Berita  

Demi Danai Paket Stimulus Selama Pandemi, AS Ajukan Utang Rp45 Kuadriliun

Pandemi COVID AS Ajukan Utang

Ngelmu.co – Demi mendanai paket stimulus—mencakup pendanaan kesehatan dan bantuan langsung tunai—selama pandemi COVID-19, Amerika Serikat, akan mengajukan utang senilai US$3 triliun, pada kuartal kedua. Angka tersebut setara dengan Rp45 kuadriliun.

Diperkirakan, paket-paket itu bernilai sekitar 14 persen, dari perekonomian AS.

Pemerintah setempat juga memperpanjang tenggat pembayaran pajak tahunan pada 15 April, hingga menambah krisis uang tunai.

Rencana utang ini, melampaui hingga lima kali lipat dari rekor AS sebelumnya.

Diketahui, pada 2009 silam, AS berutang US$1,28 miliar, atau setara Rp19,2 triliun.

Maka otal utang mereka kini mendekati US$25 trilliun, atau sekitar Rp276 kuadriliun.

Sampai detik ini, pemerintah AS, masih terus membahas berbagai stimulus tambahan, meskipun politisi Partai Republik, menyatakan kekhawatiran dampak pengeluaran pada utang nasional yang terus melonjak.

Pasalnya, AS berutang dengan menjual obligasi pemerintah.

Di mana secara historis, obligasi pemerintah memiliki suku bunga yang relatif rendah, karena investor di seluruh dunia memandangnya minim risiko.

Namun, sebelum wabah virus Corona, beban utang negara sudah melonjak ke tingkat yang berisiko untuk pertumbuhan jangka panjang.

Sebagaimana pandangan banyak ekonom, karena AS, menghabiskan lebih banyak dari pendapatan.

Bulan April lalu, Kantor Anggaran Kongres AS, memperkirakan defisit tahun ini mencapai US$3,7 triliun, atau sekitar Rp55,6 kuadriliun.

Sementara utang nasional, melonjak di atas 100 persen dari PDB.

Bahkan, pekan lalu, Ketua Bank Sentral Amerika, Jerome Powell, mengatakan jika ia ingin melihat neraca pemerintah AS, berada dalam posisi yang lebih baik sebelum pandemi.

Namun, pengeluaran yang dilakukan sekarang, menurutnya, penting untuk meredam hantaman pandemi terhadap ekonomi.

Sebab, perintah untuk menutup bisnis guna memperlambat penyebaran virus, dinilai menyebabkan setidaknya 30 juta penduduk AS, kehilangan pekerjaan.

“Mungkin ekonomi akan membutuhkan lebih banyak bantuan dari kita semua, jika kita ingin pemulihan yang kuat,” kata Powell.

Bank Sentral Amerika, sebagai bagian dari upaya meringankan bebannya sendiri, selama beberapa pekan terakhir, telah membeli lebih dari US1 triliun, atau setara Rp15 kuadriliun, dalam bentuk treasury.

Investor dari berbagai negara asing—Jepang, China, dan Inggris di urutan teratas pada Februari—merupakan pemegang utang AS yang signifikan.

Meningkatnya ketegangan antara AS dan Cina, selama beberapa tahun terakhir, juga mengubah pengawasan terhadap posisi utang Amerika.

Dilansir Washington Post pekan lalu, pejabat administrasi Trump, sudah membahas pembatalan kewajiban utang ke Cina.

Namun, Presiden AS, Donald Trump, dilaporkan meremehkan idenya, dengan mengatakan, ‘Anda mulai memainkan permainan itu, dan itu sulit’.

Kepada BBC, seorang profesor ekonomi dan urusan publik di Universitas Princeton, Alan Blinder, mengatakan jika berlanjutnya suku bunga rendah, menunjukkan selera investor terhadap utang AS, tetap bertahan. Itu yang membuat utang AS, mungkin terus bertambah.

“Sejauh ini, jawabannya, semua baik-baik saja, seperti seberapa banyak utang yang bisa dilakukan pemerintah AS, sebelum investor mulai merasa kenyang dengan utang AS,” tuturnya.

Baca Juga: Pertahankan Lockdown, Gubernur New York Enggan Buka Kota Sekalipun Trump yang Perintahkan

Sebelumnya, masyarakat di sejumlah negara bagian AS, turun ke jalan untuk menuntut para gubernur, membuka kembali ekonomi yang terhenti karena pandemi.

Unjuk rasa di negara bagian Arizona, Colorado, Montana, dan Washington, berlangsung pada Ahad (19/04) waktu setempat.

Desakan semakin nyaring, meski risiko COVID-19 pun kembali melonjak, karena pembukaan ekonomi yang terlalu dini.

Sebagai presiden, Trump, justru memberi sinyal dukungan bagi para pengunjuk rasa.

Hal ini membuat para gubernur di sejumlah negara bagian, mulai mendiskusikan rencana membuka kembali ekonomi, dengan tetap mengarantina ketat wilayah lain.

Gubernur California, Gavin Newsom, menjadi yang pemimpin daerah di AS, yang mengeluarkan perintah diam di rumah untuk seluruh negara bagian.

Ia menutup wilayahnya sejak 19 Maret. Disusul beberapa negara bagian tetangga di pesisir barat, seperti Washington dan Oregon.

Mereka mewajibkan total 11,5 juta warga, untuk tetap di rumah, sejak 23 Maret.

Sementara Gubernur New York, Andrew Cuomo, pekan ini mengumumkan bahwa daerah yang dipimpinnya akan memperpanjang kebijakan diam di rumah, hingga 15 Mei mendatang.

Dalam jumpa pers harian tentang COVID-19, pada Ahad (3/5) lalu, Cuomo, mengingatkan warga yang dilanda ‘demam kabin’ dan berharap wilayah mereka segera dibuka kembali, agar berhati-hati.

“Kami masih harus memastikan wabah ini tetap terkendali. Meskipun kita semua sangat ingin melanjutkan hidup dan melangkah ke depan. Ini baru pertengahan dari keseluruhan situasi,” ujarnya.

Trump, memang nampak mendukung aksi protes yang menentang kebijakan lockdown ketat.

Ia mengatakan, bahwa aturan pembatasan di Minnesota, Michigan, dan Virginia ‘terlalu keras’.

Padahal, langkah-langkah itu dibutuhkan demi menghentikan penyebaran virus.

Gubernur Washington, Jay Inslee, menyebut dukungan presiden terhadap para pengunjuk rasa ‘berbahaya’.

Sama seperti mendorong ‘pembangkangan’ pada undang-undang negara bagian.

“Presiden AS, sampai mendorong orang-orang untuk melanggar hukum, saya tidak ingat kita pernah melihat hal seperti itu selama saya di Amerika,” kata Inslee, di ABC News, Ahad (19/04).

Bahkan, Ketua DPR dari partai Demokrat, Nancy Pelosi, menuding dukungan Trump, terhadap para pengunjuk rasa sebagai ‘pengalihan perhatian’.

“Penerimaan presiden [atas protes] adalah pengalihan perhatian dari fakta, ia belum cukup melakukan tes, perawatan, penelusuran kontak, dan karantina,” kata Nancy.

Aksi protes ‘Operation Gridlock’, didukung oleh kelompok-kelompok berhaluan libertarian.

Diperkirakan, menarik ratusan orang ke ibu kota negara bagian di Denver, Colorado, Phoenix, Arizona, pada Ahad (20/04) lalu.

Di Denver sendiri, para pengunjuk rasa turun ke jalan di ibu kota negara bagian, untuk memprotes perintah penjarakan sosial dari otoritas setempat.

Puluhan mobil mengitari ibu kota, sementara sekitar 200 orang berkumpul di halaman rumah, mengacungkan papan serta bendera, sebagai tanda protes.

Para pengunjuk rasa, sempat dengan sengaja membuat macet jalanan kota Annapolis, Maryland.

Mereka membunyikan klakson mobil sebagai bentuk protes terhadap karantina.

Di mana lebih dari 200 orang berkumpul di luar kediaman gubernur Indiana, dan 200 orang lainnya berkumpul di Austin, Texas.

Di waktu yang sama, unjuk rasa juga terjadi di Utah, negara bagian Washington, dan New York.