBB, diterapkan pertama kali, di Jakarta, pada 10 April, sebagai klaster pertama Corona, di Indonesia.

Sebelum penerapan, Gubernur DKI, Anies Baswedan, telah menyurati Presiden Jokowi, agar Jakarta, menerapkan karantina wilayah.

Pasalnya, Jakarta, memiliki anggaran besar untuk memberi sangu warga, termasuk pakan ternaknya, sesuai aturan UU.

Namun, kebijakan Anies, ditolak, karena khawatir mematikan ekonomi.

Pertanyaannya, apakah keputusan PSBB, Jokowi, efektif?

Grafik COVID-19, menjawab. Terus melonjak. Sebab, PSBB, hanya diterapkan 14 hari, dan bisa diperpanjang.

Dalam perkembangannya, Jokowi, justru mengumumkan new normal, sementara istilah PSBB, berkembang menjadi ‘mini lockdown’, atau Pembatasan Sosial Berskala Mikro (PSBM).

Pilkada Serentak 2020

Keputusan Jokowi, yang menuai penolakan selanjutnya adalah tetap menggelar Pilkada Serentak di 270 se-Indonesia, meski wabah Corona, belum terkuasai.

Jokowi, mengabaikan suara publik yang disampaikan oleh Muhammadiyah, MUI, PBNU, hingga elemen masyarakat. Mereka tegas meminta, penundaan Pilkada.

“Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020, tetap sesuai jadwal, 9 Desember 2020,” kata Fadjroel.

“Demi menjaga hak konstitusi rakyat, hak dipilih dan hak memilih,” sambungnya, seperti dilansir Kumparan, Senin (21/9) lalu.

“Presiden Joko Widodo, menegaskan penyelenggaraan Pilkada, tidak bisa menunggu pandemi berakhir, karena tidak satu negara (pun), tahu kapan pandemi COVID-19, akan berakhir,” lanjutnya lagi.

Padahal, COVID-19, juga menginfeksi 60 kandidat Pilkada, puluhan penyelenggara Pemilu, termasuk tiga komisioner KPU RI.

Pilkada, juga memicu 243 pelanggaran protokol kesehatan, saat masa pendaftaran.

Dengan lonjakan kasus 3-4 ribu lebih per hari, Pilkada Serentak, dinilai sebagai ancaman serius bagi masyarakat.

Iuran BPJS Naik

Keputusan Jokowi, berikutnya yang menuai penolakan adalah menaikkan tarif BPJS Kesehatan, melalui Perpres 64 Tahun 2019. Dengan rincian:

  • Kelas I, Rp150.000;
  • Kelas II, Rp100.000; dan
  • Kelas III, Rp42.000*.

Catatan:

  1. Peserta Kelas III, pada Juli-Desember 2020, tetap membayar Rp25.500, di mana pemerintah memberikan subsidi iuran Rp16.500.
  2. Peserta Kelas III, per Januari 2021, akan membayar Rp35.000, di mana pemerintah memangkas subsidi iuran, menjadi Rp7.000.

Ironisnya, Perpres, diterbitkan karena Perpres kenaikan iuran BPJS Kesehatan, sebelumnya dalam Nomor 75 Tahun 2019, dibatalkan MA, atas gugatan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI).

Perpres baru ini pun kembali digugat, oleh KPCDI ke MA. Namun, kali ini, MA menolak dan sejalan dengan Jokowi, menaikkan iuran BPJS Kesehatan.

Omnibus Law Cipta Kerja

Kebijakan paling menuai penolakan dalam setahun pemerintahan Jokowi-Ma’ruf, adalah Omnibus Law; penggabungan puluhan UU menjadi satu.

Omnibus Law ini menjadi yang pertama disodorkan oleh Jokowi, lewat RUU tentang Cipta Kerja.

Di mana salah satunya, memangkas regulasi, demi mendorong investasi.

Pengesahan UU, pada Senin (5/10) lalu, itu merevisi 79 UU, setara 1.203 pasal, menjadi satu UU, berisi 15 bab, dan 174 pasal.

Pengerjaan UU tersebut, hanya melalui 64 kali rapat, yang dalam perjalanannya, terdapat 7 UU, yang akhirnya dikeluarkan dari RUU.

Bukan saja kontroversial dalam substansi, tetapi juga mengenai prosedurnya.

Operasi Jokowi–dan parpol pendukungnya–di Senayan, membuat pengesahan UU itu, nyaris senyap, karena memajukan jadwal paripurna, dari Kamis (8/10), menjadi Senin (5/10).

Pengesahan yang tidak ada dalam agenda DPR, hari itu.

UU Omnibus Law Ciptaker, pun memicu kerusuhan di berbagai daerah, karena aksi demonstrasi kalangan buruh, mahasiswa, hingga pelajar. Mereka turun ke jalan.

Itulah setidaknya, enam keputusan Jokowi, yang menuai penolakan dari berbagai pihak, di tahun pertama periode keduanya menjabat.