Berita  

Dianggap Lalai Tangani Corona, Mantan Menkes dan PM Prancis Digugat Para Petugas Medis

Petugas Medis Gugat Mantan Menkes PM Prancis

Ngelmu.co – Sedikitnya 600 dokter di Prancis (C19), menggugat mantan Menteri Kesehatan, Agnès Buzyn dan Perdana Menteri Édouard Philippe. Pasalnya, meskipun sadar akan bahaya virus Corona, keduanya tetap tak mengambil langkah-langkah yang diperlukan, demi menghambat penyebaran COVID-19.

Gugatan tersebut dilayangkan, selain karena seorang rekan sejawat mereka menjadi salah satu korban meninggal akibat Corona.

Dilansir RT, Mereka juga menilai, pemerintah telah lalai hingga menyebabkan virus Corona, menyebar luas di negara Prancis.

Penggugat menganggap Buzyn dan Philippe, gagal menjalankan tugas dan menangani COVID-19, yang kini semakin meluas di negaranya.

Kedua pejabat itu juga disebut, sudah mengetahui risiko wabah Corona, sejak awal Januari lalu. Namun, tak ada tindakan yang diambil.

Gugatan pun resmi diajukan ke pengadilan khusus menangani kasus-kasus pelanggaran kementerian, Cour de Justice de La Republique (CJR).

“Pada titik tertentu kebenaran perlu disampaikan, yaitu bahwa orang-orang ini telah membohongi kami sejak awal,” kata Fabrice di Vizio, pengacara yang mewakili penggugat.

Bukti-bukti yang disampaikan salah satunya, wawancara Buyzn kepada surat kabar Le Monde, yang menyatakan penyesalannya telah menanggalkan jabatan menteri, dan mencalonkan diri sebagai Wali Kota Paris.

Di sisi lain, pemerintah Prancis, membantah telah melakukan kelalaian dalam penanganan COVID-19.

Baca Juga: Kelelahan Tangani Corona Hingga Kolaps, Menkes Belanda Mundur

Terlepas dari permasalahan di Perancis, korban meninggal akibat Corona di Indonesia, juga ada yang bekerja sebagai dokter.

Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), pun menyebutkan ada lima dokter yang meninggal karena COVID-19, saat dua dokter lainnya belum terkonfirmasi.

Serupa dengan Perancis, pemerintah Indonesia, juga dianggap lamban dalam merespons permasalahan ini. Terlihat dari pernyataan yang terkesan meremehkan dari para pejabat, saat kasus ini belum (ketahuan) ada di Tanah Air.

Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto, misalnya.

Ia menolak mentah-mentah hasil riset tim peneliti dari Harvard, yang menyebut kwmungkinan sudah adanya warga Indonesia yang terinfeksi Corona.

“Kalau ada orang lain mau melakukan survei, riset, dan dugaan, ya silakan saja. Tapi janganlah mendiskreditkan suatu negara. Itu namanya menghina,” kata Terawan, Selasa (11/2).

Tak lama setelah itu, dua orang warga negara Indonesia, dinyatakan positif COVID-19, tepatnya pada 2 Maret 2020.

Angka yang awalnya kecil pun terus bertambah. Bahkan, persentase kematian Indonesia, lebih tinggi dari rata-rata angka kematian global.

Bagaimana tanggapan para dokter Indonesia? Ketua Umum PB IDI, Daeng M Faqih, mengatakan, “Kami tidak terlalu jauh ke situ, semua pihak harus saling memahami dan gotong royong. Ini kondisi darurat, genting,” tuturnya, seperti dilansir Tirto, Senin (23/3).

Namun, jika ditanya, bisakah pemerintahan Jokowi dituntut? Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, memberikan jawaban.

Ia menegaskan, bahwa di periode awal menyebarnya COVID-19, pemerintah tak serius menangani.

Padahal WHO menyatakan, “Pendeteksian yang lemah pada tahap awal wabah, menghasilkan peningkatan signifikan dalam jumlah kasus dan kematian beberapa negara,” begitu penuturan resminya.

“Cenderung meremehkan, seakan-akan orang Indonesia kebal dari serangan virus ini. Prediksi kalangan sarjana Harvard bahwa virus itu sampai di Indonesia, disanggah dan tak dijadikan landasan mempersiapkan kebijakan kesehatan publik yang efektif,” beber Usman, Senin (23/3).

“Pemerintah Indonesia terlihat minim inisiatif dan ketinggalan,” imbuhnya.

Para pejabat juga dinilai, lebih sibuk berkomentar, dan cenderung tak relevan.

“Dari mulai komentar perihal promosi wisata yang membuka wilayah negara, sampai komentar seperti ‘makan nasi kucing, jamu resep Jokowi, duta imun, makan tauge atau berdoa’ tanpa bisa menyertainya dengan penjelasan dan bukti ilmiah,” kata Usman.

Atas dasar itu, ia menyampaikan, warga pun berhak menggugat, bukan hanya dokter seperti kasus di Prancis.

Tetapi Peneliti dari Human Rights Watch, Andreas Harsono, mengingatkan jika gugatan harus disertai alasan jelas.

Seperti apakah ada pejabat yang berbohong atau membuat pernyataan kontroversial, hingga menyebabkan penyebaran COVID-19 semakin ganas.

Jika berbohong, perlu dicari lebih dulu buktinya, bahwa pejabat yang bersangkutan sudah mengetahui yang sebenarnya, tetapi berbohong.

Namun, definisi berbohong pun harus dijelaskan. Pasalnya, bohong beda dengan misleading.

“Bohong tentu beda dengan kebodohan. Kalau ada pejabat bilang virus ini bisa dihindari dengan berdoa, saya kira, sulit buat kita gugat. Persoalannya sederhana, kita tak bisa lakukan verifikasi. Siapa bisa buktikan bahwa berdoa itu bisa atau tak bisa mengatasi wabah?” jelas Andreas, Senin (23/3).

Terlepas dari itu, menurutnya, para pendengung (buzzer), juga perlu ‘di-amankan’.

Kelompok seperti itu, lanjut Andreas, berbahaya karena membingungkan masyarakat, serta membela Presiden Jokowi atau Menkes Terawan, secara berlebihan.

Padahal virus Corona, jelas-jelas berbahaya, dan antisipasi pemerintah seharusnya bisa lebih baik.

“Bila ada bukti cukup, buzzer ini tentu bisa digugat. Kicauannya dikunci dengan perintah pengadilan,” beber Andreas.

Salah satu orang yang sudah berniat menggungat negara, atas persoalan ini adalah aktivis, Lini Zurlia.

Melalui akun Twitter pribadinya, ia menyerukan, “Ketika kita berhasil melalui masa sulit ini, dan kita masih bertahan hidup di kemudian hari. MARI KITA GUGAT NEGARA YANG ABAI DAN CENGENGESAN SAAT WABAH INI PERTAMA KALI MEREBAK! Termasuk kita GUGAT PARA BUZZERRp…,” cuit @Lini_ZQ.