4 Indikator Terpenuhi, Indonesia Jadi Negara Otoriter Gaya Baru?

Indikator Negara Otoriter

Ngelmu.co – Direktur Center for Media and Democracy Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Wijayanto, menyebut Indonesia, di bawah pemerintahan Joko Widodo, telah memenuhi empat indikator sebuah negara dapat disebut otoriter.

Indikator-indikator itu, diambil dari buku terbaru Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, yang terbit 2018 lalu, How Democracies Dies, di antaranya:

Lemahnya Komitmen Terhadap Aturan Main yang Demokratis

Hal ini terlihat sebelum Pilpres 2019, saat Jokowi, menginstruksikan kepala daerah hingga tentara, mengampanyekan kebijakan pemerintah.

Ia juga meminta mereka, menangkal berbagai kabar palsu terkait dirinya.

Adanya upaya memobilisasi kepala daerah hingga Polri untuk mendukung petahana, juga bisa dijadikan contoh lain.

“Kombinasi antara mobilisasi pejabat sipil dan aparat militer atau penegak hukum, adalah tipikal bagaimana seorang incumbent maju untuk kembali terpilih,” jelas Wijayanto, seperti dilansir Tirto, Rabu (17/6).

Begitupun dengan munculnya wacana dari parpol pendukung Jokowi, soal amandemen UUD, yang memungkinkan presiden menjabat tiga periode, pada Desember 2019.

Menanggapi kabar itu, Jokowi, hanya marah, tetapi tak mengambil tindakan yang lebih konkret.

Pemberangusan Oposisi

Bagian ini nampak jelas, ketika Jokowi, memberikan Gerindra—partai oposisi utama di Pilpres 2019—dua kursi menteri.

Langkah itu mengakibatkan, oposisi lain seperti PKS, Demokrat, dan PAN, menjadi tak punya taji di legislatif.

Pasalnya, suara mereka timpang, jika dibanding koalisi partai pendukung pemerintah.

Manuver semakin terlihat nyata, saat partai koalisi pemerintah merevisi UU MD3, serta menambah kursi pimpinan MPR.

Dampaknya? Lebih banyak partai yang memiliki kesempatan ‘merebut’ jatah kursi, merapat ke kekuasaan, serta melepas ‘gelar’ oposisi.

Toleransi Terhadap Kekerasan

Indikator ketiga jelas, lebih berdampak bagi sipil, yakni menoleransi atau bahkan menganjurkan kekerasan aparat, kepada warga.

Wijayanto, mencontoh hal ini terjadi di era Jokowi, pada kasus gerakan Reformasi Dikorupsi, September 2019 lalu.

Pasalnya, LBH Jakarta menyebut, polisi yang menangani aksi massa kala itu melakukan pendekatan represif, kekerasan.

Contoh lain terlihat, ketika aksi unjuk rasa, justru berujung kerusuhan, pada 21-23 Mei.

Berdasarkan data Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), dalam peristiwa tersebut, empat korban tewas di antaranya merupakan anak-anak (di bawah 18 tahun).

Sementara delapan orang lainnya, tewas karena tertembak peluru tajam.

Latar belakang ini, yang kemudian membuat Kontras dan YLBHI, sepakat menilai kekerasan oleh aparat, semakin menjadi di era Jokowi.

Maka mereka mendesak pemerintah, untuk segera mereformasi Polri, secara besar-besaran.

Pembatasan Kebebasan Sipil

Indikator ini juga sangat berdampak bagi sipil, karena penguasa membatasi kebebasan warga, termasuk media.

Berikut beberapa ukuran kebebasan sipil yang dikekang serta dilanggar, di era Jokowi, menurut Wijayanto:

  • Pelarangan dan razia buku,
  • Pembubaran serta teror pada diskusi kritis,
  • Membubarkan paksa, dan penangkap peserta demonstrasi isu Papua, hingga
  • Peretasan serta penyadapan para aktivis pro demokrasi.

“Terjadi kesepakatan di antara setidaknya selusin ilmuwan politik, dari dalam dan luar negeri, bahwa Indonesia, sedang mengalami proses kemunduran demokrasi, yang dirumuskan dalam berbagai istilah,” bebernya.

“Dari mulai kemunduran (regression, decline, back sliding), hingga putar balik ke arah otoritarianisme (authoritarian turn), dan otoritarianisme baru (neoauthoritarianism),” imbuh Wijayanto.

Kemunduran itu terjadi secara perlahan, sejak 2016. Pasca Pemilu, masih terus berlanjut, bahkan dengan gradasi yang lebih serius.

Ditandai dengan berbagai contoh yang telah dijelaskan di atas, dari mulai diabaikannya aturan main demokratis, hingga hilangnya oposisi di parlemen.

“Indonesia sudah memenuhi keempat indikator itu,” tegas Wijayanto, dalam webinar ‘Mimbar Bebas Demokrasi Melawan Oligarki’, Ahad (14/6) lalu.

Baca Juga: Kritik Kebijakan Pemerintah, Faisal Basri: Apakah Petani Tidak Pantas Dibantu?

Kalaupun itu masih dianggap kurang, lanjut Wijayanto, masih ada penjelasan lain.

Setidaknya, sudah dua tahun terakhir, di rezim Jokowi, sangat mudah mengintervensi benteng kebebasan akademik [kampus].

Salah satu campur tangan, muncul dari Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi—kementerian ini sekarang dilebur—yang meminta rektor, mengimbau para mahasiswa serta dosen, untuk tidak turun ke jalan.

“Tergerusnya kebebasan akademik hari-hari ini, merupakan penanda kemunduran demokrasi terburuk yang belum pernah terjadi sebelumnya,” kata Wijayanto,

“Sejak reformasi politik 1998, dan putar balik ke arah otoritarianisme,” sambungnya.

Di sisi lain, Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum, Busyro Muqoddas, meringkus situasi Indonesia sepanjang periode kedua kepemimpinan Presiden Jokowi, ‘Otoritarianisme Gaya Baru atau Neoauthoritarianism’.

Busyro, dalam sebuah diskusi daring, menyampaikan contoh, bagaimana mundurnya demokrasi di era Jokowi.

Salah satunya jelas terlihat, pada penempatan banyak polisi ke dalam instansi-instansi pemerintahan.

“TNI berhasil dibersihkan dari dwifungsi, sekarang multifungsi dilakukan oleh Polri,” kata Busyro.

Apa saja lembaga negara yang dipimpin perwira polisi, baik yang masih aktif pun telah pensiun dini?

  • Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
  • Badan Intelijen Negara (BIN),
  • Badan Urusan Logistik (Bulog),
  • Badan Narkotika Nasional (BNN),
  • Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), hingga
  • Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

Tetapi Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Donny Gahral Adian, justru mengatakan jika pasca reformasi, siapapun presidennya, tidak mudah untuk berlaku otoriter, termasuk Jokowi.

“Sulit presiden berlaku otoritarian, karena [kerja] diawasi DPR, LSM, ormas. Jadi pengawasnya banyak,” ujarnya, Senin (15/6).

Donny pun menegaskan, jika Jokowi, percaya hak-hak sipil politik mensyaratkan hak-hak ekonomi, sosial, budaya, seperti pendidikan, kemakmuran, melalui berbagai skema bantuan sosial.

“Pak Jokowi, tetap berkomitmen untuk menegakkan HAM,” tuturnya.

“Menghormati hak-hak dasar, menghormati kebebasan-kebebasan dasar warga, terutama kebebasan hak-hak sosial ekonomi,” lanjut Donny.

Menurutnya, pemerintahan Jokowi, lebih memprioritaskan hak ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob), daripada hak sipil dan politik (sipol).

“Pemenuhan hak ekosob, jadi prasyarat alias pondasi bagi pemenuhan hak sipol.”

Sayangnya, pernyataan Donny, tak menjawab pokok masalah karena kecenderungan otoriter yang diungkap oleh Busyro, serta di-elaborasi lebih jauh oleh Wijayanto, ada di ranah sipol.

Berkaitan dengan bagaimana orang-orang biasa, berani mengkritik pemerintah, tanpa takut dikriminalisasi.

Bukan apakah perut dan kebutuhan dapur rakyat, dipenuhi pemerintah.

Aktivis HAM, Haris Azhar, juga sempat melayangkan kritik serupa, ketika mengomentari debat Pilpres 2019.

Saat itu, Haris, mengatakan jika Jokowi, hanya fokus membahas isu ekosob, bahkan terang-terangan meninggalkan hak sipol.

“Hak sipil dan politik, dan ekososbud—ekosob—itu tidak bisa dipisahkan,” kritiknya.

“Harus dipenuhi dalam satu kesatuan,” tegas Haris saat itu.