Betapa Kasus di Luwu Timur Merobek Hati Publik

Kasus Luwu Timur
Ilustrasi penghentian proses penyelidikan oleh polisi dalam kasus kekerasan seksual di Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Foto: Project M/Muhammad Nauval Firdaus (di bawah lisensi Creative Commons BY-NC-ND 2.0)

Ngelmu.co – Betapa kasus dugaan pemerkosaan terhadap tiga anak di Luwu Timur, Sulawesi Selatan (Sulsel), begitu merobek hati publik.

Pasalnya, terduga pelaku pencabulan, (SA), tak lain merupakan ayah kandung mereka sendiri.

Terlebih, perjuangan sang ibu yang juga mantan istri dari SA, telah berlangsung sejak Oktober 2019.

Namun, Kepolisian Luwu Timur, menerbitkan surat pemberitahuan perkembangan hasil penyelidikan pada 19 Desember 2019.

Mengacu kepada proses penyelidikan juga gelar perkara di tanggal 4 Desember 2019.

Surat tersebut, memuat ketetapan kepolisian, menghentikan proses penyelidikan tertanggal 10 Desember 2019.

Namun, pihaknya tak melampirkan detail pertimbangan penghentian.

Publik marah. Kecaman mengalir melalui ‘Tiga Anak Saya Diperkosa’ dan #PercumaLaporPolisi yang trending di media sosial Twitter.

“Astaga. Pagi-pagi baca trending ‘Tiga Anak Saya Diperkosa’. Perih banget bacanya. Astagfirullah,” kecam pemilik akun @P_For_Permisi.

“Sumpah, perih banget mata gue. Nangis. Nyata banget yang punya kuasa yang bakal jaya,” sesal @ohmynanon.

“Sebenarnya dari tadi gue menghindari buat baca. Sudah baca, dan sekarang gue enggak berenti nangis,” imbuhnya.

“Biadab banget pelakunya. Ini hukum rajam saja bisa enggak sih? Dajjal dunia ini mah,” makinya lagi.

“Nyesek banget bacanya. Gimana lu bisa tidur tiap malam, bajing*n? Sakit banget bacanya,” umpat @mellmell011.

“Sedih banget bacanya. Hukuman mati pun enggak setimpal sama apa yang sudah dilakuin,” tegas @tavinFd.

“Kesal banget sama pelaku. Sumpah serapah bagaimanapun kayak enggak cukup buat ngatain pelaku,” sambungnya.

Baca Juga:

Hari ini, [sebagai bentuk solidaritas] Ngelmu memutuskan untuk memuat ulang tulisan yang pertama kali diterbitkan oleh Project Multatuli, pada Rabu (6/10) lalu.

Tulisan tersebut berjudul ‘Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi. Polisi Menghentikan Penyelidikan’.

Eko Rusdianto selaku penulis, dan Fahri Salam sebagai penyunting.

Artikel tersebut juga merupakan bagian dari serial reportase #PercumaLaporPolisi yang didukung oleh Yayasan Kurawal.

Selengkapnya:

PERINGATAN: Artikel ini mengandung konten eksplisit yang dapat memicu tekanan emosional dan mental bagi pembaca.

Kami menyarankan Anda, tidak meneruskan membacanya. Kami lebih menyarankan artikel ini dibaca oleh polisi Indonesia.

“Jika kamu menulisnya,” katanya, “apa yang akan berubah?”

“Kami mengandalkan polisi. Kami melaporkannya. Lalu apa? Pelaku masih bebas.”

Lydia melaporkan pemerkosaan yang dialami ketiga anaknya, semuanya masih di bawah 10 tahun.

Terduga pelaku adalah mantan suaminya, ayah kandung mereka sendiri, seorang aparatur sipil negara yang punya posisi di kantor pemerintahan daerah.

Polisi menyelidiki pengaduannya, tapi prosesnya diduga kuat penuh manipulasi dan konflik kepentingan.

Hanya dua bulan sejak ia membuat pengaduan, polisi menghentikan penyelidikan.

Bukan saja tidak mendapatkan keadilan, Lydia, bahkan dituding punya motif dendam melaporkan mantan suaminya.

Ia juga diserang sebagai orang yang mengalami gangguan kejiwaan.

Serangan ini diduga dipakai untuk mendelegitimasi laporannya, dan segala bukti yang ia kumpulkan sendirian, demi mendukung upayanya mencari keadilan.

Lydia–bukan namanya sebenarnya–seorang ibu tunggal, setelah bercerai.

Ketiga anaknya, ikut bersamanya. Mereka tinggal di Luwu Timur, sebuah kabupaten perbatasan di Sulsel, 12 jam berkendaraan dari Kota Makassar.

Kendati sudah bercerai, mantan suaminya masih ingin terlibat pengasuhan bersama.

Mantan suaminya bebas menjemput ketiga anaknya saat pulang sekolah, serta memberinya uang jajan atau mainan.

Situasi itu berjalan, terlihat normal, sampai Lydia, menyadari kenyataan yang disembunyikan:

Ketika membantu anaknya mandi, ia menemukan beberapa bekas luka lebam di paha anaknya.

Si anak beralasan, lebam-lebam itu karena jatuh saat bermain kejar-kejaran.

Lydia menyarankan, agar mereka berhati-hati.

Meski demikian, bukan saja luka lebam, perilaku anak-anaknya berubah drastis.

Lebih suka diam, sering memukul. Malas makan. Sering pusing dan muntah.

Pada satu malam awal Oktober 2019, saat Lydia mencuci piring, anak bungsunya berteriak, bahwa kakaknya mengeluh sakit pada bagian vagina.

Lydia, segera mendekati anak sulungnya. Memeluknya dari belakang, sambil mengusap-usap pundak.

“Nak, apa dibilang adik tadi?” kata Lydia.

“Tidak ji, Mamak,” jawab anak sulung.

Ia membujuk, “Saya sayang sekali. Sayang sekali. Kalau ada masalah, ceritakan sama Mamak.”

“Saya jadi penolong dan pelindung ta. Masak sama Mamak tidak berani?”

“Bilang, Nak. Kalau anak ada sakit, Mamak tidak tahu. Sakit kah, Nak?”

Si sulung terdiam lama, kemudian menangis, tanpa berurai air mata.

Lydia kaget, panik.

Si sulung, dengan suara pelan seperti tercekik, berkata:

“Mamak… Ayah na anu pepe’-ku [Mamak, ayah melakukan sesuatu pada vagina saya],” katanya.

Lydia menangis, merebahkan badan pada sandaran sofa, “Jangan main-main, Nak. Jangan ki main-main.”

“Iye, Mamak. Iye.”

Ia bertanya kepada kedua anaknya, “Benarkah ini, Nak?”

“Iya, Mamak. Saya juga dianu pantatku,” kata anaknya.

“Saya juga, Mamak,” jawab anak bungsu.

Ia meraih ketiga anaknya, menangis bersama. Kepalanya seakan meledak, ingin berteriak.

Ketika berusaha berdiri menuju kamar mandi untuk melepaskan tangis, ia terjatuh. Kakinya terasa kehilangan tulang.

Anak-anak membantunya beringsut. Ia mengesot menuju sofa. Ia meracau, dan mulai sadar saat anak-anaknya menegur, “Kenapa ki, Mamak?”

Emosinya pelan-pelan mampu ia lepaskan. Lalu, memeriksa anak-anaknya, menemukan luka di bagian vagina dan anus.

Pada malam yang terasa berjalan pelan dan panjang itu, ia menatap anaknya tertidur.

Kebingungan. Kelelahan. Ia tak bisa tidur sampai pagi.

Pada pekan kedua Oktober 2019, membawa ketiga anaknya, Lydia pergi ke kantor Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak [Dinas Sosial Luwu Timur].

Di unit inilah, idealnya, seorang yang mengadukan kasus kekerasan, bisa mendapatkan perlindungan.

Kepala Bidang Pusat Pelayanan Firawati, menerima Lydia, di ruangan kecil bersekat.

Sementara ketiga anaknya, berada di fasilitas permainan unit tersebut.

Lydia menceritakan kepada Firawati, mengenai kronologi pengakuan anaknya mengalami kekerasan seksual oleh ayah kandung sendiri.

Firawati, mengaku kenal dengan terduga pelaku, karena ‘sesama aparatur sipil negara’.

Bukan pertama-tama memprioritaskan ruang aman bagi Lydia dan ketiga anaknya, Firawati, malah menghubungi terduga pelaku.

Mengabarkan ada pengaduan atas dugaan kasus pencabulan, sehingga mantan suami Lydia itu datang ke kantor Pusat Pelayanan.

Firawati berdalih, alasan mempertemukan terduga pelaku dengan ketiga anak, untuk membuktikan.

Apakah mereka trauma saat bertemu ayahnya.

Firawati juga berdalih, tindakannya itu atas izin Lydia.

“Kan sesama ASN. Mau dikonfirmasi,” katanya.

“Tahu, tidak? Semua anaknya berburu ke bapaknya. Justru mamaknya ditinggalkan.”

“Bahkan anak-anak agak berat meninggalkan bapaknya waktu dipanggil sama Mamaknya,” kata Firawati.

Lydia, saat saya mengulang klaim cerita Firawati itu, mendengarnya sambil melongo.

“Bagaimana mungkin ia bicara seperti itu?”

“Hari pertama saya melapor dan minta pendampingan ke kepolisian, tapi Firawati langsung menelepon [terduga] pelaku kalau saya datang sama anak-anak,” kata Lydia.

“Setelah ia menelepon, ia bilang ke saya, kalau saya mengajari anak-anak memfitnah [terduga] pelaku.”

“Jika seandainya saya dipertemukan lagi dengan Firawati, saya mau lihat bagaimana ia berbohong.”

Bukan cuma Lydia dan ketiga anaknya [yang] berada dalam situasi rentan saat terduga pelaku mendatangi mereka.

Mantan suaminya itu, seketika mendamprat Lydia, dengan tuduhan mengajari ketiga anaknya mengadu.

Mengoceh kalau Lydia, tidak becus mengasuh masa depan ketiga anaknya.

Pengaduan itu tidak memberikan perlindungan bagi Lydia, alih-alih ia dipojokkan, disuruh pulang ke rumah untuk menunggu kabar selanjutnya.

Keesokan harinya, Lydia dan ketiga anaknya diminta datang lagi ke kantor dinas Firawati.

Dari proses ini, ketiga anaknya diperiksa secara psikologis oleh seorang petugas dari Puspaga [Pusat Pembelajaran Keluarga].

Unit kerja di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak.

Belakangan diketahui, si petugas itu tidak memenuhi kualifikasi sebagai psikolog anak.

Pemeriksaan itu menghasilkan klaim ketiga anak Lydia, ‘tidak memperlihatkan tanda-tanda trauma’, dan menyebut ‘hubungan dengan orang tua cukup perhatian dan harmonis’, serta ‘keadaan fisik dan mental dalam keadaan sehat’.

Tindakan Firawati mempertemukan ketiga anak dengan ayahnya–untuk mengecek apakah mereka trauma atau tidak–serta diperkuat pemeriksaan psikologis, bahwa anak-anak Lydia tidak menunjukkan tanda-tanda trauma inilah, yang nantinya dipakai oleh kepolisian Luwu Timur, menghentikan penyelidikan.

Penanganan di Polres Luwu Timur: ‘Saya Dipaksa Polisi Menandatangani BAP’

Berharap bisa didampingi oleh petugas Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Lydia, akhirnya sendirian ketika melaporkan kasus dugaan pencabulan ke Polres Luwu Timur.

[Firawati dari Pusat Pelayanan, beralasan, saat itu sedang rapat dengan parlemen daerah, sementara pendamping lain sedang persiapan pindah kantor dinas]

Polisi menerima laporan Lydia, pada 9 Oktober 2019.

Seorang petugas polisi wanita mengantarkan ketiga anaknya ke sebuah Puskesmas untuk visum, tanpa pendampingan.

Kemudian ketiganya, dimintai keterangan oleh penyidik berseragam, tanpa didampingi Lydia, penasihat hukum, pekerja sosial ataupun psikolog.

Lydia diminta menandatangani berita acara pemeriksaan (BAP) tersebut, tapi dilarang membacanya terlebih dulu.

Lima hari berselang, Polres Luwu Timur, memberitahukan perkembangan hasil penyelidikan.

Mengabarkan laporannya telah diterima, dan akan diselidiki oleh Aipda Kasman.

Lydia, mendatangi kantor Polres untuk menanyakan hasil visum ketiga anaknya.

Ia juga sekaligus memberikan satu celana dalam berwarna pink yang terdapat bercak darah, atas inisiatifnya sendiri.

Pada hari Jumat, 18 Oktober 2019, polisi mengabarkan hasil visum dari Puskesmas, dan menurut seorang penyidik, mengeklaim ‘tidak ditemukan apa-apa’.

Pada hari yang sama, Lydia diinterogasi oleh penyidik, tanpa didampingi penasihat hukum.

“Saya hanya ditanya masalah sehari-hari. Terus, penyidik bilang nanti dilanjutkan.”

“Ia yang akan isi bagian lainnya, karena alasan akan salat Jumat,” katanya.

“Saya disuruh tanda tangan di bagian bawah laporan itu. Saya bilang, nanti saya tanda tangan setelah ini dilanjutkan.”

“Tapi penyidik memaksa saya, dan saya ikut tanda tangan, karena sudah siang dan saya mau pulang untuk buat makanan anak-anak.”

“Nah, saya pikir sekarang, saya jadi bego, kenapa saya tanda tangan,” kata Lydia.

Pekan berikutnya, Polres Luwu Timur mengabarkan perkembangan kasus.

Bahwa penyelidik telah menginterogasi Lydia, terduga pemerkosa, dan tiga anak korban.

Telah memeriksa secara medis tiga anak korban, beserta hasil visum et repertum; serta rencana selanjutnya, ketiga anak itu akan diperiksa secara medis dan psikologis ke Bidang Kedokteran dan Kesehatan (Biddokkes) Polda Sulawesi Selatan di Makassar.

Kondisi Kesehatan Mental Ibu Korban Dipakai untuk Mendelegitimasi Laporan Pemerkosaan

Pada 28 Oktober 2019, salah seorang anak Lydia, mengeluhkan sakit pada bagian dubur.

Lydia memotret beberapa luka itu, dan lagi-lagi, atas inisiatifnya sendiri, pada 1 November 2019, Lydia membawa satu celana dalam yang terdapat cairan hijau, dan satu celana legging yang terdapat bercak darah, ke Polres Luwu Timur.

Sehari kemudian, penyidik kepolisian menghubunginya, jika akan ada pemeriksaan di Biddokkes Polda Sulsel, pada 6 November 2019.

Saat itu, Lydia menerima ancaman dari mantan suaminya, terduga pemerkosa.

Ancamannya, terduga pelaku akan menghentikan nafkah bulanan kepada ketiga anak mereka, jika Lydia meneruskan proses pemeriksaan ke Makassar.

Lydia bersama ketiga anaknya, ditemani salah satu saudaranya, pergi Rumah Sakit Bhayangkara Makassar.

Di sini, Lydia dan ketiga anaknya dibawa ke ruang tunggu klinik jiwa.

Saudaranya yang mengantar, ikut diperiksa.

Di dalam ruangan pemeriksaan ada dua dokter, penyidik, dan seorang staf Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Luwu Timur.

Saat pemeriksaan terhadap ketiga anaknya, Lydia merekam secara sembunyi-sembunyi lewat kamera ponsel.

Anak sulungnya terlihat dipangku oleh seorang staf Pusat Pelayanan yang tengah duduk di sebuah sofa.

Ada penyidik, seorang perempuan, dan dokter di ruangan pemeriksaan itu.

Si dokter, kemudian meminta Lydia meninggalkan ruangan.

Saat pemeriksaan terhadap Lydia dan saudaranya, mereka ditanya kondisi kesehatan mental keluarga.

Saudaranya ditanya soal kondisi psikologis Lydia sejak kecil, dan sewaktu menikah.

Apakah ada anggota keluarga [yang] memiliki riwayat gangguan jiwa?

Saat giliran Lydia, dua dokter menanyakan, apa punya ‘kelainan’ sebelum bercerai dengan mantan suaminya, serta kondisi rumah tangga mereka dulu.

Wawancara dengan Lydia, hanya berlangsung 15 menit.

Hasil pemeriksaan psikiatri ini terbit pada 11 November 2019.

Lydia disebut memiliki ‘gejala-gejala waham bersifat sistematis yang mengarah gangguan waham menetap’.

Pada 15 November 2019, terbit surat visum fisik ketiga anaknya oleh tim Forensik Biddokkes Polda Sulsel, yang menyatakan, tidak ditemukan kelainan atau tanda kekerasan fisik terhadap ketiga anak Lydia.

Kepolisian Luwu Timur, lalu menerbitkan surat pemberitahuan perkembangan hasil penyelidikan pada 19 Desember 2019.

Surat ini mengacu proses penyelidikan serta gelar perkara pada 4 Desember 2019.

Surat itu memuat ketetapan kepolisian menghentikan proses penyelidikan tertanggal 10 Desember 2019, tanpa ada detail pertimbangan penghentian.

“Jadi, rentang waktu laporan dan penghentian penyelidikan, cuma 63 hari.”

“Ini sangat cepat, dan kami anggap tidak masuk akal.”

“Apalagi ini kasus kekerasan seksual yang korbannya adalah anak, kenapa prosesnya terburu-buru?”

Kata Rezky Pratiwi, Kepala Divisi Perempuan, Anak, dan Disabilitas dari Lembaga Bantuan Hukum Makassar.

Pergi ke Kota Makassar demi Mendapatkan Akses Keadilan Lebih Kompeten

Pada akhir Desember 2019, Lydia menyetir mobil sendiri dengan ketiga anaknya, dari Luwu Timur ke Kota Makassar.

Perjalanan itu ditempuhnya selama 12 jam.

Perjalanan panjang dan berangin ini membawa Lydia, mengadu ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Kota Makassar, yang ia harapkan bisa mendapatkan keadilan memihak korban.

Berbeda dari penanganan di Luwu Timur, Lydia diberi rujukan agar melaporkan kasusnya ke LBH Makassar.

Dari sinilah, LBH Makassar, melalui Koalisi Bantuan Hukum Advokasi Kekerasan Seksual terhadap Anak, menjadi penasihat hukumnya, ketika kasus sudah dihentikan oleh Kepolisian Luwu Timur.

Pusat Pelayanan Kota Makassar juga memberi pendampingan psikologis kepada ketiga anak Lydia.

Dalam laporan psikologisnya, lewat metode observasi dan wawancara, ketiga anak ‘tidak mengalami trauma, tetapi mengalami cemas’, serta ketiganya konsisten menceritakan, dan saling menguatkan cerita satu sama lain mengalami kekerasan seksual oleh ayah mereka.

Cerita mereka mendapatkan kekerasan seksual, kemungkinan terduga pelakunya lebih dari satu orang.

Konsisten dengan tuturan salah seorang korban kepada ibunya, saat proses penyelidikan ditangani Polres Luwu Timur.

Cerita korban diperkuat dalam rekaman foto dan video yang disimpan Lydia, yang menggambarkan bekas-bekas kekerasan fisik ketiga anaknya.

Polisi di Polres Luwu Timur dan Polda Sulsel, mengabaikan cerita dan bukti-bukti tersebut.

“Di Pusat Pelayanan Kota Makassar, psikolog anak yang memeriksa anak-anak, meyakini terjadi kekerasan seksual,” ujar Rezky Pratiwi dari LBH Makassar.

Pratiwi menyebut proses penyelidikan Polres Luwu Timur, sudah ‘cacat prosedur’ sejak visum pertama, hingga pengambilan keterangan setiap anak.

Seharusnya, anak-anak didampingi oleh orang tua serta pendamping hukum, pekerja sosial, atau pendamping lain.

“Sebagaimana mandat dalam UU 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,” ujarnya.

“Jadi kepolisian resort Luwu Timur sangat tidak profesional,” katanya.

“Kepolisian malah fokus kepada ibu [Lydia] yang disebut punya motif lain. Ibu korban justru diperiksa psikiater yang prosedurnya tidak layak.”

“Keterangan terhadap anak tidak didalami dan tidak dilakukan pemeriksaan saksi lain untuk menemukan petunjuk-petunjuk baru.”

“Misalnya, keterangan tetangga atau orang yang mengenal mereka,” kata Pratiwi.

Polda Sulsel Mendukung Penyelidikan Dihentikan

Pada 26 Desember 2019, LBH Makassar bersama Lydia, mendatangi Polda Sulawesi Selatan, dan meminta gelar perkara khusus atas penghentian penyelidikan di Polres Luwu Timur.

Dalam surat itu dilampirkan foto-foto luka pada anus dan vagina ketiga anak.

Selanjutnya, pada 10 dan 13 Februari 2020, tim hukum melayangkan surat untuk gelar perkara, tapi tak ada jawaban.

Pada 19 Februari 2020, Kabid Humas Polda Sulawesi Selatan Kombes Pol Ibrahim Tompo, malah menyampaikan ke media, kalau mereka telah ‘melaksanakan gelar perkara internal’, dan penghentian penyelidikan disebutnya sudah sah serta sesuai prosedur.

Kemudian pada 5 Maret 2020, tim Polda Sulawesi Selatan, mengabarkan ke LBH Makassar, jika gelar perkara khusus akan dilakukan pada 6 Maret 2020, pukul 13.00, di kantor Polda.

Kabar serba mendadak itu membuat penasihat hukum serba tidak siap.

“Waktunya sangat singkat untuk persiapan,” kata Rezky Pratiwi dari LBH Makassar.

“Psikolog anak yang mendampingi korban sejak awal tidak dapat hadir, karena benturan kegiatan.”

Pada 14 April 2020, hasil gelar perkara itu menyebut Polda Sulsel, merekomendasi Polres Luwu Timur untuk tetap menghentikan proses penyelidikan atas laporan pencabulan tersebut.

Mendesak Mabes Polri Melanjutkan Penyelidikan

Di lantai dua kantor Polres Luwu Timur, dihubungkan sebuah tangga, ada satu ruangan tempat kerja Aipda Kasman, penyidik yang menangani kasus anak-anak Lydia.

Kasman membanggakan pekerjaannya, “Kami sudah lakukan visum sampai forensik. Sampai ada hasil psikiater ibunya.”

“Apakah saya bisa baca salinan itu?” tanya saya.

“Saya tidak bisa menyampaikan itu, karena itu yang kami pegang,” ia menyeringai.

Apa yang disebut hasil psikiater dari RS Bhayangkara Makassar yang dirahasiakan itu, rupanya dianggap ‘kebenaran’ oleh banyak orang di Luwu Timur.

Bahwa ibunya yang ‘gila’, bukan kasus dugaan pemerkosaan yang dibicarakan dan diingat oleh orang-orang.

“Kami tahu kasus itu, tapi itu ‘kan ibunya yang gila,” ujar seorang warga kepada saya. “Makanya kasusnya tidak lanjut.”

Dalam sesi wawancara dengan Kasman, penyidik ini, seketika duduk gelisah ketika saya menyodorkan rekaman.

Ia mau berbicara lebih terbuka setelah diizinkan oleh atasannya, Kasat Reskrim Luwu Timur Iptu Eli Kendek.

“Kalau dinyatakan kami maladministrasi atau cacat administrasi, itu persepsi LBH Makassar.”

“Tapi kami tetap memegang prinsip profesional. Kami melakukan tindakan sesuai aturan, sesuai hukum,” ia memulai alasan.

“Kami juga sudah klarifikasi ke semua lembaga yang disurati LBH Makassar,” klaimnya.

LBH Makassar telah mengirim surat aduan ke sejumlah lembaga pada Juli 2020.

Di antaranya ke Kompolnas, Ombudsman, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Sulsel, Bupati Luwu, Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Mabes Polri, dan Komnas Perempuan.

Ke lembaga-lembaga itulah, klaim Kasman, Polres Luwu Timur telah mengklarifikasi, dan ‘semua aman saja’.

Komnas Perempuan, dalam surat rekomendasi yang dikirim ke Mabes Polri, Polda Sulsel, dan Polres Luwu Timur, bertanggal 22 September 2020, justru meminta melanjutkan kembali proses penyelidikan kasus pidana tersebut.

Proses itu, tulis Komnas Perempuan, di antaranya “harus melibatkan secara penuh orang tua, kuasa hukum, serta pendamping sosial korban, menyediakan fasilitas rumah aman, konseling, dan fasilitas khusus lain bagi perempuan.”

Berikutnya, “Kepolisian perlu berkoordinasi dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Makassar, demi memfasilitasi kebutuhan khusus tersebut.”

Rekomendasi inilah justru yang tidak dilakukan oleh Polres Luwu Timur, saat menangani pengaduan kasus pencabulan terhadap ketiga anak Lydia.

Menurut Rezky Pratiwi dari LBH Makassar, ada keberpihakan polisi dan Pusat Pelayanan Luwu Timur kepada terduga pelaku.

“Kalau sudah ada testimoni anak, harusnya dimulai dari situ. Digali dulu bukti-bukti pendukung.”

“Sangat kelihatan keberpihakan itu. Kalau di kasus-kasus kekerasan seksual lain yang kami dampingi, biasanya didiamkan oleh polisi.”

“Kalau ini malah dibuatkan administrasi pemberhentiannya.”

Pada satu perjalanan pagi yang dingin, Lydia memacu kendaraannya. Melewati kelokan, menyalip beberapa mobil truk.

Sejak peristiwa kekerasan seksual menimpa anak-anaknya, ia telah meninggalkan rumah masa depan dan persiapan masa tuanya.

Ia ingin menjual rumah itu, karena ingin membakar kenangan buruk itu.

Anak-anaknya tak menginginkan melihat rumah itu. Anak-anaknya menolak dan menangis kalau Lydia, mengajak menengok rumah itu.

Lydia, dengan keberanian yang tersisa dan kerentanan yang terus membuntutinya, memberikan saya akses menonton beberapa video di ponselnya yang memperlihatkan jejak-jejak kekerasan pemerkosa.

Beberapa rekaman, membuat saya tak sanggup melihatnya.

Beberapa pekan setelah pencabulan itu, anak-anaknya mengeluh kesakitan.

Di sebuah Puskesmas di Luwu Timur, Lydia meminta surat rujukan untuk membawa anak-anaknya ke sebuah rumah sakit.

Dalam surat rujukan itu, tertulis diagnosis internal thrombosed hemorrhoid + child abuse.

Kerusakan pada bagian anus, akibat pemaksaan persenggamaan.

Diagnosis lain abdominal and pelvic pain, kerusakan pada organ vagina akibat pemerkosaan.

Diagnosis selanjutnya vaginitis atau peradangan pada vagina, dan konstipasi atau susah buang air besar.

Di rumah sakit rujukan itu, anak-anaknya memperagakan apa yang dilakukan ayah mereka, setelah dokter bertanya apa penyebab luka-luka di bagian anus dan vagina.

Diagnosis awal, dokumentasi foto, dan rekaman video, serta hasil pemeriksaan ke rumah sakit ini, diabaikan oleh penyidik Polres Luwu Timur.

Polisi tidak melanjutkan secara serius temuan-temuan kekerasan ini.

“Kalau memang hasil visum polisi bilang tidak ada luka dan tidak terjadi apa-apa,” kata Lydia, “kenapa polisi menolak waktu saya mau kasih foto dan video ini? Mereka bilang simpan saja, tidak perlu itu.”

“Terus kenapa bisa pantat dan vagina anak saya luka, sampai bengkak putih seperti kelihatan daging putih?”

“Kenapa anak-anak saya menangis kesakitan setiap mau buang air kecil dan buang air besar?”

“Kenapa anak-anak saya bilang ayahnya orang jahat, dan tidak mau ketemu lagi sekarang?”

“Kalau pelaku memang tidak bersalah, kenapa ia tidak datang mencari anaknya, meminta kejelasan ke anak-anak?”

“[Kalau] orang-orang bilang ini fitnah, kenapa anak-anak fitnah ayahnya seperti itu?”

“Kalau pertanyaan itu tidak terjawab, apakah polisi akan membantu menemukan jawabannya? Tidak, ‘kan?”

Direktur Eksekutif Institute of Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu, buka suara.

Ia lantang menyayangkan, cara polisi dalam mengklarifikasi berita kasus pemerkosaan anak Lydia.

Menurut Erasmus, klarifikasi memang boleh, tetapi tidak dengan menuliskan nama jelas ibu korban.

“Klarifikasi boleh saja, toh itu proses hukum, memang harus ada penjelasannya.”

“Tapi dengan cara begini, sampai membuka identitas pelapor atau ibu korban, ini patut diganjar sanksi tegas.”

Demikian jelas Erasmus, melalui akun Twitter pribadinya, @erasmus70, sebagaimana Ngelmu kutip Jumat (8/10).

Ia juga menjelaskan, dalam kasus pemerkosaan atau pelecehan seksual [terutama pada anak di bawah umur] tertuang dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak, larangan menampilkan identitas korban, termasuk ibu korban.

Selain itu, kasus pelecehan dan kekerasa seksual dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, juga ditulis, bahwa proses serta nama korban, harus ditutup.

“Ini malah dibuka, ngaco,” tegas Erasmus.

Ia mengatakan, akan membawa dampak buruk kepada korban dan pelapor.

Sebab, akan menimbulkan ketakutan tersendiri saat timbul kasus serupa, dan para korban, enggan melaporkan.

“Ini terus bolak-balik permasalahannya, peningkatan kapasitas kepolisian ini memang pekerjaan rumah berat,” kata Erasmus.